Saya menyambutnya di depan rumah dengan riang. Ia berusaha meniru keriangan itu, tapi gagal menyembunyikan bayangan gelap di wajahnya. Mata Hana berbicara lain—ada mendung yang menggantung.
"Ayo masuk!" kata saya, membuka gerbang selebar mungkin.
Di dalam, ia duduk dengan punggung yang tertunduk, tangan menggenggam lutut seakan takut terhempas oleh kenyataan yang semakin tidak ia kuasai. Lima belas menit berlalu, suaranya mulai gemetar.
Lalu tangis itu pecah.
"Seto menceraikan Hana. Pake... surat yang dikirim gosend."
Saya terdiam. Ia bercerita tentang talak tiga. Dalam kepala saya; itu bukan keputusan yang bisa diralat dengan permintaan maaf. Itu adalah vonis yang tidak menyisakan ruang untuk penyesalan.
Pagi itu, Seto pergi bekerja seperti biasa, Hana bercerita. Namun, sore harinya bukan dia yang pulang, melainkan sepucuk surat. Keputusan yang datang tanpa peringatan, menyisakan keheningan yang lebih tajam dari kemarahan.
Sejak malam itu, Hana mencari ke mana-mana. Kantor, rumah orang tua Seto, teman-teman yang mungkin tahu sesuatu. Setiap telepon tak berjawab, setiap pintu yang diketuk hanya membawa kepastian bahwa Seto menghilang.
Lima malam berlalu sebelum akhirnya Seto kembali. Tapi ia tidak datang sendiri. Bersamanya, keluarga dan Pak RT menemani sebagai saksi. Di tangannya, surat cerai dengan tanda tangannya di atas materai—tidak lagi sekadar ancaman, melainkan kepastian.
Malam itu, Hana berulang kali meminta maaf, memohon dengan suara yang pecah di antara isakan. Tangannya mencengkeram lengan Seto, seolah masih ada cara untuk menahan yang sudah lepas. Tapi Seto tak bergeming. Tak ada suara keras amarah, tak ada dendam—hanya keputusan yang tak bisa diubah.
Di depan semua orang yang hadir, Seto meminta maaf pada keluarga Hana. Ia bilang bahwa dalam delapan tahun hubungan rumah tangga mereka, ia merasa telah gagal menjadi imam yang baik, ia merasa gagal mendidik Hana.
Hana terus memeluknya, berharap kehangatan bisa mengubah segalanya. Namun, benang layang-layang yang sedang terbang tinggi sudah digunting, ada keputusan yang, sekali diucapkan, tak bisa ada jalan kembali.
Saya dan istri mengenal Seto cukup baik. Kami pernah berbagi kantor, berbagi cerita tentang hidup. Saya tahu dia orang yang logis, tapi logika manusia sering tersandung oleh kelemahan yang tak pernah kita akui.
Hana mulai bercerita lebih jauh—tentang delapan tahun tanpa anak, mertua yang tak pernah puas, pertengkaran yang kian menumpuk menjadi bom waktu. Semua luka kecil itu akhirnya meledak bersama surat yang ia pegang sore itu.
Saya dan istri hanya bisa mendengarkan. Menjadi saksi bagi rasa sakit yang tak bisa kami perbaiki, atau mungkin juga ia perbaiki.
"Jadi, Hana maunya apa?" tanya saya pelan.
"Hana mau balikan," katanya, suaranya masih bergetar. "Hana akan berubah. Hana akan minta maaf."
Saya menarik napas panjang, berusaha memilih kata yang tidak menyayat harapannya. "Talak tiga itu... gak main-main, Han. Kalau rujuk, syaratnya rumit. Kadang yang paling baik itu biarin waktu yang nyembuhin."
Hana menunduk, menyadari bahwa kenyataan tak semudah harapan. Tangisnya sudah mereda, tapi matanya tetap basah oleh kerinduan yang tidak tahu ke mana harus berlabuh.
"Seto udah tiga bulan gak pulang," bisiknya pelan. "Hana kangen..." Tangis itu kembali pecah, lebih lirih.
"Gak papa nangis," kata saya menenangkan. "Gak papa kangen. Nangis dan kangen aja sepuasnya. Tapi jangan nyerah, apalagi membenci diri sendiri. Hidup harus terus berjalan."
Kata-kata itu mungkin terasa hampa di telinganya, karena saya tahu tidak ada yang bisa benar-benar menenangkan seseorang yang hatinya hancur.
Setelah benar-benar tenang, ia kembali bertanya, "Kok cowok bisa gitu ya?"
Saya ingin tertawa, bukan karena itu lucu, tapi karena seringnya saya mendengar pertanyaan itu. Seolah semua laki-laki punya cara yang sama untuk mengatasi masalah —pergi tiba-tiba, keputusan yang tidak bisa dibantah, ketidakpedulian yang menyamar sebagai pengakuan kegagalan.
Tapi saya juga tahu, ini bukan cuma tentang Seto. Ini tentang luka yang lebih dalam, luka yang tak pernah benar-benar punya satu wajah.
Seto mungkin bukan lelaki jahat. Ia hanya lelaki yang kalah oleh sesuatu yang tak pernah ia tahu bagaimana menghadapinya: kegagalan. Dan saya tahu, tidak ada yang lebih menakutkan bagi seorang lelaki selain perasaan bahwa ia telah gagal—gagal sebagai suami, gagal memenuhi harapan keluarga, gagal menjadi sesuatu yang ia janjikan dulu.
Saya menarik napas. "Han, bukan cuma cowok yang bisa gitu. Semua manusia bisa gitu."
Ia diam, menunggu penjelasan lebih panjang.
"Kita semua punya cara bertahan masing-masing. Ada yang bertahan dengan menghadapi, ada yang bertahan dengan lari. Ada yang memilih diam karena takut menyakiti, tapi justru akhirnya lebih menyakiti."
Hana diam, matanya kosong tapi saya tahu pikirannya penuh. Mungkin mencoba memahami. Mungkin ingin membantah.
Sejujurnya, saya tidak tahu mana yang lebih menyakitkan: ditinggalkan karena seseorang tidak lagi mencintai kita, atau ditinggalkan karena seseorang terlalu pengecut untuk mengakui bahwa ia tidak bisa memperjuangkan kita?
Dalam kesadaran yang mulai tumbuh, Hana bertanya realistis, "Jadi kalau ada temen-temen yang tanya, Hana jawab gimana?
Saya tahu ini bukan sekadar soal menjawab pertanyaan orang lain. Ini tentang bagaimana ia menghadapi dunia yang kini melihatnya berbeda. Tentang bagaimana menerima kenyataan bahwa, suka atau tidak, akan selalu ada tatapan iba, bisik-bisik di belakang, atau mungkin yang lebih sering; penghakiman.
Ia takut akan label yang kini melekat padanya. Janda. Kata yang bagi banyak orang masih terdengar seperti cap, bukan sekadar status.
"Sebaiknya jujur," kata saya akhirnya. "Tapi gak harus cerita semuanya. Cerita ke yang Hana percaya aja."
Ia mengangguk, meski masih tampak ragu. Seakan sedang menguji apakah kata-kata saya cukup untuk meredakan beban yang menggumpal di dadanya.
Saya tidak tahu apakah ada cara benar untuk merespons kehilangan seperti ini. Tapi mungkin, seperti luka lain dalam hidup, ia hanya perlu waktu—waktu untuk menerima, waktu untuk menyusun ulang dirinya, waktu untuk menyadari bahwa 'gagal' bukan akhir dari segalanya.
Di luar, angin bertiup pelan, membawa suara azan magrib yang mengalun bersahutan. Dunia tetap berjalan, seperti tak ada yang terjadi. Bumi tetap berputar, matahari tetap terbit dan tenggelam. Sementara di sini, di dalam rumah kecil ini, ada hati yang remuk tanpa ada yang tahu.
Satu hal yang saya tahu adalah bahwa setiap orang membawa luka masing-masing yang kadang tidak terlihat: perceraian, kehilangan anak, dipecat dari pekerjaan, atau hidup tanpa pasangan—semua adalah medan perang batin yang tak pernah bisa dibandingkan. Dari luar, orang-orang tampak baik-baik saja, tersenyum dan bercanda. Tapi di dalam, mereka berperang melawan trauma.
Sampai akhirnya setiap manusia sadar bahwa segala cobaan adalah pengingat betapa kecil dan rapuhnya mereka. Bahwa tidak ada yang benar-benar kita miliki, karena pada akhirnya semua akan kembali pada-Nya. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.