Minggu, 27 Mei 2018

Final Champion 2018

Saya tidak pernah mendapati Qoffal Shoghir optimis menangapi setiap pertandingan Liverpool. Ia selalu berada antara takut dan harap. Sekalinya optimis, ia padukan dengan tawadu yang terdengar ripuh.

Bahkan pada suatu kesempatan, ia mengharapkan LFC mendapat hasil remis supaya finis di 4 besar dan tahun depan bisa ikut UCL lagi. Mungkin itu terdengar biasa, tapi saya melihat ada ketidakyakinan bahwa tahun ini LFC akan juara Champion.

Wajar orang-orang bilang sepak bola seperti agama. Paling tidak, seperti agama, ia membuncahkan harapan. Andai saja harapan bisa diatur, tapi sering kali ia tersusun dari hal yang menyelinap pelan-pelan dalam ketidaksadaran. Siapa yang menyangka LFC akhirnya sampai final? Ketika itulah kekalahan menjadi sangat menyakitkan, karena ia menyalahi harapan. Pada yang tak punya harapan, kekalahan menjadi hal yang ringan.

Beberapa kali Qoffal bertanya tentang prediksi. Saya sebagai bukan penganut yang tekun, seringkali hanya menjadikan pertanyaannya jadi bahan olok-olokan. Saya pernah bilang bahwa yang dibutuhkan Liperpul sekarang adalah sejarawan.

Penganut agama sepakbola yang tekun tahu kapan terakhir kali gol tendangan salto di final Champion, dan sekian banyak ingatan terhadap pencapai-pencapain, bahkan yang paling langka. Mereka bisa berujar dengan percaya diri, “Suratman adalah pemain muslim kedua yang memberikan assist menggunakan sundulan menggunakan kepala bagian kiri, terakhir kali itu dilakukan Bambang tahun 1882.”

Itulah keimanan yang sebenarnya. Juga kegilaan.

Hari ini Si Merah kalah. Qoffal dan seluruh Liverpudlian sepertinya akan kembali berkubang pada kenangan dan kesedihan dalam waktu yang tidak sebentar, karena murtad dari klub kesayangan juga bukan hal yang mudah. Maka pagi ini kita bisa berbagi, jika kamu merasa hidupmu berat, ingatlah wajah-wajah murung dalam kekalahan kali ini. Dan kita mengerti bahwa ternyata ada yang lebih tabah dari Hujan Bulan Juni.

Senin, 07 Mei 2018

Ihwal Kenaikan Isa Almasih

Kepercayaan umat Kristen akan kenaikan Isa Almasih juga diyakini oleh umat Islam, walaupun terdapat perbedaan prinsipil antara kepercayaan kedua umat ini. Perbedaan tersebut antara lain adalah keyakinan umat Kristen menyatakan bahwa Isa a.s. dibiarkan Tuhan untuk disalib sehingga akhirnyawafat di tiang salib, sedangkan umat Islam berkeyakinan penuh, sesuai dengan pen egasan Al-Quran: ...mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya tetapi yang mereka bunuh ialah orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka (QS 4: 157).

...tetapi yang sebenarnya, Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana (QS 4: 158).

Dan kalimat “Allah telah mengangkat Isa” umat Islam percaya dengan benar bahwa beliau telah diangkat dan “naik” ke sisi Tuhan. Hanya saja sebagian umat memahami redaksi tersebut secan harfiah sehingga mereka percaya bahwa Isa belum mati dan hingga kini masih hidup di langit dan satu ketika akan turun ke bumi untuk meluruskan kekeliruan-kekeliruan umatnya. Pemahaman di atas dinilai oleh sebagian pakar Al-Quran dan hadis sebagai tidak mepunyai dasar yang kuat.

Kalimat Allah mengangkat Isa dipahami dalam pengertian majazi, yakni Allah mengangkat derajatnya ke sisi-Nya. Bahwa hadis-hadis yang berbicara tentang turunnya ke bumi nanti, kesemuanya tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Apalagi sumbernya adalah dua orang, yaitu Ka’ab Al-Ahbar dan Wahab bin Munabih, dua orang yang pemah menganut ajaran Kristen sehingga tidak mustahil apa yang disampaikan merupakan sisa kepercayaan lamanya.

Tulisan ini tidak bermaksud menyelesaikan atau memenangkan satu kepercayaan menyangkut kenaikan Isa atas kepercayaan yang lain, tetapi kita ingin menarik pelajaran dari apa yang menjadi kepercayaan tersebut yaitu antan lain bahwa Tuhan tidak pemah meninggalkan siapa pun yang berjuang demi kebaikan dan kebenaran. Ringkasnya, Dia tidak menyia-nyiakan usaha-baik seseorang. Kalaupun seandainya yang bersangkutan tidak memetik buah usahanya dalam kehidupan dunia ini, pasti ia akan menikmati hasilnya kelak di sisi Tuhan.

Kenaikan Almasih, walaupun dengan pengertian yang berbeda-beda, menunjukkan bahwa betapa kuat dan kuasa suatu kekuatan fisik untuk menundukkan atau melenyapkan kebenaran dan pemuka-pemukanya, namun hasil akhir yang diperoleh adalah kemenangan dan kebenaran itu jua.

Almasih, walaupun telah disalib atas perintah atau persetujuan Penguasa (menurut kepercayaan Kristen), atau diselamatkan Tuhan dan diangkat kesisi-Nya (menurut kepercayaan Islam) pada akhirnya memperoleh kedudukan istimewa. Dan ujung-ujungnya -terlepas dari penilaian terhadap suatu keyakinan- seperti kata Pascal, ahli matematika, filosof dan sastrawan Prancis (1623-1662 M): “Almasih telah mencapai puncak kejayaan. Bukankah ilmuwan, pemimpin perang dan negarawan pada tunduk bertekuk-lutut walaupun beliau tidak menggunakan kekuatan fisik sedikit pun?”

Sebagai Muslim kita percaya kepada Almasih, utusan dan hamba Allah yang tidak sesaat pun ditinggalkan oleh-Nya. Kepercayaan ini tak dapat ditawar-tawar, sehingga benar kata Syaikh Muhammad Abduh: “Seorang Muslim tidak dinamai Muslim sebelum la menjadi masihi” dalam arti meyakini Almasih sebagai rasul atau utusan Tuhan tidak ubahnya seperti rasul-rasul lain walaupun beliau dilahirkan tanpa ayah.

Salam sejahtera semoga tercurah kepada Almasih pada hari kelahirannya, hari wafatnya dan hari beliau dibangkitkan kelak. []

------------------------------------------------------------------------

Diambil dari buku Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan (Mizan, 1994), karangan Prof. Dr. M. Quraish Shihab