Kita duduk di beranda depan rumah menunggu azan magrib. Kamu mengunyah sebatang cokelat yang hampir meleleh, aku meneguk secangkir puisi. Kamu bercerita tentang pertama kali bertemu, ketika kita masih hijau, tangan waktu mengikat hati, membuatnya harubiru. Di sebrang jalan, lalu lalang warna-warni manusia menyapa. Mereka yang kuning oleh kunyit, hitam oleh parang, yang dengan terpaksa meminum susu berwarna nila. “Kelir mereka tidak membuatku khawatir,” aku berkomentar. Langit setuju dan berangsur-angsur senja, awan gemawan putih berakhir disergap jingga yang baka. “Apakah besok kita akan melihat langit pagi biru menjadi ungu?” tanyamu. “Tak tahu. Tapi yakinlah sekarang, yang merah padamu, berdarah padaku.” kataku menutup hari.
Selamat ulang tahun,
yang fana itu pelangi,
langit sore abadi