Halaman

Kamis, 16 Juni 2022

Pesantren Inklusif

Kawan saya seorang pengurus pesantren dalam sebuah status WA menuliskan kekhawatiran karena media banyak menyorot kasus kejahatan seksual di pesantren. Ia khawatir citra pesantren menjadi buruk di mata masyarakat. Ia juga menyinggung bahwa institusi pesantren dimana banyak terjadi kasus asusila adalah pesantren yang eksklusif dan secara kultural tidak merepresentasi pesantren pada umumnya.

Saya menanggapi dengan mengatakan bahwa kehawatiran masyarakat akan berpendapat bahwa pesantren adalah tempat yang selalu negatif adalah kehawatiran yang berlebihan. Kesimpulan yang populer di masyarakat pada akhirnya adalah pesantren sebagaimana lembaga lain, tidak selalu baik, tidak melulu buruk. Malah tuduhan bahwa pemberitaan di media yang menyebabkan citra pesantren buruk akan terkesan apologetik dan tidak menampakan wajah pesantren yang inklusif.

Saya setuju bahwa pesantren harus dikembalikan kepada wajah yang terbuka pada semua. Secara kultural, kebanyakan pesantren NU di Jawa Tengah atau Timur telah melakukan itu, dengan pembauran lingkungan pesantren dan masyarakat, atau rumah kiyai yang selalu terbuka untuk siapa saja. Pesantren yang tidak punya kultur seperti itu, harus punya cara lain agar kepercayaan masyarakat pada pesantren tetap terjaga.

Dalam novel BaRung saya menuliskan keresahan yang kurang lebih sama. Novel itu merupakan manifestasi kebanggan saya sebagai anak pesantren sekaligus kritik yang membangun. Walaupun sebagian pihak tidak menanggapi secara konstruktif bahkan malah merasa disudutkan, saya menganggap mereka tidak memahami hakikat pesantren secara filosofis dan kultural yang telah ada bahkan sebelum Islam.

Saya ingat apa yang pernah dikatakan Kiyai Fachruddin, ada dua hal yang membuat pesantren bertahan dan dipercaya; system dan figur. Beliau mencontohkan pesantren dengan system yang kuat itu seperti Gontor. Orang awam hampir tidak mengetahui siap kiyai pesantren Gontor, tapi Gontor sangat terkenal sebagai pesantren yang menghasilkan lulusan berkualitas. Sementara pesantren dengan figur yang kuat contohnya seperti kebanyakan pesantren yang dikenal karena kiyainya; pesantren Gus Dur, pesantren Gus Mus, pesantren Gus Baha dan lain-lain. Pesantren dengan system yang kuat lebih bertahan menghasilkan lulusan yang berkualitas selama system yang ada terjaga. Sementara pesantren dengan figure yang kuat biasanya akan menurun jika figurnya sudah tidak ada dan figure yang menggantikan tidak sekuat pendahulunya.

Saya bukan pengurus pesantren, namun saya punya pandangan, terutama untuk pesantren yang mengedepankan figur, bahwa untuk membuat pesantren yang inklusif, yang dirindukan para santri, yang pengurusnya merasa memiliki, adalah dengan merangkul sebanyak-banyaknya kemampuan. Terlebih kemampuan para alumnus. Hal seperti itu, yang jika dilakukan dengan konsisten, akan secara otomatis meminimalisir segala macam hal negative. Di sini dibutuhkan kerendahan hati dari pengurus untuk terus membuka diri dan berkolaborasi.