Halaman

Selasa, 18 Desember 2012

Tentang Dua Buah Film (1)

Kemarin gue nonton dua buah film yang dibuat pada rentang waktu yang jauh beda, tapi punya benang merah yang sama; keyakinan. Ada satu hal lagi yang membuat dua film ini sama, mereka sama-sama adaptasi dari novel. Film yang pertama berjudul Simon Birch (1998, adaptasi dari  A Prayer for Owen Meany oleh John Irving.) dan yang kedua Life of Pi (2012, adaptasi dari Life of Pi oleh Yann Martel).


Pada screen awal Simon Birch menampilkan Joe Wenteworth dewasa di depan sebuah nisan, dengan backsound prolog:
I am doomed to remember a boy with a wrecked voice, not because of his voice, or because he was the smallest person I ever knew, or even because he was the instrument of my mother's death, but because he is the reason I believe in God. What faith I have, I owe to Simon Birch, the boy I grew up with in Gravedown, Maine.
Dari prolog ini aja gue udah tertarik buat nonton.

Kemudian screen selanjutnya diteruskan dengan cerita tentang seorang kawan karib Joe yang bengal —sejujurnya gue juga gak ngerti apa sebenarnya arti bengal, tapi biarin aja begitu— bernama Simon Brich. Simon lahir dalam kondisi yang nggak seperti anak-anak 12 tahun seusianya, ia lahir dengan tubuh kecil. Namun bukan jiwanya, karena dalam usianya saat itu ia punya keyakinan kuat dari dalam hatinya bahwa Tuhan menciptakan dirinya seperti itu untuk sebuah alasan. Tuhan pasti punya tujuan, begitu selalu ia bilang. Saking kuatnya kepercayaan kepada Tuhan, ia pernah menanyakan tentang Tuhan di depan pendeta yang sedang berceramah di sebuah gereja dan membuat para jemaat tertawa. Ia dihukum untuk merenung di pojok ruangan. Di sana sang pendeta bertanya:
Rev. Russell: What are you doing sitting in a corner Simon?
Simon: Thinking about God.
Rev. Russell: In a corner?
Simon: Faith is not in a floor plan.
Ia sangat percaya bahwa Tuhan menciptakan seperti itu untuk menjadi pahlawan. Itulah yang menjadi cita-citanya juga. Sebuah cita-cita yang absurd.

Joe adalah anak "haram" dari seorang wanita yang merupakan “bunga desa” di daerah itu. Saking cantiknya Simon pernah bilang ke Joe, “Your mother is so sexy, sometimes I forget she's someone's mother. “ —Nah, dari ucapan ini kalian tentu ngerti apa yang gue maksud dengan bengal. Hehe.


Simon, karena saking kecilnya, pada usia 12 tahun ia masih memerankan Bayi Yesus dalam sandiwara Natal gereja. Sampai suatu ketika persahabatan mereka diuji, Ketika bola yang dipukul Simon pada sebuah pertandingan kasti mengenai kepala ibu Joe dan menyebabkannya mati seketika. Simon bertanya-tanya dalam hati mengapa Tuhan menjadikannya alat untuk membunuh ibu kawannya yang sangat ia cintai itu. Bisa dibilang ibu Joe juga merupakan ibu Simon dalam hal kasih sayang. Namun Joe berpikiran lain, menurutnya itu hanyalah kecelakaan dan nggak ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Simon menyebut Joe nggak punya iman, tapi Joe menjawab, “I have faith. I just need proof to back it up.”
Setelah kematian ibu Joe persahabatan mereka nggak putus, bahkan makin erat.
Cerita belanjut ketika mereka bersama-sama mencari tahu siapa ayah Joe sebenarnya. Sampai akhirnya mereka menemukannya. Takdir juga menuntun Simon untuk menyelamatkan anak-anak dalam bus yang tenggelam, yang menyebabkan nyawanya melayang dan akhirnya dia dikenang sebagai seorang pahlawan, a very small hero.

Lanjut ke sini.