Halaman

Kamis, 15 April 2021

Musim Depan yang Belum Pasti dan Potensi Menjadi Seniman

Seperti biasa, jika tim kesayangannya terseok-seok dalam papan klasemen, Qoffal selalu berharap liga cepat selesai. Mungkin ia berharap musim depan akan lebih baik, walaupun biasanya ia akan kembali menghadapi luka yang sama. Manusia memang bebas memilih, termasuk memilih untuk sengsara.

Begini template harapan fans Perpul setiap tahun: awal musim harapan berjaya; setengah musim harapan juara; paruh akhir harapan 4 besar dan bisa di atas MU; perempat akhir harapan tidak kalah dari MU di leg 2, dan musim segera berakhir. Ketika musim mulai kembali, harapan-harapan itu terus berulang. Mirip orang yang terlalu percaya dengan politisi dan partai politik. Realitas memang sering tidak masuk akal.

“Ingin nonton film yang romantis-romantis aja, nonton Liverpool udah terlalu melebihi alam bawah perasaan, ada saran bung?” Qoffal bertanya lewat chating.

Saya tidak menjawab pertanyaan retoris dari orang patah hati. Saya tidak mungkin menyarankan nonton Drakor. Karena akan sama saja. Pencarian di luar diri tidak akan pernah memuaskan. Saya membayangkan kalau ia nonton Start Up, dan melihat adegan Dal Mi yang lebih memilih Do San daripada Ji Pyeong, ia akan ikut sakit hati kemudian mengingat kembali keterpurukan Perpul dan keberuntungan yang lebih memilih MU. Sambil menangis, ia akan menyumpah semoga Bruno kakinya patah.

“Gua udah peringatin dari awal,” respon saya lewat WA.

“Awal kapan?” ia masih kesal, “Itu cuma kebetulan!”

Saya tertawa. Ia sentimental tentang klub kesayangannya, dan itu lucu. Saya tidak akan menyanggah bahwa prediksi saya adalah kebetulan. Saya hanya akan menambahkan bahwa kebetulan itu sudah berlangsung tiga musim.
 
Sekitar bulan November, dalam sebuah status FB guru kami, Gus Dhiyaz Almaqdisi Muhajirin ketika Si Merah masih di pucuk dan seluruh Liverpudlian di jagat raya masih jumawa, saya membalas tag-nya, “Segalanya memang masih buram di musim ini. Tapi ada Qoidah Aglabiyah dalam 30 tahun terakhir, apa yang terjadi sekali tidak akan terjadi 2 kali.”

Saat ini Perpul terpuruk, tidak mungkin juara liga, gagal di Champion, kalah di kandang bahkan oleh tim yang harga keseluruhan pemain setara dengan sebelah kaki Mo Salah. Itu ibarat timnas kalah lawan tim Serikat Persatuan Sepakbola Kuli Pasar.

Ia mengoceh banyak tentang alasan timnya carut marut, “Saat ini Klopp bener-bener buntu, pemain-pemain down, badai cedera belom berenti. Komplitkan? Secara taktik, belakang ini yang dipake Klopp emang norak, tapi mo gimana pemain yang memadai nihil. Pemain yang cuma-cuma dipaksain buat ikutin arahannya, itu bodoh kalo ngarep cepet paham. Gak tega liat Ipul mati pelan-pelan. Bisa ga sih, kompetisi Liga Inggris musim ini diberhentiin aja. Virus bukannya semakin parah.”

Silahkan baca ulang lagi argumennya. Semakin dibaca akan semakin lawak. Untungnya, walaupun sering emosional, Qoffal tergolong bukan fans ekstrim seperti di Green Street Holigans. Sehingga saya bisa menertawakan kelakuannya dan dia tetap santai saja, masih memegang erat karakter Tawassuth, Tawazun, dan Tasamuh. Dengan sikap itu, boleh juga kalau dia diangkat sebagai Ketua PCNU cabang Merseyside.
 
Saya bisa saja bicara masalah teknis pertandingan untuk menambah dalih Qoffal, tapi saya tidak tertarik. Lebih mengasikan mengamati orang yang tinggal ribuan kilometer dari Anfield berduka nestapa atas kegagalan (lagi) tahun ini, serta lebih menyenangkan menganalisa respon fans melihat kemalangan tim itu di semua kejuaraan.
 
Saya pribadi tidak memiliki tim favorit di level klub dan menjadi agnostik garis lucu, karena sadar sudah terlalu tua untuk ikut-ikutan serta akan selalu ada hal-hal kocak yang akan terlihat kalau kita sedikit saja memberi jarak. Tentu keputusan ini mengakibatkan saya dimusuhi banyak pecinta klub, tergantung klub mana yang saya candai. Itu sepadan, mengingat ini adalah bentuk jihad rasionalitas melawan dogmatisme —memang keren kalau dibuat istilah, padahal ngibul.

Saya akan berikan beberapa contoh. Tahun 2013, beberapa pemain dari sebuah tim sepakbola Italy pura-pura cidera dan tidak mau bermain karena mendapat ancaman pembunuhan dari fans mereka. Sampai akhirnya tim tersebut didegradasi dan dijatuhi denda oleh Federasi Sepakbola Italia (FIGC) karena dinilai tidak sportif. Tahun lalu, waktu Liverpool juara, para fans MU garis keras bahkan ada yang mengancam lewat twitter sambil mention Anthony Martial, “I swear to god, if you congratulate them I’ll break your legs!”. Bagi fans MU mungkin itu serius, tapi bagi saya itu sangat lucu.

Begini, di Inggris, sepakbola sudah seperti agama, maka menarik melihat kesamaan keduanya dalam banyak hal. Jika sepakbola diibaratkan agama, maka klub bisa diibaratkan agama-agama yang bermacam-macam dan fans bisa diibaratkan pemeluk agama. Seperti biasa, tidak dimana-mana, pemeluk agama ada saja yang rese dan ekstrim. Holiganisme bahkan dimulai dari era jahiliah Inggris, sekitar abad ke-14 sampai mulai muncul di media pada pertengahan 1960-an. Kalau mau membayangkan ekstrimis masa itu di dunia sekarang, mungkin akan ada Liverpudlian konyol yang meledakan diri di depan loket karcis di Old Trafford sambil teriak, “I’ll never die alone!”

Untungnya, di agama sepakbola tuduhan bidah, murtad dan kafir tidak menyakitkan. Pada konteks yang lain, tuduhan itu bisa mengancam nyawa. Tentu ada pengecualian untuk tim lokal Indonesia. Karena tuduhan atau olokan seremeh apapun bisa memancing perang. Ikatan emosional chauvinis lokal seperti itu yang menakutkan. Seperti digambarkan Andy Bachtiar dengan tragis dalam Romeo Juliet.

Dalam hal fenomena fans ini saya pernah bertanya ke Qoffal; Apa artinya menjadi Liperpudlian? Apa artinya mendukung tim yang tidak pernah juara? Apa artinya 1 gelar juara dalam 30 tahun? Apa juga artinya menanggung kepedihan atas tim yang kembali payah?
 
Ia menjawab cepat; tidak ada artinya.
 
Kezuhudan di tangan Liverpudlian memang sudah menjadi way of life karena selalu menemukan momentum. Dan mungkin baginya menyukai Liverpool adalah jalan thoriqoh tasawuf.

Sepakbola sungguh bisa membuat penikmatnya mengalami kesedihan atau kesenangan yang absurd. Tidak jelas apa signifikansi terhadap kehidupan pribadi ketika timnya tidak juara sama sekali. Sebagaimana tidak jelas apa relevansi kegembiraan atas kemenangan tim kepada kehidupan pribadi. Selain hanya sebagai bahan kebanggaan seusai laga, yang cepat dilupakan. Maka betul sekali. Tidak ada artinya sepakbola yang fana ini!

Walaupun begitu, dalam pengalaman seumur hidup saya, jika menaruh rasa cinta yang dalam pada kesebelasan, maka menghadapi kepedihan terus menerus yang seperti kutukan, yang tidak berguna dan berarti, tetap menyenangkan. Itu perasaan yang membuat hati saya membuncah, perasaan ketika melihat timnas Indonesia bermain, entah kalah apalagi menang.
 
Saya mengamati, semakin dewasa fans, maka akan semakin santai. Namun seperti agama, tidak mudah membuat fans menjadi murtad atau berpindah. Maka terhadap fans yang tidak punya cukup nyali untuk bilang berhenti mendukung klub ini, saya teringat hukum kekekalan energi.
 
Menurut hukum kekekalan energi; energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan; energi hanya dapat diubah atau ditransfer dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Jadi saya ingin menyarankan Qoffal untuk bisa mengubah energi sakit hati menjadi energi lain. 

Energi itu bisa menjadi penggerak kreatifitas. Sakit hati di tangan penulis lagu akan jadi irama yang menyentuh, di tangan pelukis akan menjadi gambar yang mengagumkan, di tangan penyair akan menjadi puisi yang menyayat. Maka saran saya pada Qoffal dalam 7 pertandingan akhir ini; sering-seringlah menonton hujan, siapa tahu anda mulai tertarik jadi seniman.