Kiai mengenang kejadian di masjid beberapa saat lalu. Njay, yang tahu betul situasinya, berkomentar pelan, "Saya jadi nggak enak, Kiai. Soalnya makanan buat acara ini cuma sekadarnya."
Kiai tersenyum lembut, seolah mengendapkan setiap kata sebelum mengucapkannya. "Kesenangan orang beda-beda," ujar Kiai akhirnya, suaranya pelan tapi penuh makna. "Ada yang senang nyumbang makanan, ada yang senang nyumbang petasan. Petasan itu bukti senangnya dia sama acara ini. Itu buroqnya dia."
Kami yang mendengar jawaban itu terdiam, berusaha menangkap maksud Kiai. Buroq—kendaraan cahaya dalam kisah Isra Miraj, membawa Rasulullah melintasi langit dalam perjalanan spiritual yang agung. Kini metafora itu menjelma dalam kembang api yang tadi menyala, menjadi simbol kegembiraan manusia yang mungkin tampak sederhana, tapi punya makna dalam cara masing-masing.
Hujan semakin deras, namun dalam hati kami ada sesuatu yang menghangat—sebuah pemahaman baru bahwa setiap bentuk syukur punya caranya sendiri untuk sampai ke langit.
Allahumma shalli 'ala Muhammad