Saya mengerti mengapa Ahmad Rifai menjadi Juventini. Usianya 11 tahun ketika Juve meraih tiga juara Eropa. Dan pada masa itu, anak-anak kecil di belahan dunia manapun akan menjulurkan lidah untuk merayakan gol seperti Del Piero.
Saya bisa memahami itu, tapi saya gagal memahami Qoffal Shoghir, bocah yang tinggal belasan ribu kilometer dari Anfield, yang terakhir kali mendapati tim kesayangannya juara liga adalah bersamaan ketika ia brojol. Jadi selama itu, sampai sekarang umurnya 29, ia belum pernah sekalipun melihat klub itu juara liga. Entah doktrin jenis apa yang pernah ia terima. Mungkin sejenis doktrin utopis bahwa “Khilafah Islamiyah” akan bangkit.
Fakta itu selalu jadi bahan empuk ejekan saya. Bahkan beberapa tahun lalu, ketika Gerrard memutuskan gantung sepatu, sambil mengembalikan flash disk berbentuk jersey Suarez, saya pernah bilang ke Qoffal, "Yang dibutuhkan liperpul itu membeli seorang legend. Kebetulan Iwan Fals sedang bebas transfer."
Jadi saya masih belum memahami, ketika kemarin siang ia bertanya prediksi Liperpul vs Roma. Saya membalas melalui pesan WA, "Saya ikut Qowaidul Championiyah aja, Bung! Kaidah ke 165, ‘Siapa yg mengalahkan Barca, dia juara.’"
Dia membalas dan menuduh bahwa itu Qoidah Aglabiyah, sambil mengirim foto sedang berdoa untuk kemenangan The Reds di depan makam Gusdur. Cara pencitraan murahan yang cuma bikin saya pengen.
"Dengan cara itu, Persikaji Kranji pun bisa treble winner Liga Eropa, Bang." Saya membalas sinis. Kemudian menambahkan, "Berdoa juga supaya dapet wasit yang kartu merah Pep lagi."
Ia membalas cepat, "Kartu merah Pep akibat kelakuannya sendiri!"
Apa salah Pep? Waktu itu ia hanya berteriak, "WASIT GOBLOK!!!"
Kalaupun salah, kesalahannya semata-mata hanya karena ia tidak tahu bahwa wasit itu pernah dua tahun tinggal di Teluk Pucung dan fasih berbahasa Bekasi.
Dini hari tadi, Si Merah menang dengan selisih tiga gol di kandang. Di statusnya Qoffal masih was-was, takut dibalas Roma di Stadio Olimpico. Mengingatkan saya pada konsep Khouf dan Roja para sufi, sebelum akhirnya mencapai puncak Mahabbah.
Bagi tim yang selalu hampir juara, lolos setiap babak itu selalu bagai keajaiban yang terus memompa adrenalin. Dan dalam hal apapun, kesetiaan selalu punya ujian. Sekarang saya mulai sedikit memahami bahwa ujian keimanan seorang Livepudlian ada bukan pada saat timnya menang, tapi harapan ketika hampir menang.