Awan gemawan kelabu di atas langit menggantung rendah. Belum ada tanda-tanda akan turun hujan. Saya menyebrang jalan dan duduk di bawah rindang pohon sambil memesan semangkuk mie ayam. Alun-alun Bekasi siang itu riuh rendah oleh latihan baris berbaris di ujung lapangan.
Mangkuk yang masih mengepul disajikan. Aroma mie ayam memenuhi penciuman. Belum sempat saya menelan suapan pertama ketika wanita itu bercerita tentang mantan suaminya. Saya tidak kenal wanita paruh baya itu. Ia berbicara kepada seorang laki-laki di sampingnya, tapi suaranya terdengar seperti ia bebicara di telinga saya.
“Jadi tujuannya apa ya?” laki-laki itu bertanya.
“Nggak tau. tapi setelah gue pikir-pikir lagi. Mungkin mau numpang hidup.”
Laki-laki itu mengangguk-angguk. Wanita itu meneruskan, “Bahkan di hari-hari pertama pernikahan aja dia udah dingin gitu sikapnya. Ya namanya penganten baru kan ya, maunya deket-deketan terus ya. Dia mah nggak mau. Padahal gue udah pancing-pancing. Malah dia bilang, tujuan nikah tuh bukan hanya untuk gituan. Ah bohong banget.”
Laki-laki itu masih mengangguk-angguk. Wanita itu terus bicara, “Mungkin dia tau gue jualan onlen kali. Tapi kalo dia mau nipu, dia salah orang. Karena gue juga gak punya apa-apa. Barang-barang yang gue jual kan dari orang lain. Aslinya ya gue gak punya apa-apa.”
“Kemungkinannya memang dia mau numpang hidup dan manfaatin.” Akhirnya laki-laki itu merespon, “Tapi dia menipu orang yang salah.”
Wanita itu terus bicara. Bercerita tentang ia yang ingin dijodohkan dengan tukang parkir yang punya kontrakan. “Bodoh banget lu kalo nggak mau.” Wanita itu mencontohkan apa yang dikatakan orang yang ingin menjodohkan.
“Gue bilang, ya lu liat aja anaknya. Udah gede-gede gitu. Umur anak-anaknya juga seumuran kali sama gue.”
Wanita itu masih bercerita sementara mangkuk di tangan saya sudah tandas. Saya memberikan uang sepuluh ribu dan mengucapkan terimakasih kepada penjual. Kemudian saya menyebrangi lapangan alun-alun menuju rumah sakit. Ada sesuatu yang ingin saya ambil.