Liverpool kembali gagal. Netizen segera beraksi, kaus Mo Salah yang bertuliskan “Never Give Up” diedit menjadi “Never this Year”. Hal yang biasa bagi Qoffal yang telah kebal dengan olok-olokan tiap tahun. Karena sejatinya, memilih menjadi Liverpudlian berarti juga memilih kesengsaraan sebagai jalan hidup.
Padahal pada lima pertandingan terakhir LFC —dibandingkan dengan lima pertandingan akhir City—, ia cukup yakin tim kebanggaannya akan meraih gelar. Rupanya Liga Inggris musim ini seketat Liga Gojek, juara ditentukan sampai pertandingan akhir. Bedanya, di sana tidak ada PSSI, tempat seluruh suporter dan komentator bersatu menumpahkan kesalahan jika timnas Indonesia gagal juara. Itu persatuan yang langka. Di sana, jika timnas Inggris gagal mengangkat trofi, mereka berdebat sepanjang tahun menyalahkan apa saja, termasuk menyalahkan arah datangnya angin yang meniup poni David Beckham sehingga ia gagal pinalti.
38 pertandingan, 30 kali menang, 7 kali seri, 1 kali kalah, total poin 97. Capaian istimewa yang belum pernah sekalipun diraih sepanjang sejarah Liverpool. Sayang klub ini superior pada waktu yang keliru, hanya selisih 1 poin dari sang juara, Mancester City. 97 poin tanpa gelar juara itu ibarat punya tanah seribu hektar tapi di planet Merkurius. Bagus tapi sia-sia. Kita sama-sama tahu bahwa pujian setinggi apapun atas capain spesial itu tidak bisa disimpan di lemari trofi.
Tapi Liverpudlian garis keras tetap tidak peduli dan bangga, dan mengatakan kepada mereka untuk mulai mendukung kesebelasan lokal seperti Persibin Bintara sama juga dengan menyuruh pendukung Prabowo untuk menonton Atta Halilintar waktu kolab bareng Jokowi.
Saya kemudian memikirkan alasan yang mungkin bisa menjustifikasi kelakuan impulsif itu. Mungkin menurut Qoffal, menjadi Liverpudlian itu seperti menjadi seorang Salik yang menjalani Thariqoh Sufisme, yang lebih mementingkan kebebasan dan kesucian jiwa daripada sekedar kemenangan lahiriah. Demi menembus langit Ma’rifah dan Mahabbah.
Ia pernah menyebut saya atheis karena tidak punya klub kesayangan. Untuk tuduhan itu saya segera menjawab, “Agnostik, Bung. Atheis hanya untuk pendukung olahraga kerambol.”
Lagi pula, siapa yang mewajibkan penyuka bola harus punya klub favorit, kalau memang tidak ada klub yang menggetarkan. Tentu saya bisa menjejali diri dengan sejarah heroisme sebuah klub, sampai dipenuhi cinta, tapi mengutip Gibran, “Jangan mengira, bahwa kau dapat menentukan arah cinta, karena cinta, apabila kau telah dipilihnya, akan menentukan perjalanan hidupmu.”
Kita bisa melihat cinta jenis itu pada Bonek yang mengayuh sepeda berkilo-kilo meter demi menonton pertandingan dan menangis tersedu ketika menyanyikan Song for Pride. Atau pada pendukung capres yang unfriend kawan yang tidak se-"iman" karena malas melihat postingan mereka dan mati-matian membela junjungannya bahkan sampai memfitnah.
Tentu Gibran tidak selalu benar, karena cinta bisa datang dari Riyadloh. Itu konsep Tasawuf sederhana. Ya, mantan Internisti itu telah membuktikannya.
Suatu malam, di teras depan rumah, sambil menghembuskan asap rokok, setelah selesai bercerita tentang keinginannya membangun musola karena sakit hati tempat salatnya dipel di Masjid LDII, Qoffal bercerita tentang awal mula kecintaannya pada LFC, “Waktu ke kamar Bang Ofi tuh saya lihat ada poster Perpul. Dari situ dah saya mulai nyari tau. Saya beli dah tuh tabloid bola.”
“Buseng segitunya luh?” saya antusias sekaligus membayangkan kalau saja waktu itu Bang Ofi memasang poster Rhoma Irama, mungkin saat ini kita melihat Qoffal memelihara bulu dada sambil kemana-mana naik kuda memanggul gitar buntung.
“Lah bayangin, bang. Jaman segitu harga tabloid kan lumayan. Duit buat makan, rela saya kumpulin. Saya baca-baca, wah keren juga nih klub.”
Ia terus bercerita tentang jatuh bangun perjuangan mencintai. Ia tampaknya percaya pada frase bahwa sejarah akan berulang. Ia lupa bahwa nasib sial juga berulang. Sebagai tuan rumah dan pendengar yang baik, saya hanya bertanya sedikit yang selalu ia ladeni dengan penjelasan jembar. Kelakuan santri usia Mts yang banyak berpuasa demi membaca berita, yang lompat pagar pesantren demi pertandingan dini hari, adalah sungguh proses Tarbiyah yang melatih jiwa, selain juga memupuk mental untuk jadi atlit lompat pagar profesional yang kelak akan berlaga di olimpiade.
Mari perhatikan kembali, dalam lima pertandingan terakhir lalu, kita melihat Qoffal menampakkan tingkat relijiusitas. Lima pertandingan akhir ia Sombong, empat pertandingan akhir Taubat, tiga pertandingan akhir Sabar, dua pertandingan akhir Tawadhu, satu pertandingan akhir Zuhud, dan ketika tidak jadi juara ia Tawakkal. Bukankah itu identik dengan Maqom Spiritual sufisme?
Hanya sebagai seorang salik, ia harusnya lebih Waro’ dalam bersikap. Komposisi tim yang ia cela sebelum pertandingan dramatis melawan Barca nyatanya berhasil mempermalukan raksasa Catalunya itu 4 gol tanpa balas dan membuat Messi terlihat dongo.
Kemudian apakah mungkin Perpul juara Champion tahun ini? Tentu mudah, sungguh pertandingan ini sudah usai. Spurs bisa dikalahkan dengan enteng. Namun seperti yang saya katakan, Liverpool adalah klub yang sesuai bagi yang ingin mendalami sufisme, karena sekedar sombong saja Liverpudlian tidak mampu. Mereka selalu dibayangi Khouf dan Roja.
Ujian sebenarnya sebentar lagi akan datang, ketika ia mencapai Tajalli; juara Champion. Kalaupun tidak, ini akan menjadi ‘Aamul Hazmi seperti tahun-tahun sebelumnya, dan bagi seorang sufi yang diliputi kezuhudan, itu akan menjadi hal yang biasa saja.
Yaah, nangis dan dongkol dikit boleh lah.