Sekarang kamu sedang berada di pesantren. Kamu pernah bertanya, “Kenapa aku harus mondok?”
Bapak sudah mencoba menjelaskan berbagai alasan; tentang kemandirian, tentang karakter, tentang pengalaman, tentang ilmu. Tapi sebanyak apa pun alasan itu, bapak tahu, kamu tetap masih berkubang pada tanya yang sama. Karena ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata; harus dijalani dan dirasakan sendiri agar benar-benar dimengerti. Dan bapak yakin, sutu hari nanti kamu akan lebih mengerti.
Hari pertama melepasmu ke pesantren terasa berbeda dibanding saat kakak dulu berangkat. Entah kenapa, denganmu, rasanya justru lebih ringan. Bukan karena bapak lebih siap, tapi mungkin karena kamu lebih kuat dari yang kamu kira.
Kiyai Fachruddin, guru bapak sejak Tsanawiyah, pernah bilang bahwa antara orang tua dan anak ada ikatan ruhani yang halus, yang kadang tak perlu kata-kata. Ruh bir ruh, jiwa yang berbicara kepada jiwa. Apa yang kamu rasakan, bisa bapak rasakan juga. Dan juga sebaliknya.
Beberapa waktu lalu, bapak tahu kamu menangis karena sakit. Mungkin tubuhmu sedang diserang virus, ditambah lagi kamu sedang tidak dalam kondisi fit. Ibu juga cerita, kamu baru saja mengalami menstruasi pertamamu. Sedikit lebih lambat dari kakak, tapi ini bukan perlombaan, bukan perbandingan. Setiap tubuh punya waktunya sendiri untuk tumbuh dan berkembang.
Bapak membayangkan, sakit fisik, haid pertama, dan jauh dari rumah. Semuanya terjadi bersamaan. Tentu itu cukup untuk membuat siapapun merasa rapuh dan ingin pulang. Tapi kamu tidak pulang. Kamu memilih bertahan. Dan bagi bapak, itu tanda kekuatanmu.
Kita semua pernah merasa lemah, Teh. Tapi orang kuat bukanlah mereka yang tak pernah lemah atau jatuh. Orang kuat adalah mereka yang tetap berdiri, meski hatinya ingin menyerah.
Bapak dan ibu, gurumu juga buku-buku yang kamu baca, mungkin sudah banyak bicara tentang menstruasi. Bapak tidak akan mengulanginya di sini. Bapak hanya ingin menegaskan satu hal: menstruasi adalah tanda kedewasaan fisik. Artinya, tubuhmu memberi tahu dunia bahwa kamu kini seorang perempuan dewasa. Perempuan yang sehat.
Dan semoga, bersama tubuhmu yang sedang tumbuh, jiwamu pun ikut bertumbuh. Karena kedewasaan sejati bukan sekadar soal tubuh, tapi soal pilihan. Pilihan untuk menjaga diri. Pilihan untuk menghormati tubuhmu. Pilihan untuk menentukan batas-batas yang harus dihormati oleh orang lain.
Safa,
Kamu tahu, namamu dalam Kamus Besar Bahas Indonesia bermakna putih dan bersih. Begitulah juga dengan hatimu.
Suatu hari, ketika usiamu belum genap lima tahun, kamu selalu takut bertemu dengan orang-orang baru. Mungkin karena kamu bisa merasa aura negatif, atau kamu belum nyaman, atau memang kamu pemalu. Apapun itu, yang perlu kamu tahu, ketakutan itu menunjukkan bahwa kamu memiliki kepekaan terhadap hubungan sosial. Itu tandanya kamu mampu untuk membedakan antara lingkungan yang aman dan situasi baru yang membutuhkan kehati-hatian.
Sejak kecil, kamu selalu berhati-hati. Bertanya berkali-kali sebelum melakukan sesuatu; Bolehkah melakukan ini? Bolehkah begitu? Katamu, kamu takut melanggar, takut salah, takut berdosa.
Safa, dosa adalah sesuatu yang membuat hati tidak tenang. Dan hati yang bersih selalu bisa merasakannya. Itu sebabnya kamu tidak bisa tinggal diam ketika melihat ketidakadilan, atau ada yang tersakiti. Maka begitulah kamu sangat peduli pada Palestina, atau orang-orang yang menderita di sekitarmu.
Kepekaan sosial itu yang harus kamu pertahankan selama apapun kamu hidup. Itulah anugrah yang Tuhan berikan untukmu.
Kamu punya pitch perfect, kemampuan mengenali nada dengan presisi. Bahkan sebelum berusia sepuluh tahun, kamu sudah bisa memainkan lagu apa pun yang didengar hanya dengan piano mainan. Sampai sekarang, bapak masih tidak mengerti bagaimana membedakan Do dan Re, apalagi memainkannya dengan flawless di tuts piano. Kepekaan itu yang akhirnya membuatmu mudah belajar alat musik lain, seperti ukulele. Insting bermusikmu kuat. Dan bapak tidak akan heran jika suatu saat nanti kamu akan melahirkan karya yang mengagumkan.
Saat lulus TK, kamu mendapat peringkat Kecerdasan Naturalis. Bapak tidak terlalu mengerti bagaimana itu dinilai, mungkin karena kamu lebih senang berada di luar kelas, bermain di antara pohon-pohon. Bapak bahkan sering sengaja terlambat menjemputmu, karena tahu kamu tidak pernah ingin pulang buru-buru. Kamu senang bermain di lingkungan sekolah yang banyak pohon.
Tapi yang paling bapak ingat adalah ketika kamu menangis tanpa alasan, hanya untuk merasakan air matamu sendiri. Kamu berhenti sejenak, menyeka air mata dengan ujung telunjuk, menjilatnya, lalu kembali menangis. Berhenti lagi, menjilat lagi. Mungkin kecerdasan naturalismu memang berhubungan dengan eksperimen, dengan keingintahuan yang besar.
Sejak kecil kamu adalah anak yang sering gelisah. Bertanya banyak hal di malam-malam sunyi: Allah itu seperti apa? Sebelum ada Allah, apa yang ada? Ghofururrohim artinya apa?
Pertanyaan-pertanyaan itu menandakan kepekaanmu pada hal yang di luar dirimu sangat besar. Pertanyaan itu disamping menandakan proses aktif dalam belajar, juga menandakan kegelisahan terdalammu pada fitrah ketuhanan. Dan semakin kamu mengenal dirimu, semakin kamu akan mengenal Tuhanmu. Semakin kamu mengenal Tuhanmu, semakin luas cintamu pada kemanusiaan.
Bapak tidak pernah khawatir jika kemampuan literasimu tidak sebagus Kakak Nada atau Aira. Bahkan sejak kecil, bapak tidak pernah cemas jika kamu belum lancar membaca atau berhitung.
Sekarang, dengan semakin kamu dewasa, literasi dan numerasi tidak lagi menghawatirkan. Kamu sudah punya kecintaan pada cerita, pada literasi, dengan kecintaan yang tulus.
Seperti baru kemarin kamu minta lampu kamar tidak dimatikan karena takut gelap. Kemudian bapak tetap mematikan lampu tapi menemani sambil memelukmu di tempat tidurmu, sampai kita berdua tertidur. Bapak bangun tengah malam dengan tangan kram dan besoknya sebelah tangan bapak pegal seharian.
Anak yang dulu sulit menelan makanan sekarang sudah tumbuh menjadi gadis remaja. Anak dengan pertanyaan-pertanyaan kritis, dengan pikiran-pikiran yang unik.
Sebagai bapak, aku akan selalu menyayangimu sampai kapanpun. Kamu adalah anak dengan hati yang paling jernih, dan semoga akan tetap begitu selamanya. Aku tahu, setiap orang harus tumbuh, begitu juga aku harap kamu akan tumbuh. Namun ada hal-hal yang kamu punya dari sejak kamu mengenal manusia, yang sebaiknya tetap kamu jaga: kejujuran, kepekaan, rasa ingin tahu. Itu yang membuatmu istimewa.
Satu hal yang harus selalu kamu ingat: masih banyak hal mengagumkan tentang dirimu yang belum kamu temukan. Carilah. Kenali dirimu. Dan jika suatu hari nanti kamu merasa lelah, dunia menolakmu, atau tidak menghargaimu, ingatlah, akan selalu ada rumah dimana telingaku selalu bersedia mendengar keresahanmu, tanganku selalu terbuka untuk memeluk dan menerimamu apa adanya.
Apa adanya.
Semoga Allah selalu menolongmu, memberi kekuatan, keselamatan, dan kebahagiaan dalam hidupmu.
—Bapak.