Untuk D.
Di sebuah sibuk kita bertemu. Hari-harimu terbentuk dari hari kerja berwarna ungu. Hari-hariku terbentuk dari hari rusli yang berwarna metal.
Awan memilih warna kelabu saat tanah belum selesai mengurai aroma hujan. Udara berwarna es, wajah waktu pucat kelaparan menunggu detik jam, kamu tidak peduli dan tetap sehangat selamat malam.
Warna adalah bahasa yang tidak kuasa berdusta. Hutan berwarna daun pinus, laut berwarna lazuardi, rumah dan jalan adalah haru biru.
2.
Nila telah bercampur putih sebelanga kemudian menjadikannya memar, namun di luar itu jiwanya tetap urat kayu Cedar, di luar itu masih ada sunyi, mimpi dan hal-hal yang hanya bisa disimpan dalam hati.
Mungkin ia perlu minum puisi serindu sekali. Lebih nikmat sambil memandangi langit sore berwarna aruna, atau rintik hujan berwarna dahan, agar tahu bahwa dunia itu sewarna bianglala, tempat keabadian menjelma warna sebutir pasir atau keindahan pada warna sekuntum bunga liar.
Ketika ia meneguk puisi berwarna burgundi dalam sepi, Jogja berwarna tanah sehabis gerimis, dan awan yang menyembunyikan langit tetap memilih warna redup.
3.
Semesta adalah kanvas putih tempat perasaan membuat segala peristiwa punya warna, juga trauma. Ia mewarnai di luar dirinya dan mewarnai sesuatu di dalam dirinya dengan warna yang berbeda.
Tempat paling nyaman yang ia punya adalah masa lalu, ruang waktu tempat menyimpan ingatan, penyesalan, jatuh cinta, suara hati juga puisi-puisi yang belum selesai dicari.
Puisi yang datang dengan banyak mata memberinya sebuah cahaya, dan ia mengerti mengapa cahaya sebagai mata yang mengungkap warna sebenarnya manusia hanya menjadi hitam jika ia tetap terpejam.
4.
Keinginannya sederhana; punya rumah berwarna putih dengan halaman depan menghadap sore, agar ia bisa pulang pada suatu senja dan sempat bercakap-cakap dengan jingga di atas teras.
Jika tidak hujan, ia selalu senang akan rumah dengan jendela besar, untuk menonton malam yang agung menelan semua warna kecuali kerlap-kerlip cahaya mimpi.
Pada sebuah mimpi ia berhadapan dengan cermin dimana ia memandangi wajahnya sendiri juga wajah orang-orang yang telah pergi. Manusia kehilangan satu warna setiap orang yang ia cintai tiada, seperti malam kelam yang menelan ribuan cahaya kemudian menjadikannya gulita.
5.
Pelangi datang setelah gerimis pulang. Mereka bertemu di persimpangan jalan menuju alun-alun sambil mengamati malam yang perlahan-lahan turun.
Dalam pesta yang hingar bingar, hati tahu suara mana yang harus didengar. Malam memberinya sebuah kado yang di dalamnya ada rasa yang dibungkus kertas tortila dengan pita merah muda.
Di kepalanya ada kicau merdu burung nuri di belakang warna yang sama dengan rindu dan kehangatan. Ia tidak khawatir akan pulang sendirian karena sunyi selalu menemani sambil bernyanyi, "Yang fana adalah pelangi, langit sore abadi."
Pagi merekah bagai bunga Kamboja, mentari bersinar hangat kemudian membuat segalanya punya warna. Punya warna.
Awan memilih warna kelabu saat tanah belum selesai mengurai aroma hujan. Udara berwarna es, wajah waktu pucat kelaparan menunggu detik jam, kamu tidak peduli dan tetap sehangat selamat malam.
Warna adalah bahasa yang tidak kuasa berdusta. Hutan berwarna daun pinus, laut berwarna lazuardi, rumah dan jalan adalah haru biru.
2.
Nila telah bercampur putih sebelanga kemudian menjadikannya memar, namun di luar itu jiwanya tetap urat kayu Cedar, di luar itu masih ada sunyi, mimpi dan hal-hal yang hanya bisa disimpan dalam hati.
Mungkin ia perlu minum puisi serindu sekali. Lebih nikmat sambil memandangi langit sore berwarna aruna, atau rintik hujan berwarna dahan, agar tahu bahwa dunia itu sewarna bianglala, tempat keabadian menjelma warna sebutir pasir atau keindahan pada warna sekuntum bunga liar.
Ketika ia meneguk puisi berwarna burgundi dalam sepi, Jogja berwarna tanah sehabis gerimis, dan awan yang menyembunyikan langit tetap memilih warna redup.
3.
Semesta adalah kanvas putih tempat perasaan membuat segala peristiwa punya warna, juga trauma. Ia mewarnai di luar dirinya dan mewarnai sesuatu di dalam dirinya dengan warna yang berbeda.
Tempat paling nyaman yang ia punya adalah masa lalu, ruang waktu tempat menyimpan ingatan, penyesalan, jatuh cinta, suara hati juga puisi-puisi yang belum selesai dicari.
Puisi yang datang dengan banyak mata memberinya sebuah cahaya, dan ia mengerti mengapa cahaya sebagai mata yang mengungkap warna sebenarnya manusia hanya menjadi hitam jika ia tetap terpejam.
4.
Keinginannya sederhana; punya rumah berwarna putih dengan halaman depan menghadap sore, agar ia bisa pulang pada suatu senja dan sempat bercakap-cakap dengan jingga di atas teras.
Jika tidak hujan, ia selalu senang akan rumah dengan jendela besar, untuk menonton malam yang agung menelan semua warna kecuali kerlap-kerlip cahaya mimpi.
Pada sebuah mimpi ia berhadapan dengan cermin dimana ia memandangi wajahnya sendiri juga wajah orang-orang yang telah pergi. Manusia kehilangan satu warna setiap orang yang ia cintai tiada, seperti malam kelam yang menelan ribuan cahaya kemudian menjadikannya gulita.
5.
Pelangi datang setelah gerimis pulang. Mereka bertemu di persimpangan jalan menuju alun-alun sambil mengamati malam yang perlahan-lahan turun.
Dalam pesta yang hingar bingar, hati tahu suara mana yang harus didengar. Malam memberinya sebuah kado yang di dalamnya ada rasa yang dibungkus kertas tortila dengan pita merah muda.
Di kepalanya ada kicau merdu burung nuri di belakang warna yang sama dengan rindu dan kehangatan. Ia tidak khawatir akan pulang sendirian karena sunyi selalu menemani sambil bernyanyi, "Yang fana adalah pelangi, langit sore abadi."
Pagi merekah bagai bunga Kamboja, mentari bersinar hangat kemudian membuat segalanya punya warna. Punya warna.