Halaman

Selasa, 31 Desember 2024

Kapan Memutuskan untuk Menulis, Om?

--Sebuah Jawaban untuk Isabel

“Om, sejak kapan memutuskan untuk menulis buku?” Isabel bertanya sambil membolak-balik beberapa jilid novel yang baru saja dibelinya di lapak buku bekas di Blok M. Suaranya lirih, tetapi tetap terdengar jelas di dalam kereta MRT menuju Stasiun Sudirman.

Isabel, teman anak saya, Nada, baru berusia 14 tahun. Namun, minatnya terhadap dunia literasi sungguh luar biasa. Ia pernah menerbitkan cerita bergambar dan kini tengah merencanakan untuk mengikuti beberapa lomba menulis. Koleksi bacaannya, mulai dari bahasa Indonesia hingga Inggris, mencerminkan kedewasaan selera yang jarang dimiliki remaja seusianya.

Saya terdiam sejenak, berpikir. “Ya, sejak Om ngirim naskah ke penerbit,” jawab saya akhirnya.

Namun, segera setelah kata-kata itu keluar, saya merasa ragu. Apakah itu benar-benar jawaban yang diinginkannya? Mungkin ia bertanya tentang momen spesifik yang membuat saya yakin untuk menulis, tentang proses menemukan ide, atau sekadar awal mula kecintaan saya pada dunia kepenulisan.

Jika yang Isabel tanyakan adalah momen-momen penting itu, maka jawabannya tidak sederhana. Karena sesungguhnya, keputusan untuk menulis bukanlah hasil dari satu peristiwa tunggal, melainkan perjalanan panjang yang penuh dengan fragmen cerita.
 

*

Perjalanan itu dimulai saat saya di pesantren, sekitar tahun 2000, ketika saya masih kelas satu Aliyah. Di sana, saya bertemu Ahmad Rifai, teman sekelas sekaligus sekamar. Dialah orang pertama yang mengenalkan saya pada dunia tulisan. Rifai menulis dengan deskripsi yang hidup, menyuarakan pemikiran yang menentang kemapanan. Terinspirasi olehnya, saya mulai menulis diary—menuangkan berbagai pikiran dan perasaan ke dalam lembaran-lembaran kosong.

Kebiasaan ini berlanjut hingga masa kuliah di Pekalongan pada 2003. Di sana, saya berkenalan dengan Hoeda Manis, penulis produktif yang tulisannya sering muncul di koran lokal maupun nasional. Gayanya lugas, berani, dan menyentuh, menjadi salah satu referensi penting bagi saya. Namun, pada semester tiga, saya memutuskan untuk drop out dan kembali ke Bekasi, meninggalkan banyak hal, termasuk Hoeda.

Meski demikian, saya tetap menulis. Artikel, cerpen, puisi—meskipun tidak ada satupun yang diterbitkan. Hingga suatu hari, saya memberanikan diri mengirimkan naskah sebagai syarat mengikuti workshop kepenulisan yang diadakan oleh Gagas Media dan Rotary. Keberuntungan pemula berpihak pada saya: tulisan itu diterima, dan saya pun ikut workshop tersebut. Di sana, saya bertemu dengan Raditya Dika, yang saat itu baru saja menerbitkan Cinta Brontosaurus.

Workshop itu menyadarkan saya bahwa meskipun banyak peserta lebih berbakat, saya memiliki sesuatu yang tidak dimiliki semua orang: ketekunan dan keberanian untuk mencoba. Beberapa bulan kemudian, pada 2008, saya mengirimkan naskah ke penerbit Bukune, tempat Raditya Dika menjabat sebagai Pimpinan Redaksi. Lagi-lagi keberuntungan berpihak: naskah saya diterima, meskipun harus melalui proses revisi yang panjang. Setahun kemudian, novel pertama saya, Badung Kesarung, diterbitkan.

Novel itu sederhana, sebuah komedi tentang kehidupan pesantren. Namun, kekuatannya ada pada sudut pandangnya: sebagai santri, saya tahu bahwa di balik kesan serius pesantren, tersimpan banyak humor dan cerita ringan yang akrab dengan keseharian. Itulah yang saya coba tuangkan ke dalam tulisan.

Sejak saat itu, menulis menjadi jalan hidup saya. Dua tahun kemudian, pada 2012, buku kedua saya, Pintar Bahasa Inggris via Media Sehari-hari, diterbitkan. Saya percaya pada adagium: sesuatu yang terjadi sekali tidak akan terjadi dua kali, tapi sesuatu yang terjadi dua kali akan terjadi untuk ketiga kali. Kini, pada akhir 2024, saya telah menerbitkan 14 buku, baik melalui penerbit mayor maupun indie.

*


Jadi, Isabel, apakah ada satu momen spesifik yang membuat Om memutuskan untuk menulis buku? Mungkin tidak. Keputusan itu adalah hasil dari serangkaian peristiwa: pertemuan dengan Ahmad Rifai, kekaguman pada Hoeda Manis, dan dukungan dari teman-teman yang membaca karya awal. Semua itu membentuk fondasi perjalanan kepenulisan.

Semoga ini menjawab rasa ingin tahumu. Dan siapa tahu, suatu hari nanti, mungkin giliranmu yang duduk di workshop kepenulisan sebagai pembicara, menjawab pertanyaan yang sama dari penulis muda lainnya: “Kak Isabel, sejak kapan memutuskan untuk menulis buku?”

Dan saat itu tiba, aku yakin kamu akan menjawab dengan penuh percaya diri—jauh lebih tenang dibanding saat kamu pertama kali menjadi narasumber beberapa waktu lalu. 😊

Children Of Heaven, Kisah Tentang Anak-Anak Masa Depan

Dari awal bertemu di Stasiun Bekasi, suasana sudah penuh kehangatan. Saya menggoda Alvaro, teman anak saya, Nada, “Cie yang mau ke Jepang!”

Saya sengaja meninggikan suara, memastikan semua orang di sekitar mendengar. Alvaro hanya terkekeh kecil. Rambutnya yang berantakan mengingatkan saya pada karakter Ali dari novel serial Bumi - Tere Liye.

Alvaro Danish Sutanto bukan anak biasa. Dia baru saja memenangkan juara pertama kategori Roblox dalam National Coding Competition 2024, sebuah ajang bergengsi untuk siswa Indonesia berusia 8 hingga 16 tahun yang diadakan oleh Koding Next. Dengan usia yang baru 14 tahun, Alvaro berhasil menunjukkan bakatnya yang luar biasa. Hadiahnya? Sebuah perjalanan edutrip ke Jepang, pengalaman yang bagi banyak orang adalah mimpi yang menjadi nyata.

Namun, ada nada ragu dalam ucapannya, “Belum tahu nih, Om. Jadi atau nggak.”

Mama Alvaro, yang berdiri di samping Alvaro, dengan cepat menjelaskan, “Soalnya Al belum pernah pergi sendirian, apalagi sampai ke luar negeri. Kalau orang tua mau nemenin, biayanya juga nggak sedikit.”

Hadiah perjalanan itu memang hanya untuk pemenang, tanpa mencakup biaya pendamping. Saya mendengar sekilas ada getaran kekhawatiran yang terasa di suaranya. Ini bukan hanya tentang uang, tetapi tentang keberanian melepas anak ke dunia yang jauh lebih besar, dunia yang belum pernah ia jelajahi sebelumnya.

Alvaro tersenyum kecil, “Padahal aku berharapnya juara dua aja, Om. Dapat laptop, selesai urusan.” Kata-katanya terdengar sederhana, namun mengandung kejujuran yang menyentuh. Laptop itu akan diberikan untuk adik perempuannya, Alisha.

Adegan itu mengingatkan saya pada film Children of Heaven karya Majid Majidi, sebuah cerita menyentuh tentang Ali dan adiknya, Zahra, di tengah keterbatasan hidup mereka di Tehran, Iran. Suatu hari, Ali secara tidak sengaja kehilangan sepatu Zahra. Karena mereka tidak mampu membeli sepatu baru, mereka memutuskan untuk berbagi sepatu Ali. Mereka bergantian memakainya untuk pergi ke sekolah.

Ali kemudian mengetahui tentang sebuah lomba lari di sekolahnya yang menawarkan hadiah sepatu untuk juara ketiga. Dia memutuskan untuk ikut lomba tersebut dengan harapan bisa memenangkan sepatu baru untuk Zahra. Ali berlatih keras dan bertekad untuk mencapai tujuannya. Pada hari perlombaan, Ali berlari dengan sekuat tenaga. Namun, dia menghadapi dilema karena harus memastikan ia finis di posisi ketiga, bukan pertama atau kedua, untuk mendapatkan hadiah sepatu. Meskipun Ali berusaha keras untuk juara 3, dia akhirnya tetap finis di posisi pertama. Kemenangan yang manis sekaligus getir.

Sebagai orang tua, saya melihat kesamaan antara Alvaro dan Nada, anak saya. Mereka lahir dari keluarga sederhana, di mana setiap keberhasilan terasa seperti kemenangan besar, bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk keluarga. Terkadang saya bertanya-tanya, bagaimana jika saya memiliki uang satu triliun rupiah? Apakah segalanya akan menjadi lebih mudah? Namun, saya tahu uang tidak selalu menjamin kebahagiaan. Berita di televisi akhir-akhir ini mengajarkan kita bahwa keserakahan hanya membawa seseorang ke dalam lubang kesengsaraan yang lebih dalam. Itu menjadi pengingat nyata bahwa nilai-nilai yang sesungguhnya seperti pengorbanan, kejujuran, ketekunan juga kerja keras tidak bisa dibeli.

Sampai hari ini saya masih percaya bahwa bahwa anak-anak yang tumbuh dalam kesederhanaan akan memiliki karakter yang lebih kuat dan tangguh. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan seperti ini belajar untuk menghargai apa yang mereka miliki, berjuang untuk apa yang mereka inginkan, dan tetap rendah hati ketika mereka mencapai puncak. Mereka belajar bahwa kebahagiaan bukanlah tentang memiliki segalanya, tetapi tentang berbagi apa yang kita miliki dengan orang lain.

Dalam langkah Alvaro menuju Jepang, meski ragu dan penuh tantangan, saya melihat seorang anak yang tidak hanya cerdas, tetapi juga penuh kasih dan bijaksana. Ia adalah pengingat bahwa anak-anak seperti dia adalah harapan untuk masa depan. Harapan yang akan membawa nilai-nilai terbaik dalam perjalanan mereka meraih mimpi yang bahkan mungkin tak terjangkau oleh imajinasi kita, para orang tua.

Senin, 30 Desember 2024

52 Keping Waktu Saat Bersamamu

  1. Keriput di sudut luar matamu ketika tersenyum.
  2. Ketika kamu memelukku saat malam yang dingin.
  3. Caramu berusaha memahami perasaanku.
  4. Wangi parfum yang bercampur aroma tubuhmu.
  5. Ketika kamu tetap sabar saat Aira tantrum.
  6. Ketika kamu jujur dan langsung saat menginginkan sesuatu.
  7. Ketika kamu mendengarkan opiniku dengan penuh perhatian.
  8. Saat kamu memanggilku, “Abang sayang,”
  9. Ketika kamu mengusap lembut lenganku untuk membangunkanku di pagi hari.
  10. Aroma asam keringatmu.
  11. Ketika kamu menanamkan kebaikan dan integritas pada anak-anak.
  12. Ketangguhanmu saat melahirkan Nada.
  13. Antusiasmemu terhadap BTS.
  14. Caramu tetap tenang saat menghadapi situasi sulit.
  15. Ketika kamu mengirim pesan, "Aku kangen".
  16. Caramu mensyukuri hal-hal yang sederhana.
  17. Ketika kamu berbagi rahasia terdalammu denganku.
  18. Caramu mendengarkan cerita tentang hari yang berat di kantor.
  19. Ketika kamu memelukku dari belakang saat membonceng motor.
  20. Caramu merencanakan hadiah dan kejutan untukku.
  21. Ketika kamu memasak sup tim ikan favoritku.
  22. Caramu merawat dirimu sendiri.
  23. Ketika kamu menemaniku menonton langit pagi di puncak gunung Prau.
  24. Caramu menghargai usahaku.
  25. Ketika kamu berani menjadi diri sendiri.
  26. Caramu mengajarkan anak-anak untuk bersyukur dan menghargai hal-hal kecil dalam hidup.
  27. Dedikasimu saat menyiapkan presentasi kuliah.
  28. Caramu mendukung impian dan minat anak-anak.
  29. Ketika kamu merawatku saat aku sakit.
  30. Kerja kerasmu saat mendaki Gede Pangrango.
  31. Caramu mengingat detail kecil tentang diriku.
  32. Semangatmu ketika menceritakan sesuatu yang sedang kamu sukai.
  33. Ketulusanmu saat memberi hadiah kepada tetangga yang baru melahirkan.
  34. Ketika kamu tidak bosan untuk membacakan buku cerita sebelum tidur untuk anak-anak.
  35. Kecerdasanmu saat berbagi pengetahuan baru yang kamu pelajari.
  36. Ketika kamu membukakan pintu dan tersenyum saat aku pulang kerja.
  37. Caramu yang lucu saat berbicara dengan Moli.
  38. Kebaikan hati saat kamu menyedekahkan uang kepada pengamen jalanan.
  39. Caramu berbagi cerita saat kita duduk bersama di ruang tengah sambil makan camilan.
  40. Saat kamu mengecup tanganku sebelum aku pergi bekerja.
  41. Caramu berterima kasih atas bantuan kecil yang aku berikan.
  42. Pelukanmu saat menenangkan anak-anak ketika mereka menangis.
  43. Ketika kamu selalu membuat rumah kita terasa nyaman.
  44. Kepedulianmu saat kamu mengunjungi teman yang sedang sakit.
  45. Saat kamu membantu Safa mengerjakan pekerjaan sekolah dengan telaten.
  46. Saat kita berdiskusi tentang cara memperbaiki hubungan.
  47. Ketika kamu menyanyikan lagu favoritmu ditemani permainan gitarku.
  48. Caramu menghormati Mamah dan Ibu.
  49. Caramu merayakan pencapaian-pencapaian kecil anak-anak dengan antusias.
  50. Kecintaanmu pada petualangan dan perjalanan.
  51. Ketika kamu memaafkan saat aku melakukan kesalahan.
  52. Ketika kamu mencintaiku dengan segala kelebihan dan kekuranganku.

Menulis Hari Ini




Puluhan tahun lalu, sebelum era digital, saya pernah tinggal bersama nenek. Jika di rumah, selain membaca buku, sebagian besar waktu saya habiskan untuk mengobrol dengan beliau. Banyak yang ia ceritakan, tentang suami kedua yang hilang dibawa penjajah Belanda saat ia mengandung anak ketiga, tentang suami terakhir yang telah berpulang mendahului, tentang tetangga, atau tentang pikiran-pikiran acak lain. Dari sekian banyak obrolan, cerita yang paling sering ia bicarakan adalah tentang anak-anaknya: bapak, paman dan bibi saya, yang beberapa di antara mereka telah tinggal jauh di luar kota, di luar negeri, bahkan telah meninggal dunia. 

Ia sering fokus bercerita tentang kejadian tertentu yang ia anggap spesial. Ia bercerita seakan-akan itu pertama kali ia bercerita kepada saya, dengan gaya, intonasi, diksi, dan semangat yang selalu sama. Padahal, saya telah mendengar cerita itu berulang-ulang, dan sebenarnya ia pun tahu kalau ia telah menceritakan kepada saya berulang-ulang. Saya pikir begitulah derita menjadi tua, atau mungkin juga derita menjadi manusia; bahwa sebuah peristiwa dapat bertahan selamanya. 

Berbeda dengan generasi digital native yang tumbuh dengan media sosial sejak lahir, saya menyebut diri saya sebagai imigran yang sering merindukan kampung halaman tempat ingatan masa kecil sederhana dan sunyi tanpa gawai. Mungkin itu sebabnya saya lebih berpikir konservatif dan mengandalkan pengalaman sebelum era digital. Mungkin karena itu saya suka menulis kenangan, atau mungkin itu hanya menandakan kalau saya mulai seperti nenek saya. 

Era digital adalah era foto dan video, di mana kita sibuk merekam hingga lupa menikmati momen. Saya merasa di era media sosial banyak dari kita yang kehilangan jati diri. Itu adalah salah satu sebab mengapa saya menonaktifkan akun Instagram dan Facebook dalam beberapa tahun terakhir.

Bagaimanapun hebatnya digitalisasi, ia tidak bisa merekam perasaan. Foto dan video tidak bisa menangkap konteks dan semua hal yang di luar frame. Apa yang ada di sana tidak utuh, serta menyisakan ruang hampa yang tidak bisa diisi dengan like, follower, ketenaran, atau uang. 

Walaupun tidak sempurna, saya berusaha mengisi jeda dalam ruang kosong itu dengan menulis. Bagi saya, menulis adalah kegiatan sepi tanpa hingar bingar. Sebagian besar proses menulis saya habiskan dengan diam, membaca, dan merenung. Saat buku diterbitkan, mungkin ada gegap gempita sebentar, tetapi dalam proses menulis, hanya ada diri sendiri dan keresahan. 

Sejak dulu menulis membantu saya dalam banyak hal. Mungkin itu yang membuat saya tetap waras. Dulu, saya menulis diary untuk mencurahkan perasaan saat sedih, kangen, merasa tidak dicintai, atau merasa bodoh, sementara tidak ada yang bisa mendengarkan. 

Sampai sekarang saya masih tetap menulis. Mungkin saya akan menulis selamanya, atau mungkin hanya sampai besok pagi, saat tidak ada lagi yang ingin saya sampaikan, tapi tentu bukan hari ini. 

Hari ini adalah hari yang biasa, dan kebanyakan hari adalah hari biasa, bukan hari ulang tahun, bukan hari perayaan, bukan hari liburan. Kebanyakan hari adalah hari-hari biasa, maka saya menulis tentang hari-hari yang biasa. Tentang hari ini yang akan kita lalui sebentar lagi, tentang hari kemarin yang kita kenang, juga tentang esok yang bisa jadi ada, bisa jadi tidak. 

Tulisan-tulisan dalam buku ini adalah kumpulan surat dan puisi yang saya buat untuk istri saya sejak sebelum kami menikah. Saya tidak pernah menganggap hubungan kami adalah hubungan ideal apalagi sempurna, karena memang sampai kapan pun tidak akan ada hubungan seperti itu. Saya menulis ini untuk mengevaluasi diri, untuk memperingati pertambahan usia, atau mengingat hal yang sudah lewat. Pada awalnya saya tidak berharap surat dan puisi ini dibaca selain oleh istri, karena sebagian isinya sangat pribadi. Tapi sejujurnya, tulisan-tulisan ini bukan hanya tentang saya atau istri, tapi juga tentang hubungan dengan banyak orang. 

Cerita satu orang adalah cerita semua orang. Hubungan satu orang dapat berkaitan dengan hubungan banyak orang. Hari yang kita jalani adalah hari yang sama seperti hari-hari yang dijalani semua orang di seluruh dunia. Setiap kita selalu pada kondisi memperbaiki komunikasi dengan orang lain. Siapa pun kita, selama menjadi manusia, kita punya perasaan yang sama. Kita sama-sama manusia rapuh yang kacau, yang sedang belajar menerima rasa sakit.


Buku bisa dipesan di sini