Well, sebelum ngomong jauh tentang penerbit, saya akan cerita proses kepenulisannya. Suatu hari saya berkunjung ke sebuah toko buku dan menemukan banyak buku dengan judul yang bombastis; Bahasa Inggris Instan, Langsung Bisa dalam Sebulan, Langsung cas-cis-cus dalam Seminggu, Sehari bahkan 24 jam.
Dalam kepala saya berkecamuk, “Apa ada yang percaya dan membeli buku-buku itu?” “Mengapa buku yang menebarkan ‘kebohongan’ ini bisa diterbitkan?”, “Apa ada pembeli buku-buku tersebut yang kecewa dan menuntut sang penulis?”
Bahasa Inggris adalah keterampilan. Mengatakan bisa lancar berbahasa Inggris dalam satu malam atau satu jam tak ubahnya mengatakan untuk bisa berenang, bernyanyi atau bermain gitar hanya dalam tempo sesingkat itu. Sangat sulit.
Satu hal lagi yang banyak dilupakan oleh buku-buku sejenis ini adalah tidak menuntun pembaca kepada keintensifan belajar Bahasa Inggris. Buku-buku ini lupa mengajarkan bahwa bahasa adalah alat komunikasi, sehingga mengajarkannya pun seharusnya menggunakan metode yang sama ketika bayi dan anak-anak belajar berkomunikasi atau mengenal bahasa. Ya, saya harus membuat buku seperti itu.
Sampai di rumah, ‘kegalauan’ tersebut saya tuangkan pada sebuah tulisan. Saya membuat draft, outline, dan proposal untuk buku tersebut. Setelah selesai, saya kirimkan proposal, outline dan contoh tulisan ke penerbit via email.
Satu jam setelah dikirimkan, ponsel saya berdering, telepon dari penerbit! Ajaib, naskah tersebut dipertimbangkan untuk bisa terbit. Saya bahagia luar biasa. Segera saya menyelesaikan proposal tersebut menjadi naskah lengkap. Dua minggu selesai.
Tapi, beberapa minggu kemudian penerbit menyatakan bahwa naskah tersebut tidak layak terbit.
Saya merasa gagal.
Tapi saya berusaha bangkit. Terlalu dini merasa gagal hanya karena ditolak satu penerbit. Saya kirim naskah itu ke penerbit lain. Ditolak lagi. Saya kirim ke penerbit lain lagi. Ditolak lagi.
Ketika mengalami beberapa kali penolakan, saya patah semangat dan berhenti. Berbulan-bulan naskah tersebut hanya teronggok nggak dikirimkan ke penerbit manapun.
Sampai akhirnya saya menemukan motivasi. Hoeda Manis, penulis produktif itu saja, yang telah menerbitkan puluhan judul buku, pernah ditolak sampai belasan kali. JK Rowling pernah mengalami penolakan dari 14 penerbit sebelum bisa menerbitkan Harry Potter. John Grisham lebih banyak lagi, ia mengalami penolakan 45 kali sebelum novel pertamanya, A Time to Kill diterbitkan.
Maka saya pun membangun tekad lagi. Saya kirimkan naskah itu ke penerbit lain lagi. Dan, ditolak lagi. Hell Yeah. Kembali saya kirimkan ke penerbit lain. Ditolak lagi. Kirim lagi. Ditolak lagi.
Saya kirimkan ke penerbit lain dan jawabannya sama. Tidak layak terbit. Alasannya berbeda-beda. Ada penerbit beralasan naskahnya belum sesuai dengan karakter dan kebutuhan penerbit, bukunya kurang bisa diaplikasikan dan lain-lain. Ada juga yang meminta saya menunggu, mulai dari satu minggu sampai tiga bulan.
Ketika mencapai belasan kali penolakan, saya mulai pesimis. Jangan-jangan naskah saya memang nggak layak terbit. Di tengah kebimbangan saya itu, saya menerima sebuah email dari sebuah penerbit. Email yang memberikan saya secercah harapan. Berikut saya kutipkan,
Dear Nailal,
Saya sudah baca. Buku ini asyik. Tidak seperti buku bahasa Inggris lainnya. Konsepnya anak muda, dengan cara berkisah, berbagi (share), ada "how to"-nya, dan tidak tampak seperti text book/buku pelajaran, malah terlihat seperti buku pengembangan diri. Saya pribadi tertarik pada naskah ini. Namun, saya perlu mendiskusikannya dengan tim redaksi lainnya. Doakan saja, semoga saya bisa memperjuangkannya untukmu.
Mudah-mudahan, 7 hari ke depan kami bisa memberikan kepastiannya.
Terima kasih atas perhatiannya,
Salam,
Andiek
Saya kembali optimis. Saya berterimakasih dan menjawab email tersebut dengan berbinar-binar. Beberapa hari kemudian saya menerima balasan:
Dear Nailal,
Langsung aja yah. Setelah coba kami rundingkan dengan saksama dengan teman redaksi, akhirnya kesimpulannya untuk Tidak Menerbitkan naskah ini. Pertimbangan redaksi lebih ke arah "tidak to the point" pada pembelajaran bahasa Inggris. Dari sisi saya pribadi, naskah ini oke. Namun, saya juga setuju dengan pendapat teman-teman redaksi bahwa orang/pembaca membeli buku bahasa Inggris lebih untuk mendapatakan manfaat secara langsung. Apa pun itu, saya suka dengan konsep bercerita, meski konteksnya belajar. Ya seperti naskah ini. Mungkin, Nailal bisa memodifikasinya agar lebih usefull.
Selanjutnya, segala hak dan kewajiban naskah ini, kami kembalikan ke Nailal sebagai penulis.
Atas perhatiannya, kami sampaikan terima kasih.
Salam redaksi,
Andiek Kurniawan
Naskah kembali dtolak.
Saya pun mempelajari kembali isi naskah itu, meminta saran dari kawan-kawan dan merevisinya berulang-ulang. Siang malam passion saya hanya kepada naskah itu. Saya kembali membaca puluhan sumber untuk rujukan. Kawan-kawan yang membaca naskah itu juga mengatakan bahwa naskah itu bagus dan bermanfaat, saya merasa PD dan yakin jika naskah itu akan diterima.
Yeah, the problem may not in my script, but the publisher! Mereka mungkin nggak paham dengan kelebihan dan manfaat naskah itu —I do really know that’s an arrogant statement :). Berdasarkan pemikiran itu, kemudian saya nekat mengirimkan lagi naskah itu ke penerbit lain.
Allahu Akbar, naskah itu ditolak lagi!
Beberapa kali saya kirim ke penerbit yang lain pun hasilnya sama; ditolak.
Sampai disini saya mulai mencari racun tikus.
Tapi tetap mau mencoba. Sekali lagi, saya kirim.
Ditolak lagi —dua puluh satu kali ditolak! Dengan mengelus-elus dada sambil bilang dalam hati “dosa apa gue?”, saya mencoba menerima penolakan-penolakan itu. Saya pikir sudah saatnya berhenti. Jika ditolak lebih dari duapuluh kali, mungkin lo emang bego.
Tetapi saya sudah menerima penolakan berkali-kali, kenapa harus takut menerima penolakan lagi? Saya sangat ingin naskah itu diterbitkan.
Maka saya pun mencoba lagi.
Dan ditolak lagi. Dua puluh dua kali penolakan, saudara-saudara.
Saya sudah siap untuk berhenti. Saya mulai merasa nggak seperti penulis-penulis handal itu. Jika saya menyerah kalah padahal sudah berkali-kali mencoba, mungkin orang-orang akan memakluminya. Tetapi saya juga pernah membaca, entah dimana, bahwa dunia hanya melihat apa yang kamu hasilkan, ia nggak peduli berapa kali kamu mengalami kegagalan. Jika kamu gagal untuk melakukan sesuatu, dan kamu punya sejuta alasan untuk itu, maka kesimpulannya hanya satu; kamu gagal.
Maka saya pun bangkit lagi. Dengan sisa harapan, semangat juga kekeraskepalaan, saya mengirimkan naskah itu lagi. Kali ini naskah terkirim ke Penerbit Dahara Prize.
Dan diterima!
Sebagai informasi, Dahara Prize adalah penerbit yang menerbitkan buku Gapailah Impianmu yang merupakan salah satu masterpiece Hoeda Manis. Buku itu memang tidak menciptakan histeria massa yang gegap gempita, tetapi buku ini terus dicetak ulang hingga hari ini, dan terus terjual meski cetakan pertamanya sudah dua belas tahun yang lalu! Sangat sedikit buku Indonesia yang mampu bertahan di toko-toko buku dalam kurun waktu selama itu!
Akhirnya buku tersebut terbit dengan pembayaran royalty 10% dibayar per enam bulan tanpa uang muka. Tidak mengapa. Saya tetap bahagia.
Saya promosikan buku tersebut ke teman-teman door to door, lewat blog juga jejaring sosial. Dan biasanya kawan-kawan —bahkan kawan-kawan dekat, ngomong, “Mana bukunya? Bagi gue dong satu.”
Yes, begitulah menjadi penulis.