Selasa, 30 September 2014

Lima Hal Tentang Buku Ke Lima

1. Naskah yang paling lama ditulis

Naskah ini ditulis hampir tiga tahun, bahkan “embrio”-nya sudah ditulis sebelum novel pertama terbit sekitar tujuh tahun yang lalu. Kalo sapi, umur segitu udah siap buat dikurban. Kalo jomblo, udah siap-siap ganti kelamin.

Kenapa bisa selama itu? Ya, karena terlalu banyak diedit dan direvisi. Guru menulis gue bilang merevisi itu harus bagus. Menulislah cepat, dan mengeditlah dengan bagus, sebagus mungkin, begitu katanya. Bodohnya, gue melupakan pentingnya deadline. hehe.

Inilah naskah, yang sampai sejauh ini, paling gue inginkan. Mungkin ini bukan naskah terbaik yang akan kalian baca, tapi inilah naskah yang terbaikyang pernah gue tulis.

2. Naskah yang paling banyak ditolak penerbit

Mungkin sebagian orang beranggapan bahwa penulis yang pernah menerbitkan buku akan lebih mudah menembus penerbit ketika menulis buku selanjutnya. Namun pada kenyataanya nggak semudah itu. Gue sering ditolak penerbit, dan dari empat naskah gue sebelumnya inilah naskah yang paling banyak ditolak penerbit. Naskah ini ditolak oleh 44 penerbit. Selisih satu penerbit dengan John Grisham sebelum novel pertamanya A Time to Kill diterbitkan. Dia ditolak 45 kali. Untung penerbit itu bukan cewek, bayangin kalo cowok ditoalak segitu banyak cewek. Bapuk abis tuh orang.

Bukan, gue bukan sedang menyandingkan diri sendiri dengan John Grisham. Gue nggak mungkin menulis sebagus dia, dan nggak pernah bercita-cita menjadi dia atau siapapun. Jangankan menjadi orang lain, menjadi diri sendiri aja nggak gampang.

Terkadang penolakan memang membuat kita frustasi dan mencari dukun, tapi belajar dan mencoba lagi adalah cara paling baik untuk nggak gagal. Seorang kawan pernah menulis di status facebook-nya, “kita tidak gagal, kecuali sudah tidak mau mencoba lagi.”

3. Naskah pertama yang dieditori cewek

Editor itu ibarat rekan bisnis, karena dengan merekalah naskah kita didiskusikan, ditambahkan, dikurangi dan diolah sedemikian rupa untuk membuat buku yang akan diterbitkan nanti sempurna dan menarik banyak pembaca.

Editor untuk naskah gue ini unik —atau gue yang membuatnya begitu. Dia adalah editor cewek satu-satunya dan yang paling strict serta perfectionist yang pernah gue temui. Setidaknya gue nggak menemukan editor seperti dia ketika menulis buku-buku sebelumnya. Dia juga kreatif dan akomodatif. Di tangannya naskah gue jadi lebih keren. Dia mengusulkan untuk menambahkan ilustrasi komik di setiap awal judul, memilih font yang enak dilihat dan yang terpenting merancang cover yang sangat menarik minat pembaca. Karena ditulis cowok dan dieditori cewek, mudah-mudahan naskah ini bisa mewakili selera pembaca yang beragam.

4. Observational Comedy

Buku ini sebagian besar (atau mungkin seluruhnya) bercerita tentang pengalaman yang gue alami. Sebenernya gue nggak lucu-lucu amat, bahkan beberapa kawan menyebut gue terlalu serius. Terutama kalo lagi becanda. Gue juga menjalankan hidup yang biasa-biasa aja dan jarang mengalami kejadian lucu. Tapi gue tahu bahwa menulis cerita lucu bukan berarti harus mengalami kejadian lucu. Apa yang gue tulis adalah hal-hal yang sebenarnya terlihat sederhana, namun disampaikan dengan bahasa humor. Jadi santai aja waktu bacanya, ini komedi, soob…

Sekedar informasi, secara gampang komedi dibedakan menjadi dua yakni Observasional dan Situasional. Observasional yaitu komedi yang terciptaberdasarkan hasil observasi seseorang, dan Komedi Situasional yaitu komedi yang tercipta berdasarkan situasi yang pernah dialami. Nah, dalam naskah yang terakhir ini gue banyak mengeksplorasi Komedi Observasional.

Guru menulis komedi gue pernah bilang bahwa menulis komedi yang baik sebenarnya nggak harus lucu, tapi soal bagaimana kita berhasil memberikanpersepsi unik dari satu hal yang mengandung unsur kebenaran yang sederhana. Jika komedi bisa ditafsirkan menjadi lebih luas seperti itu, maka mungkin benar apa yang pernah Charley Chaplin bilang, “Life is a tragedy when seen in close-up, but a comedy in long-shot.“

5. Naskah komedi ke dua

Menulis komedi sebenarnya gampang-gampang susah. Buku ke lima ini merupakan buku komedi ke dua yang ditulis setelah sebelumnya, sekitar 6 tahun yang lalu, novel komedi pertama gue terbit. Sebegitu lamanya ya karena memang sulit. Sesulit FPI ngislamin Ahok.

Bahkan Raditya Dika sendiri pernah bilang kalo menulis komedi itu susah, terutama dalam hal mencari ide cerita. Dan ide cerita yang bagus itu berasaldari kegelisahan, dasar semua tulisan yang bagus berasal dari kegelisahan yang tulus. Namun gue yakin dan optimis bisa menulis komedi lagi setelah buku ini. Paulo Coelho pernah nulis, "Sesuatu yang terjadi sekali padamu maka hanya akan terjadi sekali, namun sesuatu yang terjadi padamu dua kali maka akan terjadi untuk ketiga kalinya.” 

Gue berharap hal itu terjadi. Amiin.

Your Humble Writer,

Nailal Fahmi


Ps: