Jumat, 26 Mei 2017

Apa yang Tidak Saya Ceritakan Kepada Nada Ketika Saya Bercerita Tentang Kematian

Sudah dua kali saya masuk ke lubang kubur.

Dalam Islam, penguburan jenazah adalah hal yang begitu dekat dan cepat. Seorang anak bisa memandikan, mengkafani, mensalati dan turun ke liang kubur untuk mengazani jenazah orang tua mereka. Itu hal yang biasa dan lumrah terjadi.

“Langsung tidur ya. Bapak mau jemput ibu dulu. Kalau besok bangun pagi, bapak ajak ke makam Mbah.” Nada gelendotan di tangan saya malam itu. Dari sorot matanya, saya tahu 10 menit lagi ia akan tertidur. Pada hari yang biasa, untuk membuat cepat naik ke kasur, saya akan menghipnosisnya, atau menceritakan dongeng yang saya buat sendiri tentang Unyil yang terkurung sendirian di gudang belakang sekolah, atau bercerita tentang seorang anak yang bisa mendengar dengan mata.

Lima hari sebelumnya, dari Fikri saya tahu bahwa ibu meminta saya untuk menamai nisan bapak. Saya mengajak Adil, adik saya yang lain, tapi anak yatim itu sulit sekali dibangunkan, seperti ada Papeda lengket yang menyumpal kedua matanya setiap pagi.

Dan di sinilah saya bersama Nada, di depan nisan putih, membawa dua kaleng cat.

“Ini kuburan siapa, pak?” pertanyaan pertama Nada beberapa saat setelah kami masuk ke komplek pemakaman keluarga itu.

“Kuburan Empi,” Empi adalah sebutan orang Betawi untuk ibu dari nenek/kakek.

“Kok kuburannya enggak di sebelah sana?”

“Iya, supaya gak terlalu dekat dengan jalan. Lagian kan di sini masih luas?”

“Kalo itu kuburan siapa?”

“Kuburan suami Empi.”

“Kalo yang itu?”

“Kuburan kembaran Empi.”

“Emang Empi punya kembaran?”

Ia cerewet dan terus bertanya. Ada 235 pertanyaan. Setiap sepuluh pertanyaan, diakhiri dengan kalimat, “Pak ayo kita pulang, lama banget sih, banyak semut nih,”

Semakin lama, pertanyaan-pertanyaan itu semakin sulit, sementara saya berkonsentrasi agar tidak salah menulis.

Langit belum bersinar sempurna. Seekor tikus berjalan melintasi pemakaman.

“Oh, nanti di sini berarti kuburan nenek ya?” Nada menunjuk tanah di samping makam yang sedang saya tulis.

“Belum tentu. Tergantung yang meninggal duluan,”

“Oh, Husna ya?”

Husna adalah sepupu Nada yang berumur 2 tahun. Saya tidak tahu apa yang ada di kepala anak umur 6 tahun tentang kematian. Dan saya pun tidak akan membacakan Sutardji, “dari hari ke hari / bunuh diri pelan-pelan // dari tahun ke tahun / bertimbun luka di badan // maut menabungKu / segobang-segobang”

Apa yang orang tahu dari kematian dan kehidupan setelahnya, ibarat setetes air dari jarum yang dicelupkan ke air laut, dibandingkan dengan air samudra. Tidak ada orang yang tahu kapan kematian mereka. Dan Ramadhan, tidak pernah gagal untuk selalu mengingatkan kita pada orang-orang yang telah mangkat.

Sementara kehidupan, yang merupakan kawan karib kematian, bukanlah sahabat yang bisa diandalkan. Kehidupan ini seperti Richard Parker, seekor harimau Benggala dalam Life of Pi. Betapapun Pi menganggap Richard Parker sebagai kawan seperjalanan, harimau itu tidak peduli. Pada akhirnya, Pi memahami arti dari seluruh kehidupan ajaib yang ia jalani, “I suppose in the end, the whole of life becomes an act of letting go, but what always hurts the most is not taking a moment to say goodbye.”

“Kok kuburan Embah ada begininya sih?” sambil tanganya membuat bentuk seperti gundukan, “Kok kuburan Empi rata? Kenapa?”

“Itu yang kecil kuburan siapa?”

“Pak ayo kita pulang, lama banget sih, banyak semut nih,”