Kamis, 12 November 2009

Ambiguitas Sastra dan Tanggungjawab Sosial

Pernah ada seorang sahabat yang mengirim SMS yang menjelaskan bahwa novel BaRung (Badung Kesarung) adalah sebuah rekayasa, adalah sebuah pembohongan publik.

Awalnya, ketika menerima SMS itu, saya luar biasa tidak terima dan ingin sekali memberikan pembelaan saat itu juga. Namun, kemudian saya sadari bahwa pembelaan itu hanya akan semakin memperlihatkan kepicikan saya. Karena dalam hal ini, pembaca selalu benar. Merekalah yang menilai. Penulis tidak berhak turut campur untuk menilai karyanya sendiri. Kalaupun pembaca menilai novel itu sebagai novel sampah, penulis seharusnya menerimanya dengan legawa.

Dalam kasus saya, ada pro dan kontra. Ada yang senang dengan novel itu ada juga yang tidak. Memang novel ini tidak seheboh Da Vinci Code-nya Dan Brown. Atau Tuhan Ijinkan Aku Jadi Pelacur–nya Muhiddin M. Dahlan. Atau bahkan seperti Satanic Verse-nya Salman Rusdie. Saya pun tidak berniat untuk membuat kontroversi besar seperti mereka. Sama sekali tidak.

Tulisan ini saya tulis karena saya merasa punya tanggungjawab untuk menjelaskan apa yang telah saya tulis. Saya akan mendahuluinya dengan menjelaskan tentang apa yang mendasari saya menulis novel.

Novel sebagai salah satu bagian dari sastra muncul telah lama sekali. Ide pertama tentang novel di Eropa dimulai oleh Rebelais dan Cervantes. Rebelais melahirkan Gargantua and Pantagruel sementara Cervantes mengarang Don Quixote (Kundera, The Art of the Novel; 1988). Menurut Kundera, sastra memiliki satu spirit, yaitu ambiguitas, maka musuh utamanya adalah agelaste. Agelaste adalah bahasa Yunani yang artinya orang-orang yang tidak bisa tertawa dan tidak punya sense of humor. Kaum agelaste adalah yang berpendirian bahwa kebenaran itu adalah sesuatu yang jelas, sehingga semua orang niscaya akan berpikir tentang hal yang sama, tentang kebenaran yang tunggal. Kaum agelaste yakin bahwa pengetahuan mereka tentang diri mereka sama persis dengan diri mereka.

Memang dalam keseharian, kita selalu menghindari ambiguitas. Kita selalu menghindari makna ganda dalam berbicara. Itu semua agar pendengar menangkap dengan jelas apa yang kita bicarakan. Agar tidak ada kesalahpahaman. Lebih dari itu, agar pendapat yang kita sampaikan bisa lebih diterima dengan mudah. Saya pun setuju dengan itu.

Namun, dalam lingkup yang lebih luas lagi, ketika pikiran-pikiran manusia saling bertentangan, kita menyadari bahwa dunia berisi berbagai macam pendapat yang mustahil disatukan. Begitulah ambiguitas dalam novel. Ambiguitas ini seakan-akan ingin mengatakan bahwa kebenaran itu relatif. Oleh karenanya, maka karakter novel seharusnya selalu bersifat polifonik. Ia menampung banyak suara yang datang serempak, saling mendahului dan berlapis-lapis, dengan tidak ada kata putus tentang suara siapa yang benar.

Nah, berdasar pada pemahaman bahwa novel itu ambigu, dan berangkat dari sebuah tema yang sungguh sederhana bahwa kebebasan butuh konsekuensi yang besar, maka saya menulis novel ini.

Novel ini bergenere komedi dan diberikan label pelit (personal literature) oleh Bukune sebagai penerbit. Kemungkinan besar banyak yang memahami bahwa isi di dalamnya adalah kisah nyata sang pengarang. Padahal, sudah saya jelaskan dalam pembukaan di novel itu bahwa tidak semua cerita di dalamnya kisah nyata yang pernah saya alami. Ini penting saya jelaskan karena tidak sedikit sahabat-pembaca yang menilai novel ini sebagai autobiografi.

Saya setuju dengan ungkapan, “pengarang mati setelah karyanya selesai”, yang mengindikasikan kemandirian sebuah karya. Bahwa sebuah karya, setelah selesai dibuat, menjadi sesuatu yang ‘lain’ dari penulis. Memang ada bagian dari penulis, tapi hanya sebagian. Tidak ada identifikasi bahwa penulis adalah karya atau karya adalah penulis. Analogi ini seperti hubungan ibu dan anak. Lebih dari itu, pembaca menjadi bebas mengartikan sebuah karya tanpa takut berlainan dengan apa yang dimaksud oleh penulis. Karena dalam karya itu penulis sudah tidak ada, ia telah mati.

Disamping itu, saya juga setuju bahwa tulisan (cerita dalam hal ini) dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pembaca. Bahkan bisa sampai merubah cara seseorang menilai sesuatu. Maka ketika itu terjadi, mau tidak mau penulis menjadi bagian tak terpisahkan dari pengaruh itu. Pendapat ini tentu tidak bertentangan dengan pemahaman ‘pengarang mati setelah karyanya selesai’, karena seperti yang diteorikan oleh M.H.Abrams (The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and The Critical Tradition; 1953), pada dasarnya karya sastra menampilkan empat sisi: pengarang, masyarakat (universe), teks karya dan pembaca.

Dalam kasus saya,
Citra Mufthi, sahabat-pembaca, pernah berkomentar....

G0od!
Q dah bLi bkux, bGuz bgt dEch!
Q iKt saLud! Dgn bku nie,, q bsa l0l0z dr pKsaAn 0rtuq bwt msUkin q ke pSntren, jd q bSa bukTiIn law msUk pSntren g' mNjamin saNtri yg bÆk,,
he... :-) thAnkZ!

Saya menanggapi kalimat ‘masuk pesantren gak menjamin santri yang baik.’ dengan satu kesadaran bahwa tidak ada yang salah dengan kalimat itu.

Begini, ada
survey yang menyatakan bahwa anggota DPR adalah anggota dewan yang paling tidak dipercayai masyarakat. Banyak terjadinya korupsi, kolusi, perzinahan dan lain sebagainya. Sampai pernah diabadikan dalam lagu Slank. Dalam masyarakat luas sudah termaindset bahwa anggota DPR buruk. Namun, beberapa pakar politik yang tahu ada beberapa anggota DPR yang masih bersih, mengatakan “gak semua anggota DPR buruk, masih ada mereka yang baik.”. Di tengah orang-orang yang buruk itu masih ada orang-orang baik. Simpelnya: banyak orang buruk sedikit orang baik.

Nah, kebalikannya dari itu, pondok pesantren telah termaindset dalam kepala masyarakat sebagai tempat berkumpulnya orang-orang baik. Lulusan ponpes adalah orang-orang yang dihormati. Namun seperti institusi lainya yang punya cela, begitu juga pesantren. Sehingga timbulah ungkapan “gak semua anak pondok baik, ada juga yang buruk.” artinya masih banyak yang baik daripada yang buruk. Lagipula, di belahan dunia mana yang terdapat orang baik seluruhnya?

Kemudian jika ada sahabat-pembaca yang memutuskan untuk tidak mau masuk pesantren, menurut hemat saya itu semata-mata karena pilihan mereka untuk tidak mau masuk pesantren. Bukan karena pemahaman bahwa ‘gak semua anak pondok itu baik’, karena sekali lagi itu adalah kesimpulan yang wajar. Sehingga saya berkesimpulan bahwa novel itu bukan sebab tapi hanya pemicu.

Dan dengan ini, mudah-mudahan saya telah menyelesaikan tanggungjawab saya untuk menjelaskan; kepada para sahabat-pembaca juga terutama kepada Allah.


Your Humble Writer

Nailal Fahmi