Halaman

Jumat, 30 Desember 2022

Peluk

Hutan hijau mulai senyap. Daun-daun pohon diam tengadah pada langit. Malam numpang tidur di kepalaku sambil membawa gerombolan kata-kata.

Di sebuah persimpangan jalan hujan turun rintih-rintih. Di bawah sinar lampu jalan ia menitis bagaikan ribuan jarum runcing yang menusuk aspal kemudian pecah. Orang-orang menarik sleting jaket dan memasukan tangan ke kantung, kamu tidak peduli dan tetap hangat seperti tahun baru.

Setiap usaha yang melarangku dekat denganmu akan siasia karena aku adalah ingatan yang tidak pernah sudah memelukmu dengan segala bahasa. Sampai tiba masa ketika segala sesuatu bisa bicara kecuali kata.

Pelukan adalah nama lain puisi, sepasang lengan yang mendekap tubuh penuh kecemasan, tempat kata-kata istirahat dan tubuh menari mencari makna.

Meminta cinta kepada peluk adalah sesuatu yang fatal akibatnya, karena ia tidak tahu cara untuk berdusta.

Kepada peluk kamu berpesan,
“Jika nanti malam aku sudah lelap,
tidak perlu meminta ijin untuk memeluk,”

Angin bertiup menggoyang dedaunan, berlarian di sela ranting-ranting kemudian menabrak dahan, sayup-sayup membisikan kabar tentang masa lalu dan masa depan.

Sehabis itu sepi.

Kamu tahu: masa lalu dan masa depan adalah hutan belantara yang hanya bisa kamu rasakan degupnya dalam dada.

Malam tenggelam. Di jendela kamu lihat pagi lebih cerah dari biasa.

Dan kamu mengerti mengapa tubuh adalah bahasa yang tidak pernah gagal mengungkap kita.


2022