Rabu, 25 April 2018

Agama Sepakbola

Saya mengerti mengapa Ahmad Rifai menjadi Juventini. Usianya 11 tahun ketika Juve meraih tiga juara Eropa. Dan pada masa itu, anak-anak kecil di belahan dunia manapun akan menjulurkan lidah untuk merayakan gol seperti Del Piero.

Saya bisa memahami itu, tapi saya gagal memahami Qoffal Shoghir, bocah yang tinggal belasan ribu kilometer dari Anfield, yang terakhir kali mendapati tim kesayangannya juara liga adalah bersamaan ketika ia brojol. Jadi selama itu, sampai sekarang umurnya 29, ia belum pernah sekalipun melihat klub itu juara liga. Entah doktrin jenis apa yang pernah ia terima. Mungkin sejenis doktrin utopis bahwa “Khilafah Islamiyah” akan bangkit.

Fakta itu selalu jadi bahan empuk ejekan saya. Bahkan beberapa tahun lalu, ketika Gerrard memutuskan gantung sepatu, sambil mengembalikan flash disk berbentuk jersey Suarez, saya pernah bilang ke Qoffal, "Yang dibutuhkan liperpul itu membeli seorang legend. Kebetulan Iwan Fals sedang bebas transfer."

Jadi saya masih belum memahami, ketika kemarin siang ia bertanya prediksi Liperpul vs Roma. Saya membalas melalui pesan WA, "Saya ikut Qowaidul Championiyah aja, Bung! Kaidah ke 165, ‘Siapa yg mengalahkan Barca, dia juara.’"

Dia membalas dan menuduh bahwa itu Qoidah Aglabiyah, sambil mengirim foto sedang berdoa untuk kemenangan The Reds di depan makam Gusdur. Cara pencitraan murahan yang cuma bikin saya pengen.

"Dengan cara itu, Persikaji Kranji pun bisa treble winner Liga Eropa, Bang." Saya membalas sinis. Kemudian menambahkan, "Berdoa juga supaya dapet wasit yang kartu merah Pep lagi."

Ia membalas cepat, "Kartu merah Pep akibat kelakuannya sendiri!"

Apa salah Pep? Waktu itu ia hanya berteriak, "WASIT GOBLOK!!!"

Kalaupun salah, kesalahannya semata-mata hanya karena ia tidak tahu bahwa wasit itu pernah dua tahun tinggal di Teluk Pucung dan fasih berbahasa Bekasi.

Dini hari tadi, Si Merah menang dengan selisih tiga gol di kandang. Di statusnya Qoffal masih was-was, takut dibalas Roma di Stadio Olimpico. Mengingatkan saya pada konsep Khouf dan Roja para sufi, sebelum akhirnya mencapai puncak Mahabbah.

Bagi tim yang selalu hampir juara, lolos setiap babak itu selalu bagai keajaiban yang terus memompa adrenalin. Dan dalam hal apapun, kesetiaan selalu punya ujian. Sekarang saya mulai sedikit memahami bahwa ujian keimanan seorang Livepudlian ada bukan pada saat timnya menang, tapi harapan ketika hampir menang.

Senin, 09 April 2018

Kutukan Seorang Penulis

Novelett yang baru saja terbit ini bermula dari curhatan seorang kawan. Terinspirasi dari kisah nyata.

Pada dasarnya, saya senang mendengar, melihat atau membaca kisah. Hampir semua kisah, baik nyata atau fiksi. Sebagian kisah menjadi pengingat dan pelajaran, sebagian yang lain terlupa, sebagian lagi mengendap menunggu panggilan untuk hadir kembali suatu saat.

Setiap orang punya kutukannya masing-masing, dan kutukan kepada saya bernama empati. Baru akhir-akhir ini saya menyadari, setelah mengingat dan merenung kembali tentang sikap saya terhadap berbagai hal. Butuh waktu yang cukup lama sampai saya sadar.

Pernah suatu hari, saya mengajukan komplain gaji. Kepada Admin saya ingin mengatakan unek-unek saya. Telpon diangkat, dan Admin mengatakan bahwa ia telah menginput kompalin saya dengan benar. Seharusnya saya marah ketika itu, karena apapun alasannya, sudah sangat lama kekurangan gaji saya tidak dibayarkan. Tapi bukan marah yang keluar, setelah mendengar penjelasan Admin, saya malah menjadi kasihan.

Saya tidak sedang membanggakan diri dan menganggap diri saya cerdas secara emosi. Seperti yang saya katakan, ini semacam kutukan. Sesuatu yang mau tidak mau dipunyai seseorang. Sikap yang begitu saja mengalir dalam darah. Mungkin itu sebabnya saya menghayati apa yang pernah Ernest Hemingway bilang, "When people talk, listen completely. Most people never listen." Pada bagian yang lain ia menulis, “As a writer, you should not judge, you should understand.”

Terimakasih untuk pembaca awal naskah ini; Petra Naftalia, Ahmad Rifai, Multianur Pasaribu dan my favorite person on earth, Diah Resmisari.

Novelette ini diterbitkan secara indie karena saya tidak menemukan penerbit mayor yang menerbitkan genre novellete.







Note:

Kamis, 05 April 2018

You’ll Never Muslim Alone

Dini hari tadi Qoffal Shoghir mengirimkan pesan WA yang sekaligus membangunkan saya untuk sahur. Salam 3 vs 0, ia menulis. Emotikon nyengir di akhir pesannya terasa tulus dan spesial.

Sehari sebelumnya, ia bertanya tentang prediksi Liverpool vs City. Saya jawab, “Sejak dipegang Pep, City semakin menakutkan, Bung. Perlu 12 Salah untuk menang. Itupun dengan catatan wasitnya dari Indonesia. Wkwk”

Ia membalas cepat, “Kamfret ente, Bang!”

Bukan. Dia tidak menjawab itu. Kesombongan bagi Liverpudlian lebih banyak menyisakan pedih. Maka ia menjawab dengan tawadhu tapi sayang ambigu, “Saya juga sih pesimis, tapi pesimis gak boleh sebelum ikhtiar.”

Saya mengambil Mafhum Mukholafah dari kalimat itu menjadi, “Kamu boleh pesimis setelah ikhtiar.”

Bagaimanapun kemenangan tetaplah kemenangan. Mari dirayakan sejenak. Kabarnya, untuk merayakan, Qoffal akan bersedekah dan mengusap beberapa kepala anak yatim. Dan jika tahun ini Si Kuping Besar bisa diangkat, kabarnya ia dan beberapa Liverpudlian yang mualaf akan percaya dengan datangnya Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwah, tentu selama yang menjadi Kholifah adalah Mohamed Salah.

#YoullNeverMuslimAlone

Senin, 02 April 2018

cinta kecil

Untuk AR

Hatinya dipenuhi putihitamerahijaungu rasa
Ia percaya hati dirancang untuk derita

Cinta kecilmu tak kan pernah menjadi besar,
hatimu yang semakin menciut

Di ujung horizon, garis itu hanya ilusi
Hal yang sebenarnya adalah langit yang tanpa tepi

Apa yang lebih meyakitkan dari cinta yang tak bisa kau katakan?
Menjadi dungu dan belum juga mati