Halaman

Rabu, 11 Juni 2025

Hujan yang Tak Jadi Puisi

Kepada SDD


Hujan turun di luar jendela,
tapi tak ada yang basah di dalam diriku.
Barangkali karena aku sudah menjemur air mata
terlalu lama di halaman sosial media.

Aku ingin menulis tentang hujan
sebagai sesuatu yang datang tanpa maksud.
Tapi puisiku terlalu sadar diri,
terlalu sering bercermin
di layar yang tak pernah patah hati.

Dulu, hujan adalah surat tak sampai.
Kini, ia jadi notifikasi cuaca.
Kita tak lagi menunggu reda,
karena sudah terbiasa berlari
dari satu urusan ke urusan lain.

Aku rindu mencintai seseorang
tanpa perlu riuh dalam caption.
Aku rindu kata-kata
yang tak ingin jadi puisi,
cukup jadi perasaan
yang diam-diam mengendap
di dasar cangkir kopi.

Kau tahu,
dulu aku menulis puisi
dari yang tak bisa kukatakan pada siapa-siapa.
Tapi hujan kali ini gagal menjadi metafora.
Ia turun begitu saja,
tanpa makna, tanpa nyawa,
seperti pertanyaan basa-basi
dari orang yang hanya ingin terlihat peduli.

Kalau nanti reda,
aku tidak akan keluar menatap langit.
Aku akan tetap di sini,
memunguti diam yang tercecer
di panggung sepi.




Tidak Ada Hujan Bulan Juni

Untuk SDD

/i/

Hari ini, hujan bulan Juni
tak lagi menjadi rahasia langit,
tapi gemuruh cengeng di layar ponsel.
Bukan pada daun-daun yang kuyup,
melainkan pada riuh notifikasi
yang tak mengenal larut.


/ii/

Dulu, ketabahan adalah
isyarat bisu,
berupa rintik rindu
pada pohon bunga,
tanah kering menelan
seluruh peluh sampai akar
dan lumut penuh.
Kini, gerimis berganti ramai derai
kubangan di jalan, hati palsu
di ujung emoji,
dan suara tawamu
tenggelam di antara
suara ping yang lebih cepat
dari sepi.

Dulu, kebijakan menjelma
rona pipi malu,
menghapusi jejak kaki
yang ragu di jalan itu.
Kini, diganti ujung jari
yang yakin menggali makna
dari algoritma.
Kita tak lagi berjalan
menuju satu sama lain,
melainkan berlari ke situs
yang tahu segalanya
kecuali rasa.

Dulu, kearifan adalah bunyi sunyi,
yang dibiarkan tak terucap
agar diserap akar bebunga.
Tak ada lagi kata-kata
yang ditanam diam-diam
agar tumbuh jadi makna.
Kini, setiap luka dipetik
sebelum matang,
dipajang dalam etalase
dengan tagar yang haus
tepuk tangan.


/iii/

Kamu akan bersetuju
denganku kali ini,
untuk masih memilih
menyimpan namamu
di antara jeda dan napas,
yang masih menghapus pesan
dengan telunjuk gemetar,
yang tahu bahwa kerinduan
adalah bahasa yang paling jujur
saat tak diucapkan.

Dan cinta,
seperti awan yang gagal jadi hujan
pada kemarau di bulan Juni,
selalu lebih ramah dengan masa lalu,
daripada deras suara ricik
dalam kepalamu.