Saya sengaja meninggikan suara, memastikan semua orang di sekitar mendengar. Alvaro hanya terkekeh kecil. Rambutnya yang berantakan mengingatkan saya pada karakter Ali dari novel serial Bumi - Tere Liye.
Alvaro Danish Sutanto bukan anak biasa. Dia baru saja memenangkan juara pertama kategori Roblox dalam National Coding Competition 2024, sebuah ajang bergengsi untuk siswa Indonesia berusia 8 hingga 16 tahun yang diadakan oleh Koding Next. Dengan usia yang baru 14 tahun, Alvaro berhasil menunjukkan bakatnya yang luar biasa. Hadiahnya? Sebuah perjalanan edutrip ke Jepang, pengalaman yang bagi banyak orang adalah mimpi yang menjadi nyata.
Namun, ada nada ragu dalam ucapannya, “Belum tahu nih, Om. Jadi atau nggak.”
Mama Alvaro, yang berdiri di samping Alvaro, dengan cepat menjelaskan, “Soalnya Al belum pernah pergi sendirian, apalagi sampai ke luar negeri. Kalau orang tua mau nemenin, biayanya juga nggak sedikit.”
Hadiah perjalanan itu memang hanya untuk pemenang, tanpa mencakup biaya pendamping. Saya mendengar sekilas ada getaran kekhawatiran yang terasa di suaranya. Ini bukan hanya tentang uang, tetapi tentang keberanian melepas anak ke dunia yang jauh lebih besar, dunia yang belum pernah ia jelajahi sebelumnya.
Alvaro tersenyum kecil, “Padahal aku berharapnya juara dua aja, Om. Dapat laptop, selesai urusan.” Kata-katanya terdengar sederhana, namun mengandung kejujuran yang menyentuh. Laptop itu akan diberikan untuk adik perempuannya, Alisha.
Adegan itu mengingatkan saya pada film Children of Heaven karya Majid Majidi, sebuah cerita menyentuh tentang Ali dan adiknya, Zahra, di tengah keterbatasan hidup mereka di Tehran, Iran. Suatu hari, Ali secara tidak sengaja kehilangan sepatu Zahra. Karena mereka tidak mampu membeli sepatu baru, mereka memutuskan untuk berbagi sepatu Ali. Mereka bergantian memakainya untuk pergi ke sekolah.
Ali kemudian mengetahui tentang sebuah lomba lari di sekolahnya yang menawarkan hadiah sepatu untuk juara ketiga. Dia memutuskan untuk ikut lomba tersebut dengan harapan bisa memenangkan sepatu baru untuk Zahra. Ali berlatih keras dan bertekad untuk mencapai tujuannya. Pada hari perlombaan, Ali berlari dengan sekuat tenaga. Namun, dia menghadapi dilema karena harus memastikan ia finis di posisi ketiga, bukan pertama atau kedua, untuk mendapatkan hadiah sepatu. Meskipun Ali berusaha keras untuk juara 3, dia akhirnya tetap finis di posisi pertama. Kemenangan yang manis sekaligus getir.
Sebagai orang tua, saya melihat kesamaan antara Alvaro dan Nada, anak saya. Mereka lahir dari keluarga sederhana, di mana setiap keberhasilan terasa seperti kemenangan besar, bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk keluarga. Terkadang saya bertanya-tanya, bagaimana jika saya memiliki uang satu triliun rupiah? Apakah segalanya akan menjadi lebih mudah? Namun, saya tahu uang tidak selalu menjamin kebahagiaan. Berita di televisi akhir-akhir ini mengajarkan kita bahwa keserakahan hanya membawa seseorang ke dalam lubang kesengsaraan yang lebih dalam. Itu menjadi pengingat nyata bahwa nilai-nilai yang sesungguhnya seperti pengorbanan, kejujuran, ketekunan juga kerja keras tidak bisa dibeli.
Sampai hari ini saya masih percaya bahwa bahwa anak-anak yang tumbuh dalam kesederhanaan akan memiliki karakter yang lebih kuat dan tangguh. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan seperti ini belajar untuk menghargai apa yang mereka miliki, berjuang untuk apa yang mereka inginkan, dan tetap rendah hati ketika mereka mencapai puncak. Mereka belajar bahwa kebahagiaan bukanlah tentang memiliki segalanya, tetapi tentang berbagi apa yang kita miliki dengan orang lain.
Dalam langkah Alvaro menuju Jepang, meski ragu dan penuh tantangan, saya melihat seorang anak yang tidak hanya cerdas, tetapi juga penuh kasih dan bijaksana. Ia adalah pengingat bahwa anak-anak seperti dia adalah harapan untuk masa depan. Harapan yang akan membawa nilai-nilai terbaik dalam perjalanan mereka meraih mimpi yang bahkan mungkin tak terjangkau oleh imajinasi kita, para orang tua.
Alvaro tersenyum kecil, “Padahal aku berharapnya juara dua aja, Om. Dapat laptop, selesai urusan.” Kata-katanya terdengar sederhana, namun mengandung kejujuran yang menyentuh. Laptop itu akan diberikan untuk adik perempuannya, Alisha.
Adegan itu mengingatkan saya pada film Children of Heaven karya Majid Majidi, sebuah cerita menyentuh tentang Ali dan adiknya, Zahra, di tengah keterbatasan hidup mereka di Tehran, Iran. Suatu hari, Ali secara tidak sengaja kehilangan sepatu Zahra. Karena mereka tidak mampu membeli sepatu baru, mereka memutuskan untuk berbagi sepatu Ali. Mereka bergantian memakainya untuk pergi ke sekolah.
Ali kemudian mengetahui tentang sebuah lomba lari di sekolahnya yang menawarkan hadiah sepatu untuk juara ketiga. Dia memutuskan untuk ikut lomba tersebut dengan harapan bisa memenangkan sepatu baru untuk Zahra. Ali berlatih keras dan bertekad untuk mencapai tujuannya. Pada hari perlombaan, Ali berlari dengan sekuat tenaga. Namun, dia menghadapi dilema karena harus memastikan ia finis di posisi ketiga, bukan pertama atau kedua, untuk mendapatkan hadiah sepatu. Meskipun Ali berusaha keras untuk juara 3, dia akhirnya tetap finis di posisi pertama. Kemenangan yang manis sekaligus getir.
Sebagai orang tua, saya melihat kesamaan antara Alvaro dan Nada, anak saya. Mereka lahir dari keluarga sederhana, di mana setiap keberhasilan terasa seperti kemenangan besar, bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk keluarga. Terkadang saya bertanya-tanya, bagaimana jika saya memiliki uang satu triliun rupiah? Apakah segalanya akan menjadi lebih mudah? Namun, saya tahu uang tidak selalu menjamin kebahagiaan. Berita di televisi akhir-akhir ini mengajarkan kita bahwa keserakahan hanya membawa seseorang ke dalam lubang kesengsaraan yang lebih dalam. Itu menjadi pengingat nyata bahwa nilai-nilai yang sesungguhnya seperti pengorbanan, kejujuran, ketekunan juga kerja keras tidak bisa dibeli.
Sampai hari ini saya masih percaya bahwa bahwa anak-anak yang tumbuh dalam kesederhanaan akan memiliki karakter yang lebih kuat dan tangguh. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan seperti ini belajar untuk menghargai apa yang mereka miliki, berjuang untuk apa yang mereka inginkan, dan tetap rendah hati ketika mereka mencapai puncak. Mereka belajar bahwa kebahagiaan bukanlah tentang memiliki segalanya, tetapi tentang berbagi apa yang kita miliki dengan orang lain.
Dalam langkah Alvaro menuju Jepang, meski ragu dan penuh tantangan, saya melihat seorang anak yang tidak hanya cerdas, tetapi juga penuh kasih dan bijaksana. Ia adalah pengingat bahwa anak-anak seperti dia adalah harapan untuk masa depan. Harapan yang akan membawa nilai-nilai terbaik dalam perjalanan mereka meraih mimpi yang bahkan mungkin tak terjangkau oleh imajinasi kita, para orang tua.