Saya berencana bertemu seorang kawan untuk menyumbang buku, dan kami memutuskan bertemu di sebuah restoran cepat saji.
Desember siang itu cuaca terik, sudah beberapa hari tidak turun hujan. Di saat banyak orang mengharapkan hujan, saya berharap Dora bernyanyi, “hujan-hujan pergilah datang lagi lain hari,”
“Tadi waktu aku mau kesini tiba-tiba ujan gede,” kata kawan saya memulai percakapan.
Dora mengecewakan saya.
“Iya? Tapi hujannya nggak rata. Setelah tol timur tadi baru gue liat jalanan becek.” Saya merespon, tidak lama setelah meletakan kardus buku di bawah meja.
“Hujannya juga cuma sebentar sih.”
“Semoga di rumah nggak ujan. Ada tukang yang lagi ngecor soalnya.”
Seperti biasa, percakapan berlanjut dengan menanyakan kabar, kegiatan, dan hal-hal sederhana lain. Kawan saya kemudian bercerita tentang kesalahpahaman ibunya tentang buku-buku yang ingin saya sumbangkan. Beliau mengira saya akan menyumbangkan buku-buku yang saya tulis, yang menurutnya kurang cocok.
“Aku bilang, ‘Yang disumbangin itu buku-buku yang dipunya Nailal, Mi! Bukan buku-buku karangan Nailal!’” kawan saya menirukan cara dia menjelaskan kepada ibunya. Saya membalas dengan tawa.
Tentu saja saya tidak berniat menyumbangkan buku-buku yang saya tulis. Selain karena tidak banyak, saya juga sadar bahwa sumbangan ini untuk panti asuhan Kristiani, jadi tidak mungkin saya memasukan buku-buku yang bernuansa Islam. Saya masih waras untuk tidak menyumbangkan buku “Haji dan Umrah Bersama M. Quraish Shihab: Uraian Manasik, Hukum, Hikmah, & Panduan Meraih Haji Mabrur” kepada mereka.
Kami membicarakan banyak hal, termasuk intoleransi yang menguat akhir-akhir ini. Ia bercerita tentang berdebatan di media sosial yang semakin riuh, semakin membuat jengah. Debat antara kawan, baik yang seagama juga yang berbeda. Banyak bertebaran berita hoax. Pelarangan ibadah di Sabuga dan lain-lain. Saya sempat kaget ketika ia bercerita bahwa di sekolah tempat ia mengajar, panitia bahkan sampai mengganti nama Perayaan Natal menjadi Thanksgiving.
Pahit sekali.
Saya membayangkan berada di posisinya. Menjadi golongan yang sedikit. Membayangkan menjadi muslim di negara yang warganya telah terjangkit Islamophobia. Membayangkan rumah ibadah kami dilarang berdiri. Membayangkan bertahan atas diskriminasi dan ejekan di jalan-jalan kota.
Entah mengapa, setelah mendengar curhatannya, sebagai seorang muslim, golongan yang terbanyak, saya jadi merasa bersalah. Untuk membesarkan hatinya, saya sarankan ia untuk tidak berdebat di media sosial. Selain berguna untuk menjaga tempurung kepala tidak mengkerut, berdebat dengan orang-orang yang kalap, ngotot dan gemar menyebar fitnah, juga tidak akan membawa kita kemana-mana.
Saya senang bertukar pikiran dan berdebat. Sebuah berkah karena sejak mondok saya punya teman-teman debat yang bagus. Kita tahu, lawan berdebat yang baik membuat perdebatan berkualitas. Itu adalah masa-masa dimana kami suka menguji mental dengan berbicara di depan orang banyak dan berkata-kata besar. Kelak berbekal pengalaman itu, saya berani mendebat siapapun yang tidak sependapat. Hanya satu orang yang tidak pernah menang saya debat; istri saya. Kalaupun saya menang, ia menangis. Dan saya menjadi makhluk paling brengsek di seluruh tata surya.
Ada banyak kawan debat yang saya kagumi, salah satunya Ahmad Rifa’i. Dalam satu forum diskusi berisi beberapa angkatan di atas kami, ia pernah berkata dengan jernih, “Saya nggak peduli dengan pelakunya. Saya membayangkan jika yang menjadi korban adalah keluarga saya, maka saya akan menuntut. Siapapun pelakunya, pembunuhan sembarangan seperti itu sama dengan membunuh manusia seluruhnya.”
Tahun 2011, saat itu Fa’i dan saya kelas satu Aliyah, ia mengemukakan pendapat pribadi itu di depan para senior, ketika kami sedang membahas Al-Qaeda dengan aksi 9/11 di WTC. Bagi saya yang terbiasa mendapat cekokan hafalan dan khutbah, mengemukakan pendapat pribadi di depan orang banyak adalah tindakan yang baru. Dan sesuatu yang baru adalah keren! Apalagi di depan para senior, apalagi pendapatnya bersebrangan. Sejak saat itu saya mengaguminya.
Dari Ahmad Rifai saya belajar keadilan. Bahwa keadilan adalah asas dasar seorang muslim ketika bertindak. Bahwa kita dilarang berbuat zalim bahkan kepada orang yang kita benci. Bahwa berbuat adil itu lebih dekat dengan ketakwaan.
Kawan yang lain adalah Zainuddin. Ia moderator perdebatan yang sangat kritis dan sangat menghargai perbedaan. Saya berkawan baik dengannya sejak kelas satu Tsanawiyah, dan yang paling saya ingat dari Njay adalah ia tidak pernah membeda-bedakan teman. Dia berkawan dengan siapa saja, yang pintar, yang kurang pintar, yang banyak uang, yang kurang, yang gaul, yang kuper, introvert, extrovert. Kepada siapa saja tanpa pernah membeda-bedakan latar belakang mereka. Supel mungkin kata yang tepat menggambarkan dirinya. Dari Njay saya belajar tentang menghargai perbedaan, ketulusan menolong dan kesetiakawanan.
Muhammad Yahya, atau Kiyai, atau Gus, atau Aki-aki, atau Engkong juga adalah kawan bertukar pikiran yang sangat saya hormati karena kaya bahan bacaan. Dia yang paling cemerlang diantara kami sekelas. Tidak ada orang yang pernah menyaingi rankingnya. Dia dikenal dan disayang oleh semua guru. Kepadanya kami bertanya pelajaran-pelajaran yang belum kami pahami.
Dalam diskusi, ia lebih sering menjawab tidak tahu. Ia sering mauquf (belum menentukan pilihan, menunda pendapat) terutama pada masalah yang kontroversial. Ia sangat hati-hati dalam berpendapat. Salah satu tanda kedalaman ilmunya. Sebagaimana Imam Syafi’i yang pernah menceritakan bahwa Imam Malik ketika diajukan 50 pertanyaan tentang agama, hanya menjawab 10 pertanyaan, selebihnya ia menjawab tidak tahu.
Dari Kiyai Yahya saya belajar tentang tawadhu, tabayyun dan berprasangka baik. Untuk berhati-hati terhadap informasi yang beredar, mencari kejelasan suatu masalah hingga terungkap dengan jelas kondisi yang sebenarnya dengan pemahaman yang mendalam.
Begitulah saya senang berdiskusi, begitulah saya mengagumi dan mengambil pelajaran dari kawan-kawan berdebat saya, tapi berdebat di media sosial adalah hal yang lain. Menurut saya banyak orang yang tidak tahu adab di sana, atau paling tidak melupakannya. Mereka yang hanya diwakili oleh sebaris nama dengan “@”, merasa seakan-akan tidak dikenali dan bebas melakukan apapun. Orang dengan mudah mencaci “ndasmu!” kepada ulama yang santun. Orang dengan enteng menyebar berita bohong tanpa merasa harus meminta maaf jika terbukti. Ada istilah yang populer di tengah-tengah aktifis penangkal berita dusta, “Apa yang lebih cepat dari kecepatan cahaya? Orang bodoh yang menyebar berita hoax.”
Akhlak yang baik; itulah yang hilang dari kita. Saya ingat, semasa mondok, sebelum jauh-jauh mengkaji Bulughul Maram, Alfiyah, Ilmu Mantiq, Falak dan pelajaran-pelajaran tinggi lainnya, kami belajar Akhlaqu Lilbanin dan Ta’lim Muta’alim. Kami belajar tentang akhlak. Santri diajarkan berakhlak baik kepada semua orang; pembantu, orang yang lebih tua, yang lebih muda, guru, binatang, tanaman dan lain-lain. Saya tidak sedang membanggakan anak pondok, tapi menekankan pentingnnya beretika kepada setiap orang. Sebagaimana Gus Mus bilang, “Santri bukan yang mondok saja, tapi siapapun yang berakhlak seperti santri dialah Santri.”
Sejatinya begitulah tujuan nabi Muhammad diutus ke muka bumi, liutammima makarimal akhlaq, untuk menyempurnakan akhlak mulia. Maka jika ingin berdiskusi, marilah berdiskusi dengan ilmu dan akhlak. Dengan logika sebagai dasar, dan mengerti ketentuan dalam pengambilan dalil. Dengan adil, menghargai perbedaan, tabayyun, tawadhu dan berprasangka baik. Itulah akhlak standar seorang muslim.
Argumen yang bagus adalah argumen logis yang didukung pendapat ulama ahli ilmu wa al-ma'rifat yang tsiqah. Bukan asal kutip dari tulisan yang tidak jelas penulisnya. Menyerang pribadi bukanlah argumen. Biasanya mereka yang tidak bisa membalas argumen sering malah menyerang pribadi dan berasumsi. Dari mulai kurang iman, munafik, kafir, dan lain-lain. Menuduh lebih mudah daripada menyusun bantahan bukan? Dan berdebat dengan orang-orang seperti itu hanya akan membuat otak melorot sampai mata kaki.
Perbedaan seharusnya disikapi dengan santai dan tenang. Bagi saya, tidak masalah berbeda pendapat atau mendebat, asalkan dengan argumen disertai dengan sopan santun, bukan seenaknya saja tanpa hormat. Itulah mengapa saya agak malas berdiskusi di media sosial. Tidak ada tone, intonasi, timing, suasana dan lain sebagainya yang bisa kita temukan ketika berdiskusi langsung. Selain itu, saya juga belajar bahwa tidak semua hal bisa diperdebatkan. Tidak semua orang bisa secara dewasa diajak berdebat. Agama juga telah mengatur koridor perdebatan.
Saya mendorong semua orang untuk bisa merayakan perbedaan. Bukankah berbeda pendapat itu rahmat? Maka kenapa kita senang memaksakan kehendak dan pemikiran kepada orang yang tak sejalan? Kita tidak bisa memaksa seluruh manusia menjadi orang-orang yang beriman. Apakah kita sedang berpikir bahwa kuantitas itu lebih penting dari kualitas? Jika populasi mayoritas semata-mata dijadikan ukuran makhluk yang menang, maka sudah lama dunia dikuasai kecoak.
Tidak mengakui perbedaan dan memaksa semua orang untuk sependapat bukan hanya menentang hukum alam, namun juga menentang kehendak Tuhan.
Berdiskusi dan berdebat dengan cara yang baik (terbaik) menurut saya adalah hal yang bagus untuk melatih nalar, kelapangan hati dan kesabaran, paling tidak membuat saya semakin haus ilmu, rajin membaca dan membeli buku. Sejujurnya saya enggan menyumbangkan buku-buku yang saya punya. Buku-buku yang saya kumpulkan sejak mondok, dibeli dari menyisihkan uang jajan yang memang sedikit. Andai saja saya punya rumah yang lebih besar untuk menampung mereka.
“Kalo ada buku yang nggak sesuai, dibalikin aja gak papa.” Kata saya mengakhiri percakapan di tempat parkir. Kawan saya yang rendah hati itu mengiyakan.
Hari beringsut sore ketika saya beranjak, beberapa bagian langit terlihat rendah dan kelabu, sebagian lagi terang. Ditengah perjalanan pulang, ketika banyak orang mengharapkan hujan turun, saya masih berharap sebaliknya. Semoga tidak bertentangan dengan kehendak Tuhan.
Wallahu a’lam bissowab.