Aku masuk ke dalam kendaraan
dan mengajak malam menemani pulang.
Lagu-lagu di telinga bisu, sebagian melodi
meniup api bertubitubi. Orang-orang menyapa
dan aku mengais timbre suaramu. Tidak ada yang peduli
mengapa persimpangan mengingat percakapan tanpa
doa, tanpa kata. Di atas roof top, kamu memandang
langit. Tak ada senja siang itu. Dalam beberapa jam lagi,
ia akan datang malu-malu. Menatap penuh kerinduan
karena usaha untuk menyakiti diri sendiri dari
seseorang yang menolak dilupakan. Orang-orang terlihat
kecil, sibuk kerja masing-masing, tak mau menatap
langit, atau bertanya tentang keraguan, atau mengapa
manusia dijadikan berbeda-beda, atau mengakui derita
sendiri. Langit tidak bisa menyelamatkan
apapun namun memberi keberanian pada mata
yang bersedia. Kamu melihat dengan
seksama. Memperhatikan perubahan warna
dan bentuk awan yang seakan
memberi tanda. Senja berpapasan denganmu di atap
pada suatu waktu yang membeku. Pertemuan
yang canggung. Ia tetap begitu adanya, kamu tetap
begini di sini. Aku minta Penyihir Waktu mengembalikan
kita pada pertemuan pertama saat berumur 17, pada
persimpangan di jalan Djuanda. Aku melangkah ke selatan
dan kamu ke utara. Tidak ada senyum. Tidak ada
sapa. Dalam usia 70 kita akan jadi pelupa.
Sampai kematian menyapa tiba-tiba. Akan ada
sebuah puisi perpisahan lagi yang tidak dibaca siapasiapa.
Karena aku tidak peduli dan kamu
tidak ada.