Awalnya saya menganggap Amirudin seorang jenius, ternyata saya salah. Ia orang sakti. Setidaknya, sejauh pembacaan saya terhadap Wali Songo, belum pernah saya temukan ada yang punya Karomah bisa mematikan orang hidup dan kemudian menghidupkannya lagi.
Saya akan cerita tentang alasan ia bisa disebut ~kera~ orang sakti nanti. Sekarang, saya akan bercerita siapa itu Amirudin dan terakhir kali bertemu. Ia adalah kawan semasa Mts. Minggu pagi itu, sepulang kerja, saya berencana mampir ke rumahnya. Menengok anak ke empatnya yang baru lahir beberapa hari sebelumnya.
“Bang, WA gua gak dijawab?” kata saya di telpon, “Baru bangun tidur lu ya?”
“Iya. Jadi kesini?” responnya dengan suara serak.
“Jadi. Ini masih di Prumnas tiga. Bentar lagi saya kesana.”
“Siap! Ane tunggu!”
“Mandi dulu jangan lupa!”
Sebelumnya, lewat WA Amir memberikan ancer-ancer. Berikut saya kutipkan:
“kluar.jln raya setia mekar .lngsung star k rawa klong tugu masuk dalam..lurus ada begall .lihat k depan ada gapura masuk dalam.nanya aja pak RT.napin supena.”
Saya nggak punya masalah dengan gaya menulis para alay. Tapi melihat tulisan dengan kosa kata dan instruksi yang aneh, dengan tanda baca yang bikin mata saya parkinson, saya yakin kalau Amir adalah salah satu alay yang sedang mencoba bertaubat ke jalan yang benar tapi dengan bimbingan ustad yang jarinya jempol semua.
Membaca “begall” dengan dua buah “ll” dalam pesan itu, membuat saya berpikir apakah saya harus membawa laskar jihad agar sampai ke rumahnya dengan aman. Belakangan saya tahu bahwa yang dimaksud adalah “bengkel”.
Huh!
Sejak lulus Mts saya belum pernah ke rumahnya lagi, ditambah penjelasan yang hanya bisa dibaca oleh para pembuat koding, maka saya rewel bertanya melalui WA. Jawaban pamungkasnya membuat saya ragu dan ingin salat istikhoroh:
“nanti klu main..nanya aja d tugu knal semu sama ane”
Padahal, jarak dari Tugu Rawa Kalong ke rumah Amir masih sekitar satu setengah kilo lagi. Kecuali dia Ahmad Dhani yang gagal jadi bupati Bekasi, hanya ada dua kemungkinan penjelasan, antara Amir mau ngerjain saya atau dia mantan maling kotak amal masjid yang pernah diarak keliling kampung.
Satu jam setelah telpon, saya tiba di jalan dekat rumahnya. Amir sedang menunggu saya di pinggir jalan. Belum mandi. Dengan tampang yang tidak banyak berubah dari semenjak dulu saya mengenalnya. Mirip almarhum Taufik Savalas. Tentu tanpa kain kafan.
Saya kemudian dituntun menelusuri jalan kecil menuju rumahnya.
“Nih, Mi. Patokannya pu un ini.” Amir menunjukan pohon belimbing wuluh sejangkauan orang dewasa tepat di samping rumahnya. Kening saya berkerut. Bagaimana cara pohon yang bisa ditaro di pot plastik yang letaknya di dalam gang sempit ini bisa jadi patokan rumahnya?
Suatu saat bisa saja dia bilang ke orang yang mau main, “Pokoknya, dari tugu, tanya aja rumah ane, semua pasti udah tau. Rumah yang depannya ada pohon jamur. Jamurnya di dalem oncom. Oncomnya di dalem pot. Potnya dimasukin kardus.”
Entah memang karena selera humor Amir yang gelap atau gamparan guru Bahasa inggris kami 17 tahun lalu yang membuat otaknya pindah ke perut.
Ini kisah nyata. Jadi suatu pagi di hari sekolah, sebelum sekolah full day seperti sekarang, guru Bahasa Inggris kami masuk kelas dengan tampang belum sarapan. Dengan Bahasa Inggris yang jelas ia meminta para murid mengumpulkan tugas. Banyak murid yang tidak paham. Sang guru bertanya dengan Bahasa Indonesia. Memang begitu kebiasaannya berbicara di kelas. Menggunakan Bahasa Inggris kemudian dilanjut menterjemahkannya ke Bahasa Indonesia. Hal yang sia-sia karena kami hanya fokus dengan apa yang dikatakan dalam bahasa Indonesia.
“Rty hjnc hbkl xcyhh hxfg bjhbzg bxdfhbhz hqbgdsf kjvdsfh!” terdengar di telinga kami.
“Yang belum mengerjakan tugas maju ke depan bawa buku kalian masing-masing!” beliau mengartikan instruksi yang dikatakan sebelumnya.
Ternyata lebih dari setengah kelas belum mengerjakan. Kejadian setelah itu adalah sejarah. Anak-anak di minta berbaris, buku yang mereka bawa diambil, dilipat dan ditamparkan ke pipi mereka masing-masing. Keras!
Oya, saya belum bercerita tentang kesaktian Amir menghidupkan orang mati. Jadi begini, beberapa bulan lalu, seorang kawan bernama Sunandi berhasil mengumpulkan nomor WA alumni Mts. Singkat cerita saya bertemu dengannya. Ia bercerita banyak, termasuk tentang salah seorang kawan kami yang sudah meninggal.
“Itu Felani meninggal kapan?” saya bertanya ke Nandi tentang kawan tersebut. Saya tahu berita ini karena sebelunya di grup, Amir bilang begitu. Tentu semua anggota grup saat itu kaget dan mendoakan. Orang waras mana yang bercanda tentang kematian?
Nandi kemudian bercerita. Cerita yang ia dengar langsung dari Amir. Bahwa Felani kena guna-guna, “Jadi abis pulang kerja, tiba-tiba dia sakit kepala. Kepalanya tau-tau emod. Gak lama habis itu dia meninggal.”
Bagi pembaca yang bukan orang Bekasi, “emod” adalah sebuah terminologi untuk menggambarkan tekstur empuk seperti bakpau kacang ijo yang baru dikukus.
Sampai sini, cerita berjalan wajar. Saya memang setengah percaya cerita tentang perteluhan itu. Tapi mati, apapun sebabnya tetaplah mati. Nah, kisah itu menjadi polemik karena beberapa hari setelah itu, ada kawan kami yang lain yang bilang bahwa Felani masih sehat walafiat.
Jeng, jeng, jeng!
Kalau ini film horror sudah pasti ada background suara angin, biola dengan gesekan minor dan bunyi-bunyi yang membuat bulu kuduk jigrig.
Setelah dikonfrontasi, Amir tentu tidak mau dianggap berbohong, “Beneran. Gua dapet cerita dari Pak Haji. Masa Pak Haji bohong sih?”
“Gua bukan nyalahin Pak Hajinya, Mir. Mungkin elu salah ngira orang.” Kata saya menanggapi.
“Ah, bener ah!” Amir yakin, tapi sedetik kemudian dia ragu, “tapi nanti ane samperin rumahnya langsung dah.”
Beberapa hari berselang, Amir mengunggah foto dirinya bersama Felani ke grup WA. Hari itu, seluruh anggota grup yakin kalau Amir adalah orang ~sakit~ sakti.
Saya membuka sepatu dan seragam kerja kemudian merebahkan diri di bale. Bernaung di bawah rimbun bayang-bayang pohon rindang. Angin bertiup sepoy-sepoy. Amir menyuguhkan kripik singkong dan teh manis.
Kami bercakap-cakap di teras rumah. Tentang entog, pohon jambu air, anak-anak dan hal-hal yang terlewat. Di tengah percakapan, dua orang putri Amir melintas, membantu ibu mereka menjemur pakaian. Yang satu kelas 6 SD, yang satu masih balita. Melihat anak-anak Amir yang lucu dan cakep, saya semakin percaya bahwa teori evolusi Darwin memang benar-benar terjadi.
“Ente gak ngerokok, Bang?” Amir meletakan sebungkus rokok dan korek api di atas bale.
“Nggak,” kata saya, “Gua ambil koreknya aja ya?”
Tentu saya nggak benar-benar mengambil korek apinya. Saya tahu peraturan tidak tertulis para perokok; boleh ambil berbatang-batang rokok di atas meja, tapi jangan pernah bawa pulang koreknya.
“Ente kemari mau nawarin MLM apa asuransi?” Amir to the point.
“Mau nawarin obat ambeyen, Bang.”
“Bang, emang semua orang di Tugu Rawa Kalong kenal sama ente?” saya gantian nanya.
“Kenal.” Jawab Amir pede.
“Bilangnya gimana? Rumah Amiruddin dimana? Gitu?”
“Amiruddin atau Ibnu.”
“Dari tugu ke rumah kan masih jauh. Emang ente terkenal banget yak?”
“Dulu kan ane mantan...”
“Mantan lurah?” saya kagum campur heran.
“Bukan.” Jawab Amir cepat, “Pemulung! Hahaha”
Fix. Selera humor Amir memang gelap. Cerita kawan yang masih seger buger mati karena kepalanya diteluh jadi bakpau, memberi landmark rumah dengan pohon kecil yang bahkan disenderin semut doyong, menyamakan keterkenalan Ahmad Dhani dengan pemulung. Humor yang gelap!
Bukan kali itu saja ia bercanda model itu. Walaupun pembawaannya kalem, tapi dia dikenal jail dan suka melakukan hal-hal tak terduga. Ia pernah membuat drama dengan keluar dari grup WA untuk akhirnya dimasukan kembali.
Ada lagi. Sebelum anaknya lahir, sambil memposting foto bayi, ia pernah menulis, “Alhamdulillah telah lahir di bidan anu anak perempuan bla, bla, bla…”
Spontan semua orang mengucapkan selamat dan doa untuk ibu dan anak yang baru lahir itu. Tapi di akhir percakapan, Amir dengan santai menulis, “Maaf kawan-kawan, ane tadi hanya bercanda. Istri ane belum melahirkan.”
Laaah! Mau dimasukin petasan jangwe kali lobang idungnya!
“Lu skarang bisnis apa, Mir?” Tanya saya kemudian di sela-sela makan kripik.
“Nganggur, Bang!”
“Serius lu?”
“Serius!” Nada suara Amir tegas tapi tenang, “Masa beginian ane becanda? Emang beneran nganggur, masa mau bilang kerja?”
Saya bingung mau membalas apa. Menawarkan gabung MLM juga sudah tidak mungkin. Ketenangan Amir menjawab pertanyaan itu menandakan dia adalah seorang pengangguran profesional bersertifikat. Keep Nganggur and Calm, istilahnya. Kalau itu terjadi pada saya, dijamin, setiap pagi saya akan melihat istri saya mengasah pisau dapur.
Saya tidak sedang mengolok-olok dan menganggap itu sebagai satu hal yang asing dan jauh, tapi sesuatu yang normal dan dekat. Sangat dekat. Almarhum bapak saya menganggur dalam waktu yang lama. Bertahun-tahun bekerja serabutan bahkan pernah berjualan cendol keliling. Kami sekeluarga jadi lebih religius karena sering berpuasa. Itulah masa-masa dimana kami, lima orang bersaudara, makan dijatah, hanya dua kali sehari, dengan takaran tertentu. Seperti gamparan guru Bahasa Inggris, dunia memang terkadang menghajar keras tanpa ampun. Tidak memberi batas dan peringatan.
Sejak saat itu, bagi saya, pengangguran dan kemiskinan bukan lagi masalah kemalasan, tapi keberpihakan. Bahkan Presiden Soekarno sejak dahulu sudah menegaskan, “Kita ini tidak bodoh, tapi dibodohkan. Kita ini tidak miskin, tapi dimiskinkan oleh sebuah sistem.”
Saya kagum dengan sikap dan ketenangan Amir dalam menghadapi masalah. Bahkan menghadapinya dengan jenaka. Dalam kelas, Amir memang tidak dikenal. Oh, maksud saya, di sekolah manapun ukurannya sama; yang dikenal adalah siswa yang paling pintar dan paling nakal. Apa yang diantara keduanya akan dilupakan. Tapi kehidupan yang sebenarnya ada di luar pagar sekolah. Mengutip Abdul Gofur, siswa terajin dan terpandai di kelas, yang kalau bel istirahat berbunyi memilih membuka buku untuk mengerjakan soal-soal matematika ketimbang berhambur keluar untuk jajan, “Kesuksesan atau kegagalan seseorang itu gak tergantung dengan nilai-nilai di dalam kelas.”
Sampai hari ini, kami masih berselisih pendapat tentang pemukulan oleh guru Bahasa Inggris. Ada yang masih dendam, namun kebanyakan bersikap acuh dan melupakan. Wajar saja, tahun 1997-2000 adalah tahun maraknya tawuran antar sekolah, dimana orang bisa dengan ringan bilang ketika ditanya tentang kawannya yang absen, “Oh, si Jeky gak masuk hari ini, lagi di rumah sakit. Lehernya kebacok samurai waktu tawuran kemaren.”
Ya, kami hidup di masa-masa itu. Maka dunia bagi kami tidak lagi terlalu menakutkan. Ia bisa saja menampar dengan kuat, tapi kami bisa menggampar balik sama kuatnya dengan tangan kosong.
“Makasih ya bang udah berkunjung.” Amir menyalami saya yang sudah berada di atas motor untuk pulang.
“Iya, sama-sama, Mir. Semoga sehat terus ya, Mir.” Kata saya sambil menepuk-nepuk perutnya yang buncit. Prediksi saya, anak kelimanya akan lahir beberapa bulan lagi dari perut itu.
Bagi orang sesakti dia, itu hal yang enteng saja.