Minggu, 19 Desember 2010

Cerita Sarjana

Saya menyetop taxi dan melaju ke arah Jakarta, ke Balai Sudirman. Bersama ibu dan bapak, ingin menghadiri acara wisuda. Wis Udah. Acara perayaan peng-ahir-an study.

Setelah masuk gedung, bapak dan ibu duduk. Saya bingung. Saya tidak tahu harus ngapain lagi, harusnya kemarin saya ikut gladiresik. Harusnya saya punya lebih banyak teman di gedung itu, untuk sekedar bertanya.

Ah, ada panitia di sana. Saya bisa tanya sekalian ngobrol dan berkenalan. Hai, panitia ya? Kalo nomor satu tiga tujuh barisnya dimana ya? Saya bertanya ke seorang panitia. Cewek. Oh, iya di sini, dia menjawab.

Permulaan yang bagus. Makasi ya, saya berucap. Kok gak ada name tag-nya? Namanya siapa? Saya bertanya lagi. Hana, dia menjawab. Dan percakapan selanjutnya adalah:

Saya: semester berapa?
Hana: semester satu.
Saya: oh, baru ya.
Hana: iya.

Kemudian percakapan jeda beberapa lama…. Mungkin beberapa jam. Mungkin beberapa bulan. Iseng-iseng saya buat percakapan lagi. Percakapan iseng-iseng.

Saya: hana, ya?
Hana: iya tadikan udah kenalan.
Saya: ngak. Maksud saya, nama kamu kok familiar ya? Saya pernah liat foto kamu juga. Dimanaaa gituh. Di mading kayaknya.
Hana: masa sih? *sambil mesem-mesem. Ngingat-ngingat foto apa yang dia tempel di mading*
Saya: iya mading kampus. Ada tulisannya juga.
Hana: ah, enggak.
Saya: iya saya ingat. Tulisannya apa ya?…. wanted, kalo gak salah.
Hana: hahaha…

Acara berlangsung sesuai jadwal. Ah, seharusnya begini setiap acara, tertib waktu. Ada pidato ilmiah dari seorang profesor doktor. Ah, pasti bayarannya mahal. Benar-benar menghipnotis. Saya melihat beberapa teman setengah tertidur. Gak percuma professor itu dibayar mahal. Istri saya SMS di tengah acara, “Lagi apa?”. Saya jawab, “Lagi mau tidur.”

Pidato professor mengingatkan saya pada Hoeda Manis, penulis yang produktif itu. Buku terbarunya akan segera terbit, Learning is Easy, terbitan Elex Media Komputindo (oh ya, kalo kebetulan kamu baca tulisan ini Hoed, berarti kita impas ya. Dan aku tunggu kiriman bukunya. Hehe… ). Kalo penulis lain butuh popularitas dari fesbuk, Hoeda ngak. Mungkin dia berpikir fesbuk terlalu bising. Dia tipe penulis yang menulis karena ingin menulis. Karena senang. Aku adalah jasad kosong yang menyusuri jalan, dan menulis membuatku merasa memiliki jiwa, katanya pada setiap orang.

Oh, kenapa saya tiba-tiba ingat dia? Ya, mungkin karena pidato profesor itu mirip dengan pendapat Hoeda tentang pendidikan dan pembelajaran. Dia menulis: Jangan pernah meyakini sedetikpun bahwa sekolah dan pendidikan formal adalah satu-satunya cara pembelajaran. Sekolah dan pendidikan formal adalah semacam ‘pemaksa’ agar kita mau belajar. Orang-orang kebanyakan menilai kita sebagai orang yang belajar apabila kita bersekolah, dan mereka akan menilai kita sebagai seorang yang tidak belajar bila tidak sekolah. Atau dengan kata lain, kita akan menjadi pintar bila sekolah dan akan menjadi bodoh jika tidak sekolah.

Ya, sepertinya memang pemahaman itu yang dari dulu kita pegang, kawan. Bahwa sekolah adalah satu-satunya sarana pembelajaran. Sehingga sadar atau tidak kita menjadikannya sebagai ‘gengsi pendidikan’. Kita menjadikan pendidikan formal menjadi suatu gengsi. Mendapat nilai bagus menjadi sebuah gengsi. Kita kuliah, karena ingin meningkatkan gengsi —walaupun ada sebagian yang melakukannya dengan ogah-ogahan atau asal-asalan. Kita memiliki status yang jelas sebagai mahasiswa. Sebagai orang yang sedang belajar. Sebagai orang yang berpendidikan.

Dan ketika kita telah lulus dan punya title, kita pun masih ingin melanjutkan sekolah lagi. Apakah itu berarti kita kecanduan sekolah? Mungkin. Ivan Illich mengatakan bahwa sekolah dan segala bentuk pendidikan formal pada akhirnya tidak mencerdaskan siswa, melainkan hanya menciptakan ketergantungan atau perasaan kecanduan yang neurotic.

Sudah waktunya bagi kita untuk menyadari bahwa sekolah dan segala bentuk pendidikan formal hanyalah bagian kecil dari ruang lingkup pendidikan yang maha luas bernama kehidupan. Sekolah itu penting, tapi belajarlah yang terpenting. Belajar itu wajib, tapi sekolah sunah. Intinya tidak apa tidak sekolah, tapi tidak boleh tidak belajar.

Acara berakhir sesuai jadwal. Orang tua saya memilih menunggu di luar. Saya berfoto-foto dengan beberapa fans. Setelah berfoto, saya menyelinap ke luar gedung. Menyelinap dari kerumunan. Sendirian. Di luar telah menunggu kedua orang tua saya. Saya bersalaman dan mengucap terimakasih.

Kita naek angkot aja pak pulangnya, kata saya ke bapak. Oke, kata beliau. Ya, kehidupan telah mengajarkan saya untuk mengirit, kawan. Selamat menjadi sarjana. Selamat belajar. Selamat mencari makan, kawan.

Sabtu, 18 Desember 2010

Hanya untuk Membantu Mengingat Kembali, Maka Saya Perlu Menulis

Hari ini saya ngeliat buku jurnal. Di dalemnya ada kalender dari tahun 2007 sampe 2017. Saya sejenak ngeliat catetan-catetan dari tahun 2007 sampe 2010. Kesimpulan di kepala saya satu; perasaan baru kemaren saya disunat.

Rasanya saya hanya hidup hari ini aja. Hari-hari sebelumnya hanya ingatan, hanya sebentuk memori di kepala. Saya selalu ngebayangin otak manusia adalah sebuah CPU, yang punya memori dan kapasitas. Andaikan memori itu dicabut, kmungkinan saya gak akan inget hari kemarin. Dan hilanglah konsep waktu kemarin dan akan datang. Waktu itu gak ada, yang ada hanya saat ini.

Itulah guna catatan, untuk membantu memori di kepala saya mengingat-ingat. Jadi kalo memori di kepala saya konslet, saya akan meminta orang lain untuk mengingatkan tentang catatan-catatan ini: 2 April 2007, pertama kali saya masuk kerja. Saya dapet banyak temen, juga pacar. Saya mengumpulkan uang dan bisa beli laptop di bulan Nopember tanggal 2, 2008. Awal Juli 2009 buku pertama terbit. Dan tanggal 28 juli pada tahun yang sama —satu hari sebelum saya berusia 24— saya menikahi wanita yang saya suka. Tahun berikutnya lagi, tanggal 15 Maret, saya bisa kredit rumah. Enam  Juli 2010, anak pertama saya lahir. Dan sepertinya baru kemarin saya diwisuda, 16 Desember 2010. Dan saya ngerasa seperti sedang bermain The Sims.

Memang urutannya agak ngaco. Kalo manusia ‘normal’ lulus kuliah, kerja trus nikah. Saya; kerja, nikah, punya anak baru lulus kuliah. Mungkin seperti itulah hidup dalam pandangan saya; menunggu saat yang tepat untuk bertindak.

Ya, saya bisa menceritakan empat tahun hidup hanya dalam satu paragraf. Adapun sisa hari-hari dan bulan-bulan yang gak saya certain adalah tugas rutin hidup; bangun jam lima, kerja, pulang jam tujuh malam, nonton TV, makan, ngobrol, tidur. Akhir bulan gajian. Hari libur jalan-jalan. Kalo dapet 100 miliar keliling eropa.

Menarik memperhatikan saya tidur dalam satu hari, yang mungkin kira-kira 6 jam. Berarti, setidaknya 1/3 dari satu hari hidup saya dihabiskan untuk tidur. Dan berarti, dalam umur saya yang sekarang kira-kira 8 tahun saya habiskan untuk tidur. Dan berarti, saya hampir sama dengan Ashabul Kahfi. Begitupun kalo saya hitung waktu saya nonton TV, makan, mandi, terjebak macet dalam satu hari. Mungkin sekitar 3 tahunan saya habiskan untuk itu. Belum lagi dikurangi masa kanak-kanak, masa yang juga dilewati dalam keadaan yang hampir gak sadar. Dan kalo mao diterusin, masih akan ada banyak lagi pengurangan-pengurangan yang lain. Jadi kesimpulannya, yang tersisa dari hidup saya ini hanyalah beberapa tahun. Dan sadar atau nggak, saya pun mengurang.

Dan apa nilai penting hidup dalam ‘kependekan’ ini.