Hujan sudah selesai bersenang-senang ketika motor keluar dari tempat parkir. Jalanan basah, berkubang, langit menyisakan mendung seperti memberi nuansa untuk orang-orang yang sedang berduka malam itu.
Aku sendirian di atas kendaraan. Sungguh ingin sendirian. Bukan karena tidak ingin bersamamu. Aku sering membayangkan berkendara denganmu ke tempat-tempat yang belum kita kunjungi. Duduk menonton temaram senja di ujung garis cakrawala sambil bercerita tentang kita. Tapi di masa yang semakin bergegas ini aku juga rindu diam, berpikir, melamun. Mengulang-ulang kata dalam kepala sampai ia kehilangan makna. Sepanjang jalan memikirkan banyak hal termasuk kesedihan, kesendirian dan kematian. Sampai pertanyaan yang tidak aku tahu jawabnya itu datang.
Semua orang seperti ingin bergegas. Pekerjaan ingin bergegas. Informasi yang datang bergegas. Pertanyaan minta dijawab bergegas. Tidak sempat memberi jeda untuk pikiran memilih, sementara tangan dan lisan terlalu cepat bertindak. Bergegas. Bergegas. Bergegas. Aku mengulang kata itu dalam kepala sampai luntur maknanya.
Aku memikirkan kesedihan. Mengapa banyak orang yang menghindari bersedih? Apakah kesedihan harus menjadi lawan kebahagiaan? Sebagaimana cinta menjadi lawan benci? Bukankah kamu bilang lawan cinta bukan benci, tapi ketidakpedulian? Jadi lawan bahagia seharusnya bukanlah sedih tapi ketidaksadaran.
Mengapa bahagia menjadi begitu penting? Menjadi komoditas yang dikejar, apapun syarat yang diminta, walau menyulitkan. Asal bahagia atau yang penting bahagia. Seakan-akan sedih adalah hal yang tabu dan harus dijauhi. Selama ini kita mungkin beranggapan bahwa jika seseorang tidak bahagia maka ada yang tidak beres. Kita diajari bahwa kesedihan itu tidak boleh dibiarkan dan harus dihindari. Tapi bukankah kita bisa bersedih dan pada saat yang sama baik-baik saja? Atau bersedih dan pada saat yang sama bahagia? Bukankah seseorang bisa bahagia dengan apapun yang terjadi?
Menerima kesedihan itu wajar dan manusiawi, karena bagaimanapun kesedihan sebagaiman kebahagiaan tidak akan bertahan selamanya. Katamu ia momen yang berganti-ganti yang harus disadari. Maka hal yang lebih penting adalah kesadaran akan momen. Kesadaran akan saat ini.
Ketika berhenti di perempatan yang sudah sepi dengan pengendara, aku menyingsing ujung lengan jaket untuk melihat jam, pukul 20:28. Lampu lalu lintas menyala merah. Orang-orang diam menunggu di atas kendaraan yang membunyikan suara mesin dan meruapkan aroma monoksida. Dingin angin malam berhembus menerpa wajah pedagang karpet yang berjalan di sisi jalan memanggul bawaan. Ia berjalan menghindari kendaraan dan menginjak tanaman perdu dengan bunga kuning kecil di tepi trotoar. Bunga itu bergoyang dan tetap berdiri tidak peduli. Aku menyadari saat ini; kefanaan pada detik jam dan ketabahan pada tanaman tepi jalan.
Kemudian pertanyaan itu masuk; apa itu bahagia? Kemudian kesadaran itu datang bertanya, apa itu sedih? Apakah penjual karpet yang tidak satupun dagangannya laku sampai larut malam itu bersedih? Bukankah sedih bagi orang yang percaya pada ketentuan Tuhan itu konyol?
Hari ini kita banyak kehilangan. Guru-guru, orang tua, anak-anak surga, atau kawan yang tidak bisa lagi kita genggam tangannya. Ke mana mereka? Apakah mereka masih ada dan bisa kita rasakan, atau mereka merasakan kita? Mudah saja kita sadar bahwa kita ada. Descartes bilang aku berpikir maka aku ada. Tapi apakah suatu hari nanti kita akan tahu bahwa kita tidak ada?
Aku ingin sepi dan menulis puisi paling sedih untuk orang-orang yang pergi, tapi yang masuk dalam kepala adalah pertanyaan-pertanyaan yang kadang tidak kutemukan jawabnya. Aku tidak sanggup meneruskan membayangkan kamu atau anak-anak tidak ada. Bisakah kita belajar kezuhudan pada sekuntum bunga di tepi jalan? Yang tetap menawan tanpa peduli pada terik siang atau curah hujan?
Aku masih tidak tahu jawaban bagaimana cara seseorang meneruskan hidup setelah ditinggal orang yang sangat disayangi, namun aku cukup tahu bagaimana hidup dengan orang-orang yang masih peduli. Hidup dengan saling memperbaiki diri. Hidup dengan saling mempercayai. Di luar kita adalah orang yang sama, di dalam sana kita berbeda dari 12 atau 7 tahun yang lalu. Mungkin kita tumbuh menjadi lebih bisa mengikhlaskan beban, mudah bersyukur dan bijaksana.
Satu belokan lagi aku sampai padamu. Malam ini seperti biasa kita akan berpelukan dan tanpa sadar sudah terlelap tenang. Entah pada saat susah atau senang.