Halaman

Minggu, 21 Februari 2021

Bilang Begini Maksudnya Begitu

Manusia mungkin mengenal puisi sejak ia mengenal Bahasa, namun tidak ada definisi baku yang bisa menjelaskan puisi. Tidak ada ukuran resmi untuk suatu tulisan disebut puisi. Ada istilah popular yang dikenal di dunia kepenyairan yang disebut Licentia Poetica, bahwa puisi tidak terikat dengan ikatan-ikatan kebahasaan seperti struktur atau tanda baca. Maka privilege tersebut menjadikan puisi sulit untuk didefinisikan, jika tidak dikatakan mustahil. 

Menurut Sapardi, definisi mudah untuk puisi adalah; bilang begini maksudnya begitu. Dalam percakapan, kita sering mendapati kata-kata atau kalimat yang bentuknya puisi dengan definisi ini. Kita menyebut toilet dengan sebutan Kamar Kecil, atau menyebut bumper di jalan dengan Polisi Tidur, atau istilah lain seperti Mata Keranjang, Kumpul Kebo, Lintah Darat dan lain-lain adalah bilang begini maksudnya begitu.

Hal lain yang erat kaitannya dengan puisi adalah bunyi. Puisi adalah permainan bunyi. Di belakang truk-truk di jalan raya kita juga sering membaca puisi dengan diksi dan rima atau bunyi yang memikat, “ku injak gas dan kopling agar kau bisa shoping” atau, “putus cinta soal biasa, putus rem mati kita” atau, “hindari corona, tetaplah hidup walau tidak berguna”

Begitulah puisi menjadi sangat dekat dengan kehidupan manusia. Bahkan, bukankah dalam kitab suci juga terdapat unsur puitis? Bukalah kitab suci maka kita akan menemukan bagian dari puisi di sana, ada multi makna, rima, irama, diksi dan perspektif serta metafora yang bertebaran. Karena itu kitab suci tidak akan pernah berhenti dikaji dan karena itu tafsir dari masa ke masa terus ada. 

Puisi adalah naluri alami. Hal yang sangat dekat dengan manusia, disadari atau tidak. Ia dipakai manusia untuk menggugah, menasehati, menggambarkan keindahan, mengkongkritkan hal-hal abstrak, atau hanya untuk berkomunikasi. Suka atau tidak, manusia tidak bisa lepas dari puisi. Namun ada saja orang yang menganggap puisi itu jauh.

Saya pernah bertanya kepada seorang kawan tentang apakah ia menyukai puisi. Dengan tegas ia mengatakan tidak. Sama sekali tidak. Menurut dia puisi itu omong kosong dan sok romantis. Saya menganggap ia tidak mengerti apa yang dimaksud puisi, sehingga tidak bisa mengapresiasi. Kesulitan seseorang mengapresiasi mungkin yang menyebabkan puisi terasa rumit. Padahal puisi punya dimensi personal yang bebas diartikan oleh pembaca. 

Itu dimungkinkan juga karena pengajaran puisi di sekolah yang kaku, kuno dan membosankan. Padahal inti dari puisi adalah membuat orang yang membacanya tergerak, baik perasaan atau pemikiran. Dan itu tidak bisa dilakukan jika bahasa yang menjadi bahan baku puisi kering, kuno dan tidak mempunyai daya gugah terhadap orang kebanyakan. Maka dari itu puisi harus mencari cara baru dalam pengucapan, dalam perspektif juga dalam bahasa. Mengikuti semangat zaman. Dari sana puisi menjadi kontemporer dan lebih menyenangkan untuk dinikmati. Sehingga pengajaran puisi seharusnya bisa lebih menyenangkan dan mengikuti semangat zaman yang selalu berubah.

Saat ini puisi semakin populer dan berbaur dengan bahasa-bahasa termutakhir yang lebih mudah dan ramah pembaca awam. Puisi tidak lagi murung, suram atau kuno. Ia menjadi budaya baru karena memang pembentuk puisi adalah bahasa, dan sifat bahasa adalah berkembang. Maka puisi akan berkembang seiring berkembangnya bahasa. 

Apakah puisi hanya tentang romantisme kekasih?

Untuk menjawab itu saya akan mengutip beberapa puisi dari Joko Pinurbo.

Agama Khong Guan

Rengginang bersorak
ketika agama-agama menyatu
dalam kaleng Khong Guan.

(2019)

Misal

Misal Aku datang ke rumahmu
dan kau sedang khusyuk berdoa,
akankah kau keluar dari doamu
dan membukakan pintu untukKu?

(2016)

Saya tertegun lama ketika pertama kali membaca puisi itu. Dan semakin lama saya baca, ia semakin membuka diri pada pemahaman dan makna yang semakin dalam. Dan apakah puisi-puisi di atas adalah tentang romantisme sepasang kekasih? Tentu bukan. 

Apakah sulit untuk memahami atau membuat puisi?

Seperti bidang apapun, jawaban pertanyaan itu adalah gampang-gampang susah atau bisa juga susah-susah gampang. Dan seperti keahlian lain, membuat puisi bisa dipelajari. Berikut adalah beberapa buku yang saya rekomendasikan untuk yang ingin lebih mendalami, mengapresiasi atau mencoba membuat puisi. 

  1. Bilang Begini Maksudnya Begitu oleh Sapardi Djoko Damono. Buku ini membahas banyak hal tentang puisi. Dari dasar pembentukan puisi, jenis-jenis, unsur puisi dan lain-lain yang kesemuanya menggiring pembaca untuk bisa lebih apresiatif terhadap puisi.
  2. Membaca Sastra oleh Melani Budianta dkk. Buku ini membahas sastra secara umum, bukan hanya puisi. Ini buku yang cukup ringkas, sederhana namun kuat dalam isi. Diperuntukan untuk pengajar sastra, namun juga bisa dinikmati oleh kalangan awam yang ingin mengerti dunia sastra. Dimulai dari pengertian, contoh-contoh, sampai apresiasi dan kegiatan untuk dilakukan. Menurut saya ini adalah buku wajib bagi mahasiswa sastra.
  3. Sosiologi Sastra oleh Sapardi Djoko Damono. Buku ini membahas hubungan antara sastrawan, sastra dan masyarakat. Buku ini memaparkan dengan jelas pendekatan terhadap sastra daitinjau dari segi-segi kemasyarakatan.


Menutup tulisan ini, saya akan mengutip Goenawan Mohamad, “Mereka yang terbiasa dengan kekuasaan dan aturan memang umumnya sulit memahami puisi.”