“Kalau aku meninggal, apakah mereka semua akan berkumpul?”
suatu hari simbah pernah bertanya.
Setelah berpikir sejenak, saya menjawab, “Mbuh!”
Beberapa tahun yang lalu, saat masih kuliah, saya tinggal
bersama nenek. Jika di rumah, sebagian besar waktu, selain membaca buku, saya
habiskan untuk mengobrol dengan beliau. Banyak hal yang ia bicarakan, tapi yang
paling sering, dan selalu ia bicarakan, adalah tentang anak-anaknya. Tentang
bapak, paman dan bibi saya, yang beberapa diantara mereka telah tinggal jauh;
di luar kota, di luar negeri, bahkan di luar dunia [baca: akhirat].
Tidak jarang ia fokus bercerita tentang kejadian tertentu
yang ia anggap sepesial. Ia bercerita seakan-akan itu pertama kali ia
menceritakannya. Dengan gaya, intonasi, diksi, dan semangat yang sama seperti
yang sering saya dengar. Ya, saya telah mendengar cerita itu berulang-ulang dan
simbahpun tahu kalau dia telah menceritakan kepada saya berulang-ulang. Saya
pikir itulah derita menjadi orang tua, atau mungkin begitulah derita menjadi
manusia. Bahwa a moment can last forever, tidak peduli berapa lamapun kamu
hidup.
Jadi ketika ia bertanya apakah anak-anaknya akan berkumpul
ketika ia meninggal, saya menguras seluruh pikiran untuk menjawabnya. Saya
paham mengapa beliau menanyakan hal itu. Beliau dilumpuhkan stroke, menjalani
hari-hari dari atas dipan sambil mengetahui beberapa anaknya meninggal lebih
dahulu. What question do you expect her to ask?
Bisa saja saya menjawab pertanyaan itu dengan
jawaban-jawaban lain yang beraneka ragam, tapi “mbuh” adalah jawaban filosofis
yang mampu mewakili jawaban-jawaban itu.
Seratus hari yang lalu bapak saya meninggal dunia. Umurnya
59, dan akan terus seperti itu. Di hari wafatnya, kami, lima orang anak beliau
yang masih hidup berkumpul —belakangan saya tahu dari catatan harian bapak yang
saya baca setelah beliau wafat, kami punya satu adik perempuan yang meninggal
dalam kandungan ibu.
Sebagai anak tertua, saya merasa bertanggung jawab untuk
mengatur apa yang harus dikerjakan. Saya
dan Fikri kebagian tugas untuk memandikan, mengkafani dan menguburkan. Dua adik
perempuan saya kebagian membaca Al Quran. Sementara si bontot Adil tidak bisa
mengerjakan apa-apa selain menangis. Dia menangis sampai kelelahan dan
tertidur, ketika dibangunkan untuk salat dzuhur, ia terbangun dan lanjut
menangis. Sebenarnya seluruh anggota keluarga kami menangis pada hari itu, tapi
melihat kemampuan Adil mengangis, kami menjadi minder.
Malam itu saya pulang ke rumah dengan badan remuk. Untuk
orang yang biasa bekerja di depan komputer, pekerjaan fisik menggotong keranda
adalah hal yang membuat otot kaku. Dengan kelelahan semacam itu, seharusnya
mudah saja bagi saya untuk tidur. Tapi
tidur bukan hanya masalah tubuh, ia juga berkaitan dengan batin. Pikiran saya
belum bisa diajak berdamai. Saya meminta ijin kepada istri saya keluar kamar
untuk menulis. Malam itu pukul 11, di hari normal, istri saya pasti melarang,
tapi malam itu, ia seperti sadar bahwa larangannya tidak akan berguna.
Apa yang saya tulis pada layar laptop malam itu?
Kenangan.
Semua orang pasti mati, tapi tidak dengan kenangan. Ada
banyak kenangan dengan almarhum yang masih saya ingat, baik yang masih jelas
atau samar-samar, terutama kenangan-kenangan semasa kecil. Saya ingat beberapa kenangan masa kecil yang
tidak lengkap, kadang hanya teringat kejadian, tanpa tempat dan waktu.
Kenangan-kenangan puluhan tahun lalu itu samar, tapi jernih, seperti tidak bisa
lepas. Lekat seperti bayangan. Semakin beranjak dewasa, saya mengerti bahwa
suatu hari nanti, sebagian kita hanya akan jadi ingatan bagi sebagian yang
lain, dan dalam semua kenangan itu kita hidup.
Ada satu kenangan dengan bapak yang saya tulis kemudian, dan
tanpa saya sadari menjelma puisi. Saya beri judul puisi itu Di Samping Bapak
Pada Suatu Petang.
Kami berjalan ke utara,
bersisian di pinggir jalan
Entah dimana, entah kapan
Kita bergandengan tangan,
bersama kami ada petang dan waktu yang bergerak maju
Aku masih kecil, matahari besar bersinar terik
Membuat bayang-bayang memanjang ke arah timur
Bapak memindahkanku dari sebelah barat ke sisi yang lain
Menjadikanku berada dalam naung panjang bayang tubuhnya
Ia menoleh ke arahku,
dari belakang kepalanya bersinar
matahari,
Ia bilang, “Kita seperti berada dalam puisi Sapardi”