Tengah malam itu saya sedang menonton City vs Arsenal di handphone ketika sebuah kabar duka di WhatsApp menghalangi pandangan dari pertandingan. Setelah membaca itu, laga Premier League menjadi tidak menarik, seketika tubuh saya seperti kastil pasir yang terhempas ombak, menggelosor tanpa tenaga. Saya membangunkan istri yang sedang tertidur pulas. Kabar itu membuatnya sadar, seperti terbangun karena bermimpi jatuh dari tempat tidur.
Itu jenis kesedihan dari kabar kematian yang mengendap lama. Malam berikutnya, setelah pagi itu saya dan istri melawat, saya tidur dan terbangun dengan perasaan muram yang masih melekat. Tidur tidak membuatnya hilang, bahkan menajamkannya kembali.
Saya mengenal Vany karena kami pernah satu kampus, istri saya mengenal Mukhlis, suami Vany, karena dulu mereka pernah mengajar di tempat yang sama. Alby anak pertama mereka yang berumur 7 tahun meninggal di rumah sakit, dan tiga hari kemudian Mukhlis menyusul meninggalkan Vany dan Rayyan anak kedua yang masih balita. Bahkan Mukhlis tidak sempat menghadiri pemakaman Alby karena saat itu masih terbaring di rumah sakit.
Kehilangan orang tercinta tidak pernah mudah, apalagi dua orang, apalagi dalam waktu yang berdekatan. Dengan kehilangan semacam itu, kamu bisa terbangun tiba-tiba pada tengah malam dan menangis sendirian. Kamu merasakan dadamu terhimpit dalam isak, paru-parumu berderu dengan sedu yang menyesakkan, sampai kamu lupa bagaimana caranya bernafas.
Kamu mengingat kenangan-kenangan yang terlewat. Kamu merindukan pesan dan telponnya, kamu merindukan suaranya, kamu merindukan aroma tubuhnya, kamu merindukan hal-hal yang mengesalkanmu, kamu merindukan hal-hal kecil, segala sesuatu yang bahkan sangat sederhana seperti caranya merajuk, memegang tangan atau mengucapkan namamu.
Namun yang lebih menyesakkan dalam semua kerinduan itu adalah sesuatu yang belum sempat kamu lakukan. Kamu teringat hal-hal yang telah kamu rencanakan esok hari setelah pandemi, menonton film yang sudah lama dinanti, atau sekedar berdebat tentang rencana makan apa malam ini. Kamu menyesali banyak salah yang kamu kerjakan dan hal-hal yang belum sempat kamu buat. Ia memberatkanmu dengan awalan kata "seandainya" dan "jikalau". Penyesalan itu memukuli kesadaran, meremukan perlahan-lahan pertahanan jiwamu yang semakin lama terlihat semakin rapuh.
Kamu merasakan rumah yang tidak menjadi rumah dengan nuansa yang sama. Betapa orang yang begitu dekat dan nyata, saat ini tidak bisa kamu peluk dan genggam tangannya. Dan kamu merasakan itu sendirian. Sebagain kawan-kawan yang punya kesamaan, yang bisa relate dengan kesedihan itu merasa ikut sakit, tapi tentu itu bukan kesedihan yang sama dengan yang sedang kamu rasakan. Kesedihanmu adalah milikmu sendiri, karena sedalam apapun mereka bersungkawa, sebagaimanpun mereka bisa ikut merasa, itu bukan duka mereka.
Sungguh kerinduan dan kehilangan tidak pernah bisa dituliskan dengan sederhana, dan kata-kata tidak bisa menampung seluruh rasa.
Sulit bagimu untuk menang dalam pertandingan yang tidak seimbang ini. Takdir tidak pernah kalah dan menjadikan semua orang menjadi pencundang. Pada akhirnya kamu hanya bisa pasrah menerima kenyataan, dipaksa merasakan, karena kamu sadar tidak ada yang bisa mengubah apa yang sudah dituliskan. Jika kamu tenang dalam kesendirian, ia akan memberimu pesan, bahwa dunia bukanlah tempat dimana segala keinginan dapat diwujudkan.
Hidup tidak seperti masuk sekolah, yang beramai-ramai masuk, beramai-ramai pulang. Hidup ini ibarat menunggu bis di halte, sendiri-sendiri datang, dan satu-satu pergi. Menghadapi semua itu manusia selalu saja gagap dan tidak siap. Kita adalah makhluk lemah, maka tidak perlu terburu-buru. Kamu masih punya waktu untuk berduka. Ambilah sebanyak-banyaknya. Kenanglah sepuas-puasnya.
Menangislah seduka-dukanya. Bukankah Nabi yang mulia juga bersedih dan menangis ketika putra beliau Ibrahim yang saat itu masih balita wafat? Melihat air mata Nabi yang bercucuran, Abdurrahman bin Auf bertanya, "Engkau juga menangis Rasulullah?" Rasulullah menjawab ini adalah tangisan kasih sayang.
Rindulah selama-lamanya. Bukankah Rasulullah juga rindu kepada Khadijah bahkan bertahun-tahun setelah sayyidah Khadijah wafat? Sampai ketika datang saudara perempuan Khadijah, Nabi merasa bahagia dan terkenang, sebentuk kerinduan karena melihat kemiripan sifat dengan Khadijah. Kerinduan tersebut masih mewujud dalam keseharian, bahkan ketika Rasul menyembelih kambing, beliau memberikannya kepada teman-teman Khadijah semasa hidup.
Sampai nanti akan tiba saatnya, ketika waktu perlahan-lahan menyembuhkan. Dan kelak waktu juga yang akan mendekatkan, juga menyatukan.
Al Fatihah…
-:(الراحمون يرحمهم الرحمن تبارك وتعالي/ ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء):-
Halaman
▼
Minggu, 29 November 2020
Sabtu, 21 November 2020
Yesterday; Troubles Seemed So Far Away
Dunia alternatif tanpa The Beatles merupakan premis yang menarik. Banyak yang mengatakan film ini bermasalah karena punya banyak plot holes dan cacat logika, sehingga mengurangi kenikmatan menonton. Sejujurnya saya tidak terganggu dan memaafkan hal tersebut, karena sejatinya ini bukanlah film science fiction.
Sutradara seperti tahu bahwa film ini adalah tentang menjawab sebuah premis —dan hanya itu saja—bagaimana jika The Beatles beserta lagu-lagunya, hilang dari muka bumi? Ia tidak mau terbebani dengan hal-hal lain dan membiarkannya menjadi tidak terjelaskan. Ia seperti menyadari bahwa jawaban atas hal-hal lain itu tidak terlalu penting. Mungkin baginya, yang terpenting adalah sebagai seniman ia memberikan suatu hal yang bermakna; lagu-lagu The Beatles, perpaduan antara musikalitas popular dan puisi yang menyihir.
Aransemen musik dan suara yang lebih jernih juga modern, membuat lagu-lagu tersebut lebih segar. Mereka tidak dicomot asal-asalan tapi berbaur dan ikut bercerita mengiringi cerita dalam film ini. Seperti lagu-lagu dalam La La Land, tidak butuh waktu lama sampai lagu-lagu The Beatles versi Jack Malik masuk dalam playlist saya. Lagu-lagu dalam film ini akan membawa penggemar The Beatles seperti istri saya bernostalgia sekaligus merenungkan kembali makna hidup.
Adegan ketika Ellie mendengar Yesterday untuk pertama kali dari Jack, mengingatkan saya pada pendengaran pertama saya akan lagu tersebut bertahun-tahun yang lalu dari petikan gitar seorang kawan. Saya kira hanya sedikit lagu yang bisa menancapkan pesona magis semacam itu, sampai-sampai ketika mengenangnya kembali, ia seperti trauma indah yang tidak mau kau obati.
Secara alur, film ini terus menanjak, ia tidak membiarkan penonton menunggu terlalu lama untuk kemudian bosan. Fokus film ini adalah tentang hubungan Ellie dan Jack. Sebuah komedi romantis yang walau klise dan mudah diprediksi, terutama pada separuh akhir, tapi masih membuat hati kita hangat. Sesekali unsur dialog komedik kekinian yang lucu tapi ramah membuat film ini lebih hidup, dan Rocky si Joker, karakter tempelan yang artifisial, selalu membuat saya terbahak.
Film ini memang sengaja tidak dibuat berat dan gelap, malah terkesan popular, mudah dan tanpa beban. Bahkan penonton seperti disuapi jawaban dari premis awal melalui salah satu karakter, “A world without the Beatles is a world that's infinitely worse.”
Mudahnya, ini adalah film yang ringan tentang mensukuri hidup saat ini, bagaimanapun keadaannya. Mengutip Kurt Vonegut dalam Gempa Waktu, “Bahwa tugas yang tampaknya masuk akal bagi seniman adalah membuat orang menghargai hidup, setidaknya secuil saja. Kemudian saya ditanya apakah tahu seniman yang melakukan tugas tersebut. Saya menjawab, The Beatles.”
Itu ditulis sebelum ia menjelaskan bahwa hanya manusia, makhluk hidup yang paling maju ini, yang merasakan bahwa hidup ini buruk dan menyedihkan.
Film ini diakhiri dengan Ob-La-Di, Ob-La-Da, sebuah kesimpulan yang merangkum seluruh isi cerita, bahwa hidup adalah tentang bermakna bagi orang lain, bahwa menjadi orang biasa bukanlah sebuah dosa, selama kamu bahagia.
Sutradara seperti tahu bahwa film ini adalah tentang menjawab sebuah premis —dan hanya itu saja—bagaimana jika The Beatles beserta lagu-lagunya, hilang dari muka bumi? Ia tidak mau terbebani dengan hal-hal lain dan membiarkannya menjadi tidak terjelaskan. Ia seperti menyadari bahwa jawaban atas hal-hal lain itu tidak terlalu penting. Mungkin baginya, yang terpenting adalah sebagai seniman ia memberikan suatu hal yang bermakna; lagu-lagu The Beatles, perpaduan antara musikalitas popular dan puisi yang menyihir.
Aransemen musik dan suara yang lebih jernih juga modern, membuat lagu-lagu tersebut lebih segar. Mereka tidak dicomot asal-asalan tapi berbaur dan ikut bercerita mengiringi cerita dalam film ini. Seperti lagu-lagu dalam La La Land, tidak butuh waktu lama sampai lagu-lagu The Beatles versi Jack Malik masuk dalam playlist saya. Lagu-lagu dalam film ini akan membawa penggemar The Beatles seperti istri saya bernostalgia sekaligus merenungkan kembali makna hidup.
Adegan ketika Ellie mendengar Yesterday untuk pertama kali dari Jack, mengingatkan saya pada pendengaran pertama saya akan lagu tersebut bertahun-tahun yang lalu dari petikan gitar seorang kawan. Saya kira hanya sedikit lagu yang bisa menancapkan pesona magis semacam itu, sampai-sampai ketika mengenangnya kembali, ia seperti trauma indah yang tidak mau kau obati.
Secara alur, film ini terus menanjak, ia tidak membiarkan penonton menunggu terlalu lama untuk kemudian bosan. Fokus film ini adalah tentang hubungan Ellie dan Jack. Sebuah komedi romantis yang walau klise dan mudah diprediksi, terutama pada separuh akhir, tapi masih membuat hati kita hangat. Sesekali unsur dialog komedik kekinian yang lucu tapi ramah membuat film ini lebih hidup, dan Rocky si Joker, karakter tempelan yang artifisial, selalu membuat saya terbahak.
Film ini memang sengaja tidak dibuat berat dan gelap, malah terkesan popular, mudah dan tanpa beban. Bahkan penonton seperti disuapi jawaban dari premis awal melalui salah satu karakter, “A world without the Beatles is a world that's infinitely worse.”
Mudahnya, ini adalah film yang ringan tentang mensukuri hidup saat ini, bagaimanapun keadaannya. Mengutip Kurt Vonegut dalam Gempa Waktu, “Bahwa tugas yang tampaknya masuk akal bagi seniman adalah membuat orang menghargai hidup, setidaknya secuil saja. Kemudian saya ditanya apakah tahu seniman yang melakukan tugas tersebut. Saya menjawab, The Beatles.”
Itu ditulis sebelum ia menjelaskan bahwa hanya manusia, makhluk hidup yang paling maju ini, yang merasakan bahwa hidup ini buruk dan menyedihkan.
Film ini diakhiri dengan Ob-La-Di, Ob-La-Da, sebuah kesimpulan yang merangkum seluruh isi cerita, bahwa hidup adalah tentang bermakna bagi orang lain, bahwa menjadi orang biasa bukanlah sebuah dosa, selama kamu bahagia.
Rabu, 11 November 2020
The Queen's Gambit; Dunia Dimana Setiap Orang Diperlakukan Sama
Seri yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama ini memulai dengan atmosfir gelap dan depresif. Pada episode pertama bahkan saya menangkap kesan suram seperti dalam The End of the Fucking World, dimana masa kecil karakter utama diisi dengan suasana traumatis karena kemiskinan dan menyaksikan ibunya bunuh diri. Namun kesan itu perlahan-lahan menguap, menjadi semakin optimistik, manis dan cerah seiring berjalannya episode, sampai akhirnya di akhir seri penonton seperti dibuat ikut berkembang dan terkesan dengan pencapaian-pencapaian karakter utama.
Mini seri ini berjalan cukup lambat terutama pada paruh awal sampai sepertiga akhir, membuat pertengahan episode terasa datar hampir tanpa klimaks atau konflik yang tajam. Dari tujuh episode, baru pada dua episode akhir saya menemukan plot yang dibuat lebih menanjak. Beruntung penonton dibuat bertahan dengan dialog dan performa ansambel cast yang seluruhnya tampil tanpa cela. Selain percakapan Jolene dan Beth dalam kendaraan yang terkesan dipaksakan karena sumpek dengan muatan pesan moral, dialog dalam seri ini sangat jujur, cerdas dan digarap dengan elegan. Di beberapa adegan ketika dialog tidak diperlukan, para karakter diberi ruang yang cukup luas untuk mengeksplorasi emosi secara lebih dalam.
Harry Melling yang terakhir saya tonton aktingnya di The Devil All the Time kembali memukau dalam seri ini. Dengan penampilan yang konsisten dan potensi yang terus berkembang dari sejak perannya menjadi bocah gendut perundung dalam Harry Potter, hanya menunggu waktu sampa ia mendapat peran utama yang lebih banyak. Nyaris tidak ada karakter antagonis yang bersikap lebay dan patut dibenci secara berlebihan, bahkan ada kesan para tokoh bersikap begitu natural bahkan sportif, sampai saya mengira ini adalah sebuah kisah nyata atau sebuah biopic. Tahun, lokasi, event pertandingan yang dibuat sangat nyata, ditambah dukungan teknis visual dengan sinematografi pewarnaan yang klasik dan teduh hasil CGI mewah, menjadikan seri dengan seting era 60an ini sangat meyakinkan.
Premis seri ini secara persusif dan alami tanpa ada usaha yang dipaksakan seperti berniat menampilkan semangat feminis sebagai nilai jual utama, selain tentu saja pencapaian mengagumkan si karakter utama dalam mengelola kehilangan dan traumatik masa lalu. Dalam satu adegan, sutradara juga tidak latah memasukan kritik pada agama yang memang tidak relevan dan punya set-up yang kokoh sejak awal, melainkan menyentil hipokrisi yang sering diambil orang-orang yang punya kesempatan untuk menjual integritas dan menjadi bermuka dua.
Mini seri ini berjalan cukup lambat terutama pada paruh awal sampai sepertiga akhir, membuat pertengahan episode terasa datar hampir tanpa klimaks atau konflik yang tajam. Dari tujuh episode, baru pada dua episode akhir saya menemukan plot yang dibuat lebih menanjak. Beruntung penonton dibuat bertahan dengan dialog dan performa ansambel cast yang seluruhnya tampil tanpa cela. Selain percakapan Jolene dan Beth dalam kendaraan yang terkesan dipaksakan karena sumpek dengan muatan pesan moral, dialog dalam seri ini sangat jujur, cerdas dan digarap dengan elegan. Di beberapa adegan ketika dialog tidak diperlukan, para karakter diberi ruang yang cukup luas untuk mengeksplorasi emosi secara lebih dalam.
Harry Melling yang terakhir saya tonton aktingnya di The Devil All the Time kembali memukau dalam seri ini. Dengan penampilan yang konsisten dan potensi yang terus berkembang dari sejak perannya menjadi bocah gendut perundung dalam Harry Potter, hanya menunggu waktu sampa ia mendapat peran utama yang lebih banyak. Nyaris tidak ada karakter antagonis yang bersikap lebay dan patut dibenci secara berlebihan, bahkan ada kesan para tokoh bersikap begitu natural bahkan sportif, sampai saya mengira ini adalah sebuah kisah nyata atau sebuah biopic. Tahun, lokasi, event pertandingan yang dibuat sangat nyata, ditambah dukungan teknis visual dengan sinematografi pewarnaan yang klasik dan teduh hasil CGI mewah, menjadikan seri dengan seting era 60an ini sangat meyakinkan.
Premis seri ini secara persusif dan alami tanpa ada usaha yang dipaksakan seperti berniat menampilkan semangat feminis sebagai nilai jual utama, selain tentu saja pencapaian mengagumkan si karakter utama dalam mengelola kehilangan dan traumatik masa lalu. Dalam satu adegan, sutradara juga tidak latah memasukan kritik pada agama yang memang tidak relevan dan punya set-up yang kokoh sejak awal, melainkan menyentil hipokrisi yang sering diambil orang-orang yang punya kesempatan untuk menjual integritas dan menjadi bermuka dua.
Menjadikan catur sebagai sarana pencarian jati diri Beth, sebagai karakter utama yang penuh luka perjalanan hidup, juga merupakan konsep yang sangat brilian dan solid. Karena catur adalah satu-satunya olahraga yang egaliter, yang tidak memandang suku, budaya, jenis kelamin, bahkan umur. Papan catur adalah dunia, dimana setiap orang diperlakukan sama untuk bisa membuktikan diri, bisa kalah dan terpuruk namun bisa juga belajar dan mampu bangkit.