Ia sering fokus bercerita tentang kejadian tertentu yang ia anggap spesial. Ia bercerita seakan-akan itu pertama kali ia bercerita kepada saya, dengan gaya, intonasi, diksi, dan semangat yang selalu sama. Padahal, saya telah mendengar cerita itu berulang-ulang, dan sebenarnya ia pun tahu kalau ia telah menceritakan kepada saya berulang-ulang. Saya pikir begitulah derita menjadi tua, atau mungkin juga derita menjadi manusia; bahwa sebuah peristiwa dapat bertahan selamanya.
Berbeda dengan generasi digital native yang tumbuh dengan media sosial sejak lahir, saya menyebut diri saya sebagai imigran yang sering merindukan kampung halaman tempat ingatan masa kecil sederhana dan sunyi tanpa gawai. Mungkin itu sebabnya saya lebih berpikir konservatif dan mengandalkan pengalaman sebelum era digital. Mungkin karena itu saya suka menulis kenangan, atau mungkin itu hanya menandakan kalau saya mulai seperti nenek saya.
Era digital adalah era foto dan video, di mana kita sibuk merekam hingga lupa menikmati momen. Saya merasa di era media sosial banyak dari kita yang kehilangan jati diri. Itu adalah salah satu sebab mengapa saya menonaktifkan akun Instagram dan Facebook dalam beberapa tahun terakhir.
Bagaimanapun hebatnya digitalisasi, ia tidak bisa merekam perasaan. Foto dan video tidak bisa menangkap konteks dan semua hal yang di luar frame. Apa yang ada di sana tidak utuh, serta menyisakan ruang hampa yang tidak bisa diisi dengan like, follower, ketenaran, atau uang.
Bagaimanapun hebatnya digitalisasi, ia tidak bisa merekam perasaan. Foto dan video tidak bisa menangkap konteks dan semua hal yang di luar frame. Apa yang ada di sana tidak utuh, serta menyisakan ruang hampa yang tidak bisa diisi dengan like, follower, ketenaran, atau uang.
Walaupun tidak sempurna, saya berusaha mengisi jeda dalam ruang kosong itu dengan menulis. Bagi saya, menulis adalah kegiatan sepi tanpa hingar bingar. Sebagian besar proses menulis saya habiskan dengan diam, membaca, dan merenung. Saat buku diterbitkan, mungkin ada gegap gempita sebentar, tetapi dalam proses menulis, hanya ada diri sendiri dan keresahan.
Sejak dulu menulis membantu saya dalam banyak hal. Mungkin itu yang membuat saya tetap waras. Dulu, saya menulis diary untuk mencurahkan perasaan saat sedih, kangen, merasa tidak dicintai, atau merasa bodoh, sementara tidak ada yang bisa mendengarkan.
Sampai sekarang saya masih tetap menulis. Mungkin saya akan menulis selamanya, atau mungkin hanya sampai besok pagi, saat tidak ada lagi yang ingin saya sampaikan, tapi tentu bukan hari ini.
Hari ini adalah hari yang biasa, dan kebanyakan hari adalah hari biasa, bukan hari ulang tahun, bukan hari perayaan, bukan hari liburan. Kebanyakan hari adalah hari-hari biasa, maka saya menulis tentang hari-hari yang biasa. Tentang hari ini yang akan kita lalui sebentar lagi, tentang hari kemarin yang kita kenang, juga tentang esok yang bisa jadi ada, bisa jadi tidak.
Tulisan-tulisan dalam buku ini adalah kumpulan surat dan puisi yang saya buat untuk istri saya sejak sebelum kami menikah. Saya tidak pernah menganggap hubungan kami adalah hubungan ideal apalagi sempurna, karena memang sampai kapan pun tidak akan ada hubungan seperti itu. Saya menulis ini untuk mengevaluasi diri, untuk memperingati pertambahan usia, atau mengingat hal yang sudah lewat. Pada awalnya saya tidak berharap surat dan puisi ini dibaca selain oleh istri, karena sebagian isinya sangat pribadi. Tapi sejujurnya, tulisan-tulisan ini bukan hanya tentang saya atau istri, tapi juga tentang hubungan dengan banyak orang.
Cerita satu orang adalah cerita semua orang. Hubungan satu orang dapat berkaitan dengan hubungan banyak orang. Hari yang kita jalani adalah hari yang sama seperti hari-hari yang dijalani semua orang di seluruh dunia. Setiap kita selalu pada kondisi memperbaiki komunikasi dengan orang lain. Siapa pun kita, selama menjadi manusia, kita punya perasaan yang sama. Kita sama-sama manusia rapuh yang kacau, yang sedang belajar menerima rasa sakit.
Buku bisa dipesan di sini