Halaman

Jumat, 23 Desember 2022

Sekolah Murid Merdeka; Semua Murid, Semua Guru

Pada tahun 2019 --tahun pertama SMM dibuka, ketika mencari PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) untuk keperluan memperoleh ijasah SD Nada, kami menemukan SMM (Sekolah Murid Merdeka).
 
Salah satu alasan keluarga kami memutuskan Homeschooling adalah karena kami menganggap Sekolah Konvensional terlalu banyak memasukan mata pelajaran yang seringkali sudah tidak relevan dan kurang dibutuhkan anak. Di Sekolah Murid Merdeka, sebagaimana kita bisa tebak dari namanya, menerapkan Kurikulum Merdeka yang salah satu karakteristiknya adalah pengurangan cakupan materi dibanding kurikulum nasional sebelumnya.

Sering sekali saya menemukan ekspektasi yang tidak realistis baik dari orangtua atau siapapun tentang kemampuan murid dan juga kemampuan guru terkait konten pelajaran. Di era informasi sekarang ini, intensi untuk melengkapi pengetahuan murid dengan pelajaran yang “just in case diperlukan" memang semakin menjadi-jadi, namun desainer kurikulum yang baik, seharusnya bisa memilih relevansi bukan hanya pada zaman tapi juga pada keunikan, kondisi sosial anak atau personalisasi.

Sama dengan Homeschooling, kostumisasi atau personalisasi adalah hal yang seharusnya ada dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan yang memberi ruang untuk keunikan anak sehingga potensi terbaik mereka bisa jauh lebih berkembang. Contoh paling sederhana dalam hal personalisasi di SMM adalah anak-anak dibebaskan untuk mengerjakan tugas menggunakan hal yang mereka kuasai dan senangi. Bisa melalui visual, gambar, atau video, bisa berbentuk tulisan atau karya sastra, musik atau yang lainnya. Di SMM perbedaan dan ide selalu dihargai.

Personalisasi hanya akan mungkin terjadi apabila isi kurikulum memberi ruang dan waktu yang cukup kepada murid untuk bereksplorasi, lewat pendekatan yang menempatkan murid sebagai pengendali proses belajarnya sendiri. SMM yang digagas oleh Najelaa Shihab memang dirancang untuk menjadi sekolah dengan kurikulum yang berpihak pada anak atau murid. Keberpihakan pada murid ini, selain lebih mengakomodir personalitas siswa juga lebih kontekstual dan relevan. Dalam sebuah artikel Najelaa menjelaskan bahwa ada dua pertanyaan yang lazim berulang dalam musyawarah Guru tentang cakupan kurikulum di SMM, yaitu:
  1. Di antara semua yang menarik untuk menjadi cakupan kurikulum, mana yang akan berguna bagi murid 5-10-20 tahun yang akan datang saat saya sebagai guru bertemu mereka di masa depan?
  2. Jika ini penting diajarkan, apakah sekarang, di periode usia/jenjang pendidikan ini adalah waktu tertepat berkaitan tingkat kesiapan anak untuk anak belajar?
Cakupan kurikulum memang selalu soal prioritas. Sehingga kurikulum yang baik adalah kurikulum yang kontekstual. Seringkali, ada topik yang sebenarnya bagian yang esensial untuk generasi Z, tapi terlewat dalam cakupan kurikulum, contohnya tentang pendidikan seksualitas atau spiritualitas, atau juga materi lintas jenjang seperti materi terkait demokrasi dan kebangsaan.

Salah satu hal yang juga perlu dipikirkan oleh perancang kurikulum adalah memilih materi yang paling berkait dengan bidang ilmu lain. Materi lintas jenjang dan lintas mata pelajaran ini penting dipikirkan agar semakin terjadinya kesinambungan dalam pembelajaran. Otonomi guru dalam kontekstualisasi kurikulum ini juga perlu dibarengi dengan adanya “tes relevansi” untuk setiap materi yang bukan hanya dilakukan satu tahun ajaran sekali, tetapi terus berefleksi guna memenuhi kebutuhan dan kondisi murid.

Usaha tersebut sedang dan terus dilakukan oleh SMM. Hasil karya berkait ini, menjadi inti asesmen yang juga berulang, diobservasi dan dinilai lintas tahun ajaran. Salah satu contohnya adalah menghasilkan paragraf esai. Karena kemampuan membuat pernyataan dan kesimpulan, menjelaskan latar belakang dan mendeskripsikan kompleksitas dengan pemilihan kata, kelancaran kalimat dan konvensi yang tepat adalah salah satu aspek kompetensi yang dibutuhkan lintas profesi.

Keistimewaan SMM yang saya sebutkan di atas memang terdengar mewah dan ideal, namun sayangnya banyak orangtua murid SMM yang terkadang luput memahami bahwa tradisi tanggungjawab orangtua di SMM berbeda dengan paradigma lama yang menyerahkan sepenuhnya anak ke sekolah tanpa peduli lagi. Di SMM ada slogan "semua murid, semua guru". Itu bukan slogan kosong tanpa realisasi namun ingin dijadikan budaya yang melekat. Slogan itu berarti adanya kemauan dari semua pihak baik sekolah, guru, murid juga orangtua untuk bisa terus belajar dan mendidik, untuk membuka pikiran, bergerak saling membantu, bermakna. Dengan begitu, diharapkan orangtua dan sekolah mampu menciptakan kolaborasi atau kerjasama. Kolaborasi itu juga terjalin antara orangtua dan murid, dimana orangtua memiliki peran terpusat saat anak belajar di rumah, walaupun tidak berarti orangtua yang bekerja tidak bisa menerapkan budaya ini. Pendampingan yang dimaksud adalah pendampingan dalam hal moral, dukungan dan ikut terlibat dalam diskusi dengan anak. Pendampingan seperti itu menjadi hal penting untuk bisa mendukung semangat belajar anak yang pada akhirnya mewujudkan ekosistem Merdeka Belajar.

Merek Merdeka Belajar juga awalnya dimiliki SMM atau Sekolah Cikal (sekolah yang menginisiasi SMM) yang akhirnya diberikan ke pemerintah yang kemudian dijadikan payung besar kebijakan pendidikan nasional. Merdeka Belajar sendiri adalah ekosistem dalam dunia pendidikan yang dikembangkan untuk meningkatkan kompetensi, kolaborasi dan inovasi semua pemangku kepentingan, mulai dari guru, orangtua, komunitas dan organisasi. Cakupannya cukup luas, salah satunya adalah menciptakan Kurikulum Merdeka, yaitu kurikulum yang lebih fleksibel, sekaligus berfokus pada materi esensial dan pengembangan karakter dan kompetensi peserta didik. Kurikulum yang mengacu pada pendekatan bakat dan minat, sehingga peserta didik dapat memilih pelajaran apa saja yang ingin dipelajari sesuai passion melalui pembelajaran intrakurikuler yang beragam. Namun kurikulum hanyalah alat, yang membuat itu berarti adalah manusia di belakangnya yang secara kreatif bisa membuat kurikulum tersebut berjalan sesuai tujuan.

Saya pernah beberapa tahun menjadi Guru, dan sejauh pengalaman saya, sulit untuk mengubah budaya korup dan stagnasi dalam jajaran birokrasi Kementrian Pendidikan ini. Bagi orang-orang yang masih punya idealisme, masuk ke birokrasi pemerintah memang sering membuat frustasi. Mungkin saja perubahan di tingkat atas bisa lebih mudah dilakukan, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa perubahan kebijakan, tidak menjamin perubahan di lapangan, apalagi paradigma usang tentang pendidikan yang sudah langgeng selama bertahun-tahun selalu menjadi penghambat utama reformasi.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah Kurikulum Merdeka mungkin diterapkan dalam praktek di lapangan? Jawabannya tentu bisa. Mungkin memang bukan hal yang mudah, karena jika ada sekolah yang mencoba menerapkan konstektualisasi kurikulum ala Merdeka Belajar, pola ujian (assessment) dari pemerintah yang ada sekarang belum sama merdeka dan bisa mengakomodir. Bagaimanapun tidak akan bisa ada perubahan dalam upaya konstektualisasi kurikulum, tanpa perubahan di standar penilaian. Memang butuh proses dan ketekunan, SMM telah membuktikan bahwa upaya dan kolaborasi terus menerus bisa membuat semua itu semakin mudah diwujudkan.