Halaman

Sabtu, 24 April 2021

Prophet for Our Time

Di bulan ini saya membaca Muhammad: Prophet for Our Time, “lanjutan” dari karya Karen Armstrong sebelumnya, Muhammad, A Biography of the Prophet. Ada latar belakang berbeda mengapa Karen menulis dua buku biografi tentang Nabi ini. Muhammad, A Biography of the Prophet ditulis tahun 1991 sebagai salah satu usaha Sarjana Barat memberikan penjelasan yang objektif serta pengertian yang komperhensif terhadap sosok Nabi Agung umat Islam ini. Sementara Muhammad: Prophet for Our Time ditulis setelah kejadian 11 September 2001, merespon media barat yang kembali mulai mengidentifikasi Islam dengan terrorisme.

Saya pertama kali mengenal Karen lewat bukunya Masa Depan Tuhan, lanjutan dari karya fenomenalnya, A History of God. Dalam biografi Nabi ini, Karen seperti ingin meneruskan pemikiran bahwa agama masih relevan bahkan menjadi solusi dalam abad baru ini.

Membaca biografi Nabi dari kalangan non-muslim membuat saya bisa melihat dari perspektif lain. Sebagai orang yang pernah tujuh tahun sebagai biarawati Katholik Roma, Karen tentu punya latar belakang yang cukup untuk memberikan sudut pandang Kristen bahkan Yahudi terhadap Islam. Beberapa kali malah saya berhenti membaca untuk mengecek beberapa ayat di Al Kitab yang ia kutip.

Tidak seperti tulisan-tulisan karya Barat pada Abad Pertengahan, yang cenderung punya persepsi yang negatif, tidak sesuai fakta, atau bahkan fitnah yang keji, Karen menulis biografi Nabi dengan objektif, banyak mengambil rujukan dari penulis biografi nabi pertama, Ibn Ishaq (w 767), juga referensi lain yang diakui oleh mayoritas Muslim di seluruh dunia.

Sementara karya biografi Nabi yang ditulis oleh kalangan Muslim kebanyakan lebih hati-hati terhadap motif dan tujuan Nabi, Karen menulis tentang nabi seperti ia tahu pikiran, perasaan, keinginan, hasrat atau rencana yang ada dalam hati Nabi. Atau seperti dinyatakan Kang Jalal, ia sudah punya alur dan kemudian menjadikan itu sebagai acuan untuk menyusun biografi. Maka membaca buku ini, seperti membaca novel. Walaupun bahkan penulis novel Nabi seperti Tasaro sekalipun, ketika menggambarkan keadaan batin dan pikiran Nabi, ia menulis dengan kalimat tanya. 

Kehati-hatian kalangan Muslim dalam hal pengungkapan visi dan motif Nabi tersebut bisa jadi karena tidak disebutkan secara gamblang atau diucapkan dalam hadits-hadits, sehingga penulis Muslim cenderung tidak menerjemahkan keinginan Nabi yang tidak berdasar dalil teks tersebut. Selain memang penghormatan umat Islam kepada Nabi sangat tinggi. (Buku karya Annemarie Schimel tentang penghormatan terhadap Nabi Saw. dalam Islam bisa dijadikan rujukan akademis yang cukup objektif)



Dalam penutup di Bab Salam, Karen mengutip sarjana Kanada, Wilfred Cantwell Smith (1957) yang menekankan tentang perlunya bukan hanya saling toleransi, tapi apresiasi diantara dunia Islam dan Barat. Ia mengatakan bahwa nilai-nilai kebaikan yang ada dalam Islam juga dimiliki oleh Barat, karena nilai-nilai tersebut tumbuh dari tradisi yang sama. Jika Muslim ingin menjawab tantangan zaman, maka mereka harus mengerti tradisi dan institusi Barat, karena keduanya tidak akan pernah lenyap. Jika tidak begitu, maka mereka akan gagal mengahadapi tantangan zaman. Ia juga mengkritik dengan keras kepada Barat tentang ketidakmampuan untuk mengakui bahwa mereka berbagi planet yang sama bukan dengan orang-orang yang lebih rendah, tapi dengan orang-orang yang setara.

Kritik ini sangat relevan bahkan sampai sekarang. Introspeksi ini bukan hanya bagi kalangan Barat, tapi juga untuk Muslim. Saya banyak menemui kawan yang selalu menganggap orang yang bukan Muslim sebagai orang-orang yang tidak jujur, tidak adil atau hal buruk lain. Itu tentu pemikiran yang dangkal dan tidak membawa kemanapun. Karena sejatinya, mengulang Cantwell, umat Islam berbagi planet yang sama dengan orang-orang non-muslim, bukan dengan orang-orang yang lebih rendah, tapi dengan orang-orang yang setara.

Pada kenyataannya, banyak peneliti Islam dari non-muslim seperti Karen yang objektif dan jujur. Islam memang dekat dengan Yahudi secara teologi, namun tidak dari segi politik, terutama sekarang ini. Berkebalikan dengan Nasrani, yang jauh dari segi teologi namun dekat secara politik. Rabi dan reformis Abraham Geiger menyatakan bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang penipu ulung. Hal ini diamini oleh Gustav Weil, orientalis Jerman penganut Yahudi, yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad bukanlah penipu tapi pembaharu yang tulus. Sesuai dengan Geiger dan banyak penulis abad kedelapan belas, Weil memandang Nabi sebagai pembaharu monoteisme asli yang tidak ternoda dari patriark Nabi Ibrahim. Dalam catatan Weil, Islam adalah versi murni dari Yudaisme dan Kristen: “A Judaism without the many ritual and ceremonial laws, which, according to Muhammad’s declaration, even Christ had been called to abolish, or a Christianity without the Trinity, crucifixion and salvation.”

Beberapa kawan Muslim yang saya temui, tidak jarang takut, atau bisa saya sebut enggan, membaca hal-hal tentang agama lain. Mungkin khawatir terpengaruh, atau terkurung pada anggapan tidak ada kebenaran selain apa yang ada pada mereka. Ignorance semacam ini tidak jarang membawa kepada ekstrimisme atau fundamentalisme agama. Sementara Islam adalah jalan tengah, agama solusi, Nabi banyak mencontohkan dalam kehiduapan beliau sehari-hari. Saya ingat apa yang selalu diulang-ulang Gus Baha dalam pengajiannya, bahwa Al Quran mengajak untuk berdialog dan berlogika kepada kaum yang menentang. Sejarah mencatat bagaimana perjanjian Hudaibiyah yang bahkan pada saat itu isinya dianggap oleh beberapa sahabat akan merugikan Islam, ternyata malah menguntungkan. Karen dan banyak peneliti Islam menganggap ketenangan Nabi dalam menghadapi peristiwa yang sungguh menegangkan tersebut merupakan bukti akan kegeniusan profetik beliau. Berikut kutipan Karen yang mengutip Ibn Ishaq di halaman 207-208:

Pada kenyataannya, perang terus berlanjut, tetapi para penulis sejarah Nabi sepakat bahwa Hudaibiyyah merupakan garis pembeda.”Belum pernah ada kemenangan (fatah) yang lebih besar daripada ini sebelumnya," tegas Ibn Ishaq. Akar makna dari FTH adalah "pembukaan"; gencatan senjata itu tampak tidak menjanjikan pada awalnya, tetapi itu membukakan pintu-pintu baru bagi Islam. Hingga saat itu, tak seorangpun bisa duduk untuk mendiskusikan agama baru tersebut dalam cara yang rasional, karena pertempuran yang tak hentinya dan kebencian yang terus memuncak. Tetapi kini, "ketika ada perjanjian damai dan orang-orang berjumpa dalam keadaan aman dan berkumpul bersama, setiap orang yang membincangkan tentang Islam secara cerdas beralih memeluknya". Bahkan, antara 628 dan 630, "jumlah orang yang masuk Islam berlipat dua atau lebih dari berlipat dua".

Dari kalangan Islam, kecuali yang terpelajar, sangat tidak peka dengan fakta ini. Pada setiap keyakinan selalu ada egoisme akut yang hanya mau orang lain memahami keyakinannya, namun tidak sebaliknya. Orang-orang yang bersikap tidak peduli, menutup diri, berburuk sangka, menganggap keyakinan lain adalah keyakinan kotor sehingga tidak perlu diketahui, tentu selalu ada di setiap agama, dan itu yang membuat dialog yang santun dan adil semakin sulit terjadi.

Di bulan tempat berkontemplasi ini. Kita seyogyanya bisa merenung dan melihat ke dalam diri, tentang sudah adilkah kita kepada orang lain, bahkan orang yang mungkin kita tidak suka? Sudahkah kita memiliki kerendahan hati untuk menerima kebenaran dan hikmah dari siapapun, bahkan dari orang yang tidak seagama?

Dalam paragraf akhir penutup, Karen menyimpulkan bahwa baik Islam dan Barat saat ini masih belum bisa saling menghargai. Bahkan dengan rendah hati ia mengakui bahwa Nabi adalah sosok yang tepat untuk dunia Barat dan Islam agar bisa saling mengapresiasi. Ia mengusulkan, jika kita ingin menghindari kehancuran dan mewujudkan kehidupan yang toleran dan saling mengapresiasi, untuk memulainya dari sosok Nabi Muhammad: “Seorang manusia yang kompleks, yang menolak kategorisasi dangkal yang didorong oleh ideologi, yang terkadang melakukan hal yang sulit atau mustahil untuk kita terima, tetapi memiliki kegeniusan yang luar biasa dan mendirikan sebuah agama dan tradisi budaya yang didasarkan bukan pada pedang, melainkan pada "Islam", berarti perdamaian dan kerukunan.”

Penutup dari Karen mengusik saya, karena itu berarti mengatakan secara tersirat bahwa banyak Muslim yang tidak memahami visi kenabian Nabi Muhammad sallalahu 'alaihi wasallam.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in

Wallahu 'alam bissowab