Selasa, 01 April 2014

Tentang Perbedaan Awal Puasa dan Lebaran

Bulan puasa tahun lalu saya berpuasa tanggal 9 Juli 2013. Menurut saya itu adalah tanggal satu Ramadhan. Sementara pemerintah melalui mentri agama menyatakan bahwa tanggal satu Ramadhan jatuh keesokan harinya, yaitu pada tanggal 10 Juli.

Kalau ada yang bertanya kenapa saya puasa berlainan dengan pemerintah, biasanya saya jawab dengan enteng dan bercanda, “Gue udah lama gak percaya pemerintah.” :)

Namun ada komentar yang kemudian menyebar setelah penetapan oleh pemerintah itu, salah satunya yang diberikan oleh seorang habib terkemuka. Ia mengatakan bahwa orang yang berpuasa berlainan dengan pemerintah itu bathil. Ia mengutip sebuah hadits nabi yang berbunyi, “Jika kalian melihat hal yang tak kalian sukai pada penguasa kalian maka bersabarlah, karena yang memisahkan diri dari jamaah muslimin sejengkal saja, lalu ia wafat maka ia wafat dalam kematian jahiliyah." (Sahih Bukhori)

Dalam menanggapi hal tersebut, tentu saja yang berpuasa tanggal 9 merasa tertampar dan tidak bisa menerimanya, bahkan kawan saya ada yang sampai marah-marah di jejaring sosial. Saya pribadi sebenarnya juga tidak terima, tapi saya memilih diam dan berencana akan menjawab posting tersebut suatu saat nanti.

Mengapa saya menunda berkomentar dan diam saja?

Alasan pertama adalah masing-masing orang bertanggungjawab terhadap apa yang ia lakukan, apalagi ini menyangkut ibadah. Sehingga untuk apa berdebat panjang lebar kalau memang masing-masing sudah punya pendirian, sudah punya dalil masing-masing? Alasan yang ke dua adalah tidak elok sepertinya bertengkar di tengah menyambut bulan yang sangat dihormati umat Islam di seluruh dunia ini, apalagi sampai mengatakan seseorang bathil.

Atas dua alasan itu, maka sekarang sepertinya telah tiba untuk saya menjelaskan tentang keputusan puasa lebih awal itu. Mudah-mudahan tidak ada yang tersinggung dan marah-marah lagi, mengingat waktunya yang sudah lewat cukup jauh. Dan seperti biasa, tentu saja ini alasan pribadi saya tanpa bermaksud mempengaruhi orang lain yang sudah berpendirian. Ini hanya salah satu perspektif di tengah banyak perspektif lain. 

Hal awal yang ingin saya katakan adalah saya tidak menyangkal hadits riwayat Bukhori tersebut. Namun begitu, perlu juga dijelaskan konteks ketika nabi mengucapkannya. Kemudian hal selanjutnya adalah saya akan menjelaskan keputusan saya berpuasa tanggal 9 Juli lalu dengan terlebih dahulu menjelaskan tentang apa yang disebut dengan 1 Ramadhan.

Penentuan jumlah hari dan awal bulan untuk kalender Qomariyah didasarkan pada pergerakan bulan mengelilingi bumi selama rata rata 29,5 hari sekali. Artinya secara teori setiap 29,5 hari telah berganti bulan baru. Namun dalam prakteknya angka ini dibulatkan menjadi 29  atau 30. Dalam penanggalan Masehi atau Qomariyah, satu hari sama sama terhitung 24 jam. Namun perbedaan terjadi pada penetapan awal hari.

Dalam sistem penanggalan Masehi, awal hari dimulai ketika jarum jam menunjukkan pukul 00.00 waktu setempat. Sementara hari dalam penanggalan Hijriyah dimulai saat matahari terbenam di wilayah masing-masing. Berdasarkan perhitungan bahwa 1 bulan Syaban = 29,5 hari, maka pada hari ke 29 bulan Sya’ban dilakukan observasi apakah saat matahari terbenam bulan sudah tepat mengelilingi bumi satu putaran atau belum. Atau lebih gampangnya apakah hilal atau bulan baru sudah terlihat atau belum.

Jika sudah 1 putaran penuh bulan mengelilingi bumi maka selepas manghrib di tempat itu sudah jatuh tanggal 1 Ramadhan. Jika belum 1 putaran penuh maka sehari setelah observasi, (juga selepas maghribnya) baru dinyatakan 1 Ramadhan.

Nah, pada Ramadhan lalu itu, salah seorang kawan saya menyatakan bahwa dia menyaksikan beberapa orang bersumpah telah melihat hilal tidak begitu jauh dari daerah saya tinggal. Ketika mendengar berita tersebut, ada dua pilihan di tangan saya; mempercayai atau tidak mempercayai. Namun saya cenderung kepada mempercayai mereka. Alasannya cukup simple; apa dasar saya untuk tidak mempercayai orang-orang muslim —yang bisa dipercaya— yang sudah bersumpah melihat hilal?

Nah, pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah setiap orang bisa melihat hilal? Dan apakah pengelihatan setiap orang di daerah yang berbeda itu sama?

Jawaban yang paling logis dari pertanyaan itu adalah tidak. Ini kira-kira sama saja dengan menanyakan apakah tanggal 1 Januari di satu daerah sama dengan daerah lain? Tentu berbeda, walaupun hanya berbeda jam saja. Itu yang disebut perbedaan subtantif. Artinya memang benar ada fakta empirik yang secara substansi menyebabkan perbedaan itu. Apalagi ditambah dengan perbedaan interpretasi, yaitu kemampuan interpretasi masing masing “pakar” yang berwenang dari masing masing kelompok.

Sebenarnya posisi bulan relatif terhadap matahari dan pengamat di bumi merupakan sebuah pergerakan yang dapat dihitung dan diprediksi dengan akurasi yang memadai.  Demikian pula perhitungan mengenai angka pasti umur bulan saat maghrib tanggal 29 Sya’ban. Lalu kenapa awal bulan tidak bisa disamakan saja, paling tidak dalam suatu negara?

Saya ingin menjelaskan satu hal yang juga turut campur dan (seakan-akan) meruncingkan perbedaan ini; perbedaan politis. Saya pikir itulah yang menjadi pendorong utama terjadinya perbedaan.

Oleh karena itu, patut juga diwaspadai bahwa perbedaan interpretasi semacam ini bisa menjadi pintu masuk terjadinya perpecahan umat. Itu sebabnya beberapa orang yang lebih cermat seringkali membaca fenomena adanya pihak tertentu yang dengan sengaja mengarahkan agar perbedaan semacam ini tetap ada dan selalu ada, meskipun sebenarnya bisa disatukan.

Pada prinsipnya, saya setuju bahwa perbedaan itu rahmat. Sehingga bagi seseorang yang tidak memiliki keluangan waktu untuk menelaah lebih jauh ihwal penetapan tanggal 1 awal bulan Hijriyah, hendaknya mengambil sikap untuk mengikuti ulama setempat atau yang lebih mereka percayai, sambil tetap memberikan kelonggaran dan menghormati saudara muslim lainnya untuk mengikuti pemimpin mereka masing-masing. Berlakulah toleran terhadap sesama muslim. Tidak ada gunanya saling menghujat.

Dan pesan saya bagi ulama yang “diberi” kewenangan untuk menentukan awal bulan, hendaknya terus melengkapi diri dengan ilmu astronomi dan senantiasa membuka diri untuk menerima informasi baru baik berupa metode maupun data empirik yang mungkin lebih modern, agar menjadi penyempurna atas metoda dan data yang sudah ada.

Wallahualam bissowab.