Halaman

Jumat, 12 Maret 2021

Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi

Saya tahu Raden Ahmad Rifai yang jatmika pasti belum pernah membaca cerita ini, bukan berarti karena raden tidak punya sekeping uang untuk membeli buku-buku bagus, atau tidak punya waktu untuk membaca, tapi mungkin karena raden sudah keasikan dengan hal lain dan kehilangan naluri untuk merenung atau mencoba.
 
Kitab ini menyulam dengan sangat apik cerita turun temurun yang raden pernah baca dari berbagai khazanah cerita dari masa-masa yang berlainan, dari mulai legenda, dongeng, cerita rakyat, mitos sampai kisah nabi dalam kitab suci, sambil tetap berlaku kritis atau kadang juga memberikan interpretasi baru bahkan mengubah jalan cerita dan tokoh-tokoh yang sudah raden kenal, dengan cara ringan, jenaka juga tragis.

Raden akan dibawa menelusuri belahan dunia lain di abad entah. Bukan hanya disajikan kegemaran ganjil Raden Mandasia mencuri daging sapi seperti dijanjikan judul kitab ini, tapi juga kehebatan lidah Sungu Lembu dalam hal mengecap rasa masakan yang beraneka rupa —mengingatkan saya akan kelegendarisan hidung Grenouille dalam Parfume atau Jati Wesi dalam Aroma Karsa. Raden akan diajak menyusuri pengalaman-pengalaman magis dan mendebarkan mereka berdua mengarungi laut sambil dihidangkan informasi sejarah berlimpah tentang bahtera.
 
Disamping juga menikmati kisah dari tokoh-tokoh lain yang tidak kalah mengejutkan dan menyenangkan untuk disimak. Puncaknya, raden akan dibawa merasakan kengerian peperangan yang membuat Prabu Watugunung sang raja agung Gilingwesi perlaya, dan kejijikan yang mengaduk-aduk perut seperti yang mungkin bisa raden jumpai waktu menyaksikan Game of Throne.
Ini adalah jenis cerita yang mengendap dalam, yang tidak memeberi raden pesan moral tertulis kekanak-kanakan, tapi bekas yang ditinggalkan mampu membuat merinding dan merenung lama, yang pada beberapa bagian bisa membuat raden memaki kadal bunting, atau seperti yang sering dikatakan Sungu Lembu, sang pangeran sejati Banjaran Waru, narator dalam cerita ini; anjing betul.

Kemudian raden bertanya, ketika saya mengabarkan kitab ini, “Apakah sudah boleh dipinjam?”
Itu pertanyaan yang sejujurnya sangat ngawur dan naif raden. Karena seperti kata petatah petitih pertapa suci, “Hanya orang bodoh yang mau meminjamkan bukunya. Dan hanya orang gila yang mau mengembalikan buku yang sudah dia pinjam.”

Namun, karena berkaitan dengan kawan bicara untuk membahas kitab ini yang saya butuhkan untuk tetap waras, silahkan raden datang ke padepokan saya. Selain buku mungkin raden akan saya buatkan kahwa hitam yang membuat jantung berdebar. Semoga saya tidak menjadi orang bodoh dan raden tidak menjadi orang gila, atau tidak terlalu gila.