1. Naskah yang paling lama
ditulis
Naskah ini ditulis hampir tiga
tahun, bahkan “embrio”-nya sudah ditulis sebelum novel pertama terbit sekitar
tujuh tahun yang lalu. Kalo sapi, umur segitu udah siap buat dikurban. Kalo
jomblo, udah siap-siap ganti kelamin.
Kenapa bisa selama itu? Ya,
karena terlalu banyak diedit dan direvisi. Guru menulis gue bilang merevisi itu
harus bagus. Menulislah cepat, dan mengeditlah dengan bagus, sebagus mungkin,
begitu katanya. Bodohnya, gue melupakan pentingnya deadline. hehe.
Inilah naskah, yang sampai sejauh
ini, paling gue inginkan. Mungkin ini bukan naskah terbaik yang akan kalian
baca, tapi inilah naskah yang terbaikyang pernah gue tulis.
2. Naskah yang paling banyak
ditolak penerbit
Mungkin sebagian orang
beranggapan bahwa penulis yang pernah menerbitkan buku akan lebih mudah
menembus penerbit ketika menulis buku selanjutnya. Namun pada kenyataanya nggak
semudah itu. Gue sering ditolak penerbit, dan dari empat naskah gue sebelumnya
inilah naskah yang paling banyak ditolak penerbit. Naskah ini ditolak oleh 44
penerbit. Selisih satu penerbit dengan John Grisham sebelum novel pertamanya A
Time to Kill diterbitkan. Dia ditolak 45 kali. Untung penerbit itu bukan cewek,
bayangin kalo cowok ditoalak segitu banyak cewek. Bapuk abis tuh orang.
Bukan, gue bukan sedang menyandingkan
diri sendiri dengan John Grisham. Gue nggak mungkin menulis sebagus dia, dan
nggak pernah bercita-cita menjadi dia atau siapapun. Jangankan menjadi orang
lain, menjadi diri sendiri aja nggak gampang.
Terkadang penolakan memang
membuat kita frustasi dan mencari dukun, tapi belajar dan mencoba lagi adalah
cara paling baik untuk nggak gagal. Seorang kawan pernah menulis di status
facebook-nya, “kita tidak gagal, kecuali sudah tidak mau mencoba lagi.”
3. Naskah pertama yang dieditori
cewek
Editor itu ibarat rekan bisnis,
karena dengan merekalah naskah kita didiskusikan, ditambahkan, dikurangi dan
diolah sedemikian rupa untuk membuat buku yang akan diterbitkan nanti sempurna
dan menarik banyak pembaca.
Editor untuk naskah gue ini unik
—atau gue yang membuatnya begitu. Dia adalah editor cewek satu-satunya dan yang
paling strict serta perfectionist yang pernah gue temui. Setidaknya gue nggak
menemukan editor seperti dia ketika menulis buku-buku sebelumnya. Dia juga
kreatif dan akomodatif. Di tangannya naskah gue jadi lebih keren. Dia
mengusulkan untuk menambahkan ilustrasi komik di setiap awal judul, memilih
font yang enak dilihat dan yang terpenting merancang cover yang sangat menarik
minat pembaca. Karena ditulis cowok dan dieditori cewek, mudah-mudahan naskah
ini bisa mewakili selera pembaca yang beragam.
4. Observational Comedy
Buku ini sebagian besar (atau
mungkin seluruhnya) bercerita tentang pengalaman yang gue alami. Sebenernya gue
nggak lucu-lucu amat, bahkan beberapa kawan menyebut gue terlalu serius.
Terutama kalo lagi becanda. Gue juga menjalankan hidup yang biasa-biasa aja dan
jarang mengalami kejadian lucu. Tapi gue tahu bahwa menulis cerita lucu bukan
berarti harus mengalami kejadian lucu. Apa yang gue tulis adalah hal-hal yang
sebenarnya terlihat sederhana, namun disampaikan dengan bahasa humor. Jadi
santai aja waktu bacanya, ini komedi, soob…
Sekedar informasi, secara gampang
komedi dibedakan menjadi dua yakni Observasional dan Situasional. Observasional
yaitu komedi yang terciptaberdasarkan hasil observasi seseorang, dan Komedi
Situasional yaitu komedi yang tercipta berdasarkan situasi yang pernah dialami.
Nah, dalam naskah yang terakhir ini gue banyak mengeksplorasi Komedi
Observasional.
Guru menulis komedi gue pernah
bilang bahwa menulis komedi yang baik sebenarnya nggak harus lucu, tapi soal
bagaimana kita berhasil memberikanpersepsi unik dari satu hal yang mengandung
unsur kebenaran yang sederhana. Jika komedi bisa ditafsirkan menjadi lebih luas
seperti itu, maka mungkin benar apa yang pernah Charley Chaplin bilang, “Life
is a tragedy when seen in close-up, but a comedy in long-shot.“
5. Naskah komedi ke dua
Menulis komedi sebenarnya
gampang-gampang susah. Buku ke lima ini merupakan buku komedi ke dua yang
ditulis setelah sebelumnya, sekitar 6 tahun yang lalu, novel komedi pertama gue
terbit. Sebegitu lamanya ya karena memang sulit. Sesulit FPI ngislamin Ahok.
Bahkan Raditya Dika sendiri
pernah bilang kalo menulis komedi itu susah, terutama dalam hal mencari ide
cerita. Dan ide cerita yang bagus itu berasaldari kegelisahan, dasar semua
tulisan yang bagus berasal dari kegelisahan yang tulus. Namun gue yakin dan
optimis bisa menulis komedi lagi setelah buku ini. Paulo Coelho pernah nulis,
"Sesuatu yang terjadi sekali padamu maka hanya akan terjadi sekali, namun
sesuatu yang terjadi padamu dua kali maka akan terjadi untuk ketiga
kalinya.”
Gue berharap hal itu terjadi.
Amiin.
Your Humble Writer,
Nailal Fahmi
Ps:
- Meminjam kata-kata kawan gue Jenk, buku ini sudah tersedia di toko buku terdekat dan terjauh. :) - Harga toko buku Rp. 35.000, E-book di Play Store Rp. 25.000,-.
- Untuk yang mau beli online bisa ke: http://www.parcelbuku.net/fiksi/di-bawah-bendera-sarung/ atau http://www.bukukita.com/Buku-Novel/Anak-Anak/128437-Di-Bawah-Bendera-Sarung.html atau http://www.inibuku.com/47230/di-bawah-bendera-sarung.html ada diskon bahkan sampe 15 % loh.
- Untuk baca Free Sample-nya bisa di sini https://play.google.com/store/books/details?id=N6_IBAAAQBAJ dan di sini http://books.google.co.id/books?id=N6_IBAAAQBAJ&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false
- Please share the note :D