Tadi sore udara dingin bertiup menerbangkan raksi pokok kayu, menggigilkan kulit dingin sehabis terbasuh air. Cericit burung di dahan-dahan yang tinggi beriringan dengan derau jeram aliran sungai yang beriak karena tangan-tangan kecil menghangatkan suasana. Kecipak air dan tawa mereka menggema seperti suara peri di pucuk-pucuk daun-daun hutan.
Sinar mentari pagi merambat, menyapa embun di puncak pohon pinus, kabut di jalan mulai naik ke atas bukit kemudian hilang ditelan langit. Aku membuka jendela lebih lebar mempersilahkan udara masuk, mengamati anak-anak yang bermain di bawah naungan atap tingkap. Kamu sudah terjaga, memeluk selimut putih yang kusut penuh ruas, menemani Aira yang masih belum mau beranjak dari kasur.
Dalam seluruh kesadaran itu, aku menghayati waktu yang berjalan perlahan.
Pada kenangan di hamparan masa yang terus terbentang, kita hanya sebutir pasir. Dari sejak kita pergi ke Majalengka 11 tahun yang lalu, waktu seperti bergegas cepat, menacapkan tapal sejarah dan terus melaju. Walaupun ia selalu berada di belakang dan tidak pernah berhasil mengejar kita yang sekarang. Kita melihatnya sesekali dalam album kenangan berwarna lusuh penuh corak kekuningan pada ingatan yang semakin rapuh.
Apa yang kamu rasakan saat-saat itu? Dan apa yang kamu rasakan saat ini ketika mengenangnya?
Bahasa tidak akan punya cukup ungkapan dan selalu miskin untuk menggambarkan emosi. Karena tidak sama duka ketika kamu kehilangan dan kesakitan. Berbeda pilu ketika usiamu 5 dan 23 bahkan terhadap sesuatu yang sama. Tidak persis lara yang kamu rasa dengan seekor rusa yang kehilangan anaknya. Lain kecewa yang kamu alami hari ini, kemarin, atau lusa. Ada jarak antara murammu di sini dan di tengah tempat antah berantah. Tambahkan perasaan lain dan kamu tidak akan menemukan nama dan kosakata untuk merangkumnya.
Kemudian apakah kamera bisa menangkap rasa? Bagaimanapun, video atau foto, tidak mungkin utuh mencakup dan menerjemahkan perasaan bahagia ketika kamu melihat pantulan senja jingga di air kolam bersama suara tawa anak-anak yang bermain air, atau perasaan tenang ketika kita berpelukan meringkuk di bawah selimut yang tebal sementara di luar kemah suara gemircik air dan udara dingin menusuk tulang, atau perasaan damai karena kebersamaan di rumah yang nyaman pada sebuah sore yang hujan ditemani kudapan hangat. Alat penangkap gambar itu memberi batas yang tentu lebih kecil dari sebuah realitas yang senyatanya, lebih kecil dari apa yang kita rasa di hati.
Bahwa rasa ini tidak bernama bukan karena ia tak bermakna, tapi karena kata tidak akan pernah bisa dan selalu gagal merangkum kemudian memberi istilah padanya. Bahagia, tenang, damai dan cinta tidak pernah sederhana.
Aku tahu, tidak ada cinta yang sempurna sebagaimana tidak ada penderitaan dan keputusasaan yang sempurna. Pada perasan-perasan yang berjalin dan berkelindan, kita menguji diri untuk saling menerima kekecewaan, merelakan kelalaian-kelalaian kecil, perdebatan-perdebatan kecil, kehawatiran dan kecemasan yang sesaat dibandingkan dengan langkah kita yang masih panjang. Kita saling membaca dan menekuni lika-liku dan keruwetan masing-masing.
Terimakasih untuk sinisme, humor, perhatian, dan wangimu. Terimakasih untuk penghargaan, hadiah-hadiah, persahabatan, dan meruah rasa. Maka perasaanku padamu berubah, mencari ukuran yang tidak akan pernah cukup. Maka kerinduanku padamu berbunga menuju sesuatu yang tidak sempat sempurna. Renjana ini tidak akan menemukan wadah serasi dan terus mencari bentuk yang utuh sampai setiap degup jantung hening.
Apakah orang lain perlu tahu tentang gembira-rindu-puas-damai-baik-beruntung-cerah-sendu-hitam-biru-ungu tumpang tindih rasa ini? Jika kamu menghayatinya dalam hati, seperti kesadaranku saat ini, maka untukku sudah cukup. Anggapan orang lain menjadi tidak penting.
Hari ini, di hadapan perasaan dan kenangan itu, mari kita bersyukur sejenak, karena kita masih di sini, berpegang tangan dalam kesadaran.