Setelah 5 bulan pandemi, survei PDSKJI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia) mendapatkan angka gejala cemas menjadi 65%, depresi 62% dan ptsd (gangguan stress pasca trauma) 75%. Sementara survei CESD Unpad setelah 6 bulan pandemik mendapatkan gejala depresi 47%, stres akut dan ptsd 35,51%.
Sayangnya, hanya 9% dari jumlah tersebut yang diobati secara medik. Stigma negatif terhadap seseorang dengan masalah mental menjadi salah satu masalah utama sulitnya penanganan isu depresi dan gangguan mental ini.
Hal yang sering disalahpahami kebanyakan kita adalah menganggap gangguan jiwa adalah hina dan aib. Itu kesalahan umum yang sering kita temui di seluruh dunia. Di Korea Selatan contohnya, 78% orangtua menganggap orang yang depresi adalah orang lemah. Di Indonesia, gangguan jiwa sering dikaitkan dengan kurang iman, kurang ikhlas, azab, karma, pengaruh ilmu kebatinan, ngelmu tanpa guru, gangguan jin, tumbal pesugihan dan lain-lain.
Gangguan jiwa/mental adalah penyakit biasa yang dapat menimpa siapa saja. Sama dengan penyakit fisik lain seperti migren atau flu. Berbeda dengan penyakit fisik yang cenderung mudah dikenali, orang biasanya tidak sadar sedang mengalami gangguan. Beberapa contoh gejala gangguan mental adalah: delusi, halusinasi, suasana hati yang berubah-ubah dalam periode tertentu, perasaan sedih yang berlangsung hingga berminggu-minggu, perasaan cemas dan takut yang berlebihan dan terus menerus, gangguan makan karena merasa takut berat badan bertambah atau makan dalam jumlah banyak, perubahan pola tidur, seperti mudah mengantuk dan tertidur, sulit tidur, serta gangguan pernapasan dan kaki gelisah saat tidur dan lain-lain.
Gejala yang dialami beragam, tapi cara mengatasinya cenderung sama, yaitu perubahan gaya hidup dan dukungan dari lingkungan terdekat. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengurangi risiko serangan gangguan mental, salah satunya yaitu tetap berpartisipasi aktif dalam pergaulan dan aktivitas yang disenangi, contohnya mendengarkan K-Pop.
Di tengah pandemi ini, lagu-lagu K-Pop menjadi salah satu penolong orang-orang dengan gangguan mental itu. Dalam sebuah wawancara di acara konser BTS di London, beberapa Army (penggemar BTS) ditanya tetang mengapa mereka suka BTS, dan berikut adalah beberapa komentar:
“Karena pesan yang mereka bawa. Bahwa sayangi dirimu apa adanya.”
“Lagu-lagunya memberikan hal positif, terutama pada saat aku terpuruk.”
“Aku suka karena mereka tidak takut untuk bicara tentang depresi, kecemasan dan mencintai diri sendiri. Dan aku pikir kita perlu banyak hal seperti itu saat ini.”
Komentar lebih panjang ditulis oleh Rani Neutill, seorang professor berumur 43 tahun dari universitas Harvard, “For me, what has been most important is that BTS is my salve. I am not embarrassed to be a fangirl. If I saw them live, I would scream along with all the Gen-Zers. They are an antidepressant during this time of isolation, bringing me up from depressive lows. For a few hours a day after binging their videos, my anxiety is quelled as they allow me into their colorful, musical world. BTS has given me what we can't have during the pandemic: a sense of closeness.”
Saya tidak sedang mengeneralisasi dan mengatakan bahwa semua fans K-Pop mengalami gangguan mental emosional sehingga butuh pengobatan, sama sekali tidak. Mereka sama saja dengan kita, manusia yang punya unsur ketertarikan, latar belakang atau tujuan yang kadang sulit dianalisa. Karena bagaimanapun fans dan industri K-Pop punya problematika yang tidak sederhana.
Sebagian fans memang mengaku bahwa lagu-lagu K-Pop yang positif membuat mereka lebih menerima dan menyayangi diri mereka sendiri, mereka merasa lebih diterima dan dihargai, seperti komentar-komentar yang saya kutip di atas. Namun di sisi lain, industri K-Pop dikenal kerap memberikan tuntutan tinggi kepada para idol. Sejumlah agensi bahkan melarang bintang K-Pop untuk terlibat asmara agar tidak membuat fans kecewa. Para fans memberi tekanan terhadap idolanya mulai dari penampilan fisik, cara bersikap, cara berpakaian, cara hidup, bahkan cara berbicara. Semua harus sempurna. Mereka melakukan cyberbullying kepada siapapun yang “mengganggu” idola mereka, bahkan mereka melakukan cyberbullying kepada idola yang mereka anggap memiliki “cacat”. Tidak heran beberapa idol K-Pop sendiri mengaku mengalami gangguan mental, ada yang bertahan bahkan membuat lagu yang mengangkat isu kesehatan mental, ada juga yang hancur dan bunuh diri.
Para fans K-Pop, baik yang merasa tertolong akan masalah mental atau mereka yang melakukan perisakan kepada orang lain (bisa jadi mereka adalah orang yang sama), adalah golongan yang besar, punya keterikatan emosional yang sangat dalam dan sehingga sangat mudah digerakan hampir ke arah manapun. Sambil bercanda istri saya bilang, “Kalau ada capres yang menggandeng BTS untuk kampanye, atau hanya menyebut BTS bagus dalam kampanyenya, sudah pasti akan dipilih Army!”
Sekali lagi ini bukan perkara sederhana. Sehingga beberapa waktu lalu, ketika ada komentar bahwa memesan sebegitu banyak BTS Meal di McD dan membuat Ojol berkerumun adalah perbuatan dungu, saya menganggap ia tidak utuh dalam melihat masalah dan tidak punya argumen yang memadai. Banyak yang memesan BTS Meal bukan penyebab kerumunan, tapi karena tidak ada keseriusan dari pihak penjual untuk mengatur. Menyalahkan pembeli karena berkerumun adalah seperti menyalahkan anak kecil —yang belum punya penghasilan dan masih dalam tanggungjawab orang tua— atas alasan terlalu banyak main gadget. Keterikatan emosional yang mendalam para fans tidak bisa serampangan dianggap dungu, apalagi ketika mereka melakukan hal yang legal.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengulangi fakta sederhana bahwa banyak orang yang punya gangguan mental tidak sadar mereka sedang mengalaminya. Pertanyaannya kemudian adalah apakah mereka adalah kita? Jika bukan, apakah kita menjadi golongan yang memperburuk atau yang bisa membantu mereka?