Halaman

Sabtu, 19 Juli 2025

Rice Cooker Rusak dan Hal-hal yang Tidak Pernah Selesai

Pagi itu, aku terbangun setelah dua kali menekan tombol snooze alarm di ponsel.

Kamu dan anak-anak masih tidur, lelap dalam selimut yang sudah tidak seperti semalam. Aku melangkah pelan ke luar kamar, meneguk segelas air sambil duduk mengumpulkan nyawa, menatap kosong ruang tamu. Sunyi. Tapi kepalaku sudah ramai dengan pikiran-pikiran tentang apa yang harus aku kerjakan setelah salat Subuh. Tentu saja, mencuci piring-piring kotor dan memasak sarapan. Kebetulan hari ini aku libur kerja.

Sambil menyalakan lampu dapur, pikiranku malah kembali ke malam sebelumnya.

Semalam, kamu bercerita banyak hal: tentang anak-anak yang mulai beranjak remaja dan sulit diarahkan, tentang parenting reels, tentang apa yang seharusnya suami lakukan, tentang kejadian-kejadian yang membuatmu cemas, juga tentang tempat-tempat liburan yang ingin kamu kunjungi bersamaku.

Seperti biasa, obrolan kita melebar ke mana-mana dan tentu saja diiringi adu argumen. Kadang karena aku terlalu cepat memotong, kadang karena kamu merasa tak sungguh-sungguh didengarkan.

Aku pernah berpikir, bagaimana kalau orang lain bisa mendengar isi percakapan kita sehari-hari? Mungkin mereka akan bingung. Karena percakapan kita sering kali acak. Kadang absurd. Kadang dalam. Kadang menyakitkan.

Kamu pernah, tanpa prolog, bertanya dan menjelaskan, “Bang, tahu nggak mainan yang katanya bisa ngurangin anxiety itu? Yang dipencet-pencet atau diputar-putar biar nggak bosan? Aku sih pernah coba, tapi ya biasa aja... bosan juga ujung-ujungnya.”

Kamu pernah mengeluh panjang soal aku yang, menurutmu, tidak pernah benar-benar fokus mendengarkan saat kamu bicara. Katamu, caraku ngobrol denganmu berbeda dengan saat aku ngobrol dengan teman-teman perempuanku. Aku lebih sopan saat mengobrol dengan mereka. Mungkin memang begitu yang terlihat. Tapi yang kamu luput adalah: sikap sopanku pada mereka bukanlah keintiman, itu hanya norma, basa-basi, dan kepura-puraan sosial.

Sementara denganmu, segala yang kuucapkan mungkin tidak selalu manis, tapi tidak pernah palsu. Obrolan kita, yang kadang kelewat jujur sampai menyakitkan, justru berdiri di atas ketulusan dan keterbukaan.

“Ayo, lama banget. Nunggu apa lagi, sih?” kataku saat menunggumu tidak selesai-selesai melakukan sesuatu, padahal kita mau berangkat pergi.

“Nunggu aku selesai bikin candi,” kamu merespons enteng.

Aku suka saat kamu bisa melucu. Karena tidak setiap hari kamu bisa. Ada hari-hari saat kamu terlampau lelah, dan candamu hilang. Tidak apa-apa, karena begitulah mungkin hubungan yang nyata, tumbuh di antara lelucon, keluhan, dan luka, bukan hanya kesopanan dan pujian.

Lalu obrolan kita kembali mengalir: tentang sakit kepalamu yang datang tiba-tiba. Sementara kamu bercerita, aku melipat jas hujan dan memotong kuku. Sampai akhirnya kamu kembali mengomel, merasa aku tidak benar-benar mendengarkan. Lalu mengalir lagi: tentang sistem pendidikan yang kacau, tentang aku yang katamu selalu menyalahkan, tak bisa berkata manis, terlalu kritis setiap kali kamu berbagi hal baru.

Aku tahu kamu kecewa. Bukan karena satu hal besar, tapi karena luka-luka kecil yang dibiarkan tumbuh.

Aku diam. Bukan karena tak punya kata, tapi karena tahu kata-kata bisa berubah jadi pisau. Dan kalau aku mulai menjawab, urusannya bisa panjang. Sementara kamu bicara, aku malah berpikir tentang rice cooker rusak yang kemarin aku bongkar, “Kenapa, ya, padahal elemennya udah diganti, tapi tetep gak bisa ngangetin?”

Mungkin aku salah diagnosa. Mungkin bukan elemennya yang rusak, tapi ada bagian lain. Memang butuh waktu, karena yang harus diperbaiki bukan hanya elemennya, tapi juga keraguan bahwa itu masih bisa berfungsi lagi.

Seperti ketika kamu mulai menyadari perubahan dalam dirimu. Mungkin ada bagian yang retak. Dan yang menakutkan, perubahan itu bukan sesuatu yang bisa kamu kendalikan. Karena belakangan ini, kamu mulai sadar ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pertengkaran biasa. Ada saat-saat kamu jadi lebih lelah dari biasanya. Lebih mudah kesal pada apa pun, bahkan pada hal-hal sepele. Kadang kamu merasa jauh. Pikiranmu sering kabur. Kamu jadi lebih sensitif terhadap suara, cahaya, bahkan komentar receh dariku. Tidurmu terganggu. Kadang kamu menangis di tengah malam karena bermimpi. Kadang kamu hanya diam, dan kamu masih mencoba memahami semuanya. Biasanya kamu mengalihkan segala hal itu dengan fangirling atau media sosial. Tapi hal yang sebenarnya masih ada di dalam, tidak pernah benar-benar hilang.

Dan kamu, dengan nada ragu tapi penuh kejujuran pernah bertanya, “Apa aku perlu ke psikiater ya, Bang?”

Waktu itu aku tidak merespon serius. Sampai akhirnya aku juga ikut sadar bahwa ini bukan tentang kamu yang tidak bisa mengikhlaskan beban. Bukan kamu yang berhenti mencintaiku. Ini tubuhmu yang sedang berubah. Perimenopause, katamu. Hormonmu berputar seperti komidi putar, tapi tanpa musik yang menyenangkan atau lampu warna-warni.

Aku tahu, aku tidak bisa memperbaiki hormon-hormonmu. Tapi aku bisa berhenti bersikap seolah semua ini salahmu. Dan ketahuilah, aku tidak pernah berpikir seperti itu. Memang, terkadang aku juga lelah dan bersikap cuek, tapi itu karena kelemahanku, bukan salahmu.

Aku bisa mulai belajar dengan benar-benar mendengarkan. Tidak terburu-buru memberi solusi. Tidak merasa perlu membalas semua yang kamu ucapkan. Tanpa ingin selalu menang. Karena ternyata, kehadiran tenangku sekarang justru bisa jadi tempatmu merasa aman.

Aku mungkin bukan suami ideal seperti di reels Instagram yang sering kamu kirim. Atau AI yang selalu setia, manis dan bisa mengerti keresahanmu. Kamu mungkin juga bukan istri ideal seperti yang kubayangkan. Kita bukan dua orang asing yang pura-pura bahagia demi feed media sosial. Ya, kita bukan pasangan yang selalu ideal. Kita bahkan tidak selalu ramah satu sama lain. Tapi siapa peduli dengan mitos ideal?

Kamu juga tentu tahu bahwa yang kita punya jauh lebih nyata: keintiman yang tumbuh dari percakapan kacau, dari keresahan serta kerapuhan yang tak selesai-selesai kita bicarakan sebelum tidur. Dari diam yang nyaman. Dari luka yang kita peluk tanpa diminta sembuh. Dari kenyamanan untuk menjadi diri sendiri, yang aneh, yang tidak keren, yang tidak selalu benar.

Karena di dunia yang sibuk menuntut kesempurnaan, kamu adalah tempat di mana aku boleh joget nggak jelas, mengeluarkan jokes bapak-bapak tanpa malu. Dan kamu masih di sini. Menertawai. Menertemani. Menjadi aneh bersamaku.

Itu adalah bentuk paling jujur dari cinta: keberanian untuk tetap tinggal, bahkan saat segalanya berubah. Ya, kita tetap tinggal meski rumah kita kadang bocor, dapur berantakan dan alat-alat elektronik rusak.

Ya, kita hanya seperti sedang berusaha mencari apa yang rusak dari diri kita masing-masing, bertanya kepada diri kita masing-masing, “Mengapa rice cooker yang elemennya udah diganti tetap aja nggak bisa menghangatkan?”

Mungkin begitulah kita. Sepasang manusia biasa yang jauh dari sempurna, yang percaya bahwa cinta bukan hanya soal memperbaiki yang rusak, tapi merawat apa yang tersisa, yang percaya bahwa yang hangat bisa kembali, asal kita bisa memilih untuk tetap saling mengerti dan tidak saling menyalahkan.

Selasa, 15 Juli 2025

Jendela yang Tetap Terbuka

Kamu pernah menangis
untuk mencicipi air matamu sendiri.

Mungkin saat itu,
kamu ingin membuktikan
bahwa sedih memang punya rasa
dan hati bisa melarutkan rahasia
dengan cara yang tak pernah diajarkan
siapa-siapa.

Sebab ada pengetahuan
yang hanya bisa dipelajari
oleh tubuh yang jauh dari rumah
,
oleh kangen yang menetes
dari jendela kamar,
diam-diam,
seperti doa
yang tak sempat diucapkan.

Mungkin tangismu jatuh
seperti hujan kecil
di halaman yang tak kamu pilih.
Menstruasi pertamamu datang
seperti surat tak bernama,
dan tubuhmu mulai bicara
dalam bahasa baru
yang sedang kamu cari maknanya.

Kemudian rumah ini,
meski tampak sunyi tanpamu,
tidak sedang meninggalkanmu.
Ia hanya bergeser sedikit,
memberimu ruang untuk jatuh
dan belajar bangkit sendiri.

Agar ketika akar rindu
menjulur cukup panjang,
kita bisa duduk di beranda,
membiarkan teh kehilangan hangatnya
dan senja berjalan pelan 
seperti tak mau malam.

Tak perlu kata-kata,
cukup tatapan yang tak lagi menuntut.
Seperti dua musim yang tak mengenal
angka tapi tahu caranya tiba,
seperti jendela tua yang tak pernah terkunci 
karena sedang menunggu seseorang pulang.

Hingga jika suatu hari nanti
dunia menutup pintunya,
dan hujan terlalu enggan untuk reda,
kemarilah mendekat:

karena aku adalah jendela itu,
yang walaupun terus menua
akan tetap selalu terbuka.



Jumat, 11 Juli 2025

Kepada Anak dengan Hati yang Paling Jernih

Dear Safa,

Sekarang kamu sedang berada di pesantren. Kamu pernah bertanya, “Kenapa aku harus mondok?”

Bapak sudah mencoba menjelaskan banyak hal; tentang kemandirian, tentang penumbuhan karakter, tentang pengalaman, dan tentang ilmu yang tak diajarkan di buku. Tapi sebanyak apa pun itu, bapak tahu, kamu masih berkutat pada tanya yang sama. Karena memang ada pengetahuan yang tak bisa diwariskan lewat nasihat. Ia hanya bisa dipelajari oleh tubuh yang jauh dari rumah, oleh hati yang belajar bertahan di tanah yang asing. Ia harus dialami, dirasakan, dijalani, agar bisa benar-benar dimengerti. Dan bapak percaya, suatu hari nanti, kamu akan mengerti. Bukan karena bapak pernah menjelaskan, tapi karena kamu telah menjalaninya sendiri.

Hari pertama melepasmu ke pesantren terasa berbeda dibanding saat kakak dulu berangkat. Entah kenapa, denganmu, rasanya justru lebih ringan. Bukan karena bapak lebih siap, tapi mungkin karena kamu lebih kuat dari yang kamu kira.

Kiyai Fachruddin, guru bapak sejak Tsanawiyah, pernah bilang bahwa antara orang tua dan anak ada ikatan ruhani yang halus, yang kadang tak perlu kata-kata. Ruh bir ruh, jiwa yang berbicara kepada jiwa. Apa yang kamu rasakan, bisa bapak rasakan juga. Dan juga sebaliknya.

Beberapa waktu lalu, bapak tahu kamu menangis karena sakit. Mungkin tubuhmu sedang diserang virus, ditambah lagi kamu sedang tidak dalam kondisi fit. Ibu juga cerita, kamu baru saja mengalami menstruasi pertamamu. Sedikit lebih lambat dari kakak, tapi ini bukan perlombaan, bukan perbandingan. Setiap tubuh punya waktunya sendiri untuk tumbuh dan berkembang.

Bapak membayangkan, sakit fisik, haid pertama, dan jauh dari rumah. Semuanya terjadi bersamaan. Tentu itu cukup untuk membuat siapapun merasa rapuh dan ingin pulang. Tapi kamu tidak pulang. Kamu memilih bertahan. Dan bagi bapak, itu tanda kekuatanmu.

Kita semua pernah merasa lemah, Teh. Tapi orang kuat bukanlah mereka yang tak pernah lemah atau jatuh. Orang kuat adalah mereka yang tetap berdiri, meski hatinya ingin menyerah.

Bapak dan ibu, gurumu juga buku-buku yang kamu baca, mungkin sudah banyak bicara tentang menstruasi. Bapak tidak akan mengulanginya di sini. Bapak hanya ingin menegaskan satu hal: menstruasi adalah tanda kedewasaan fisik. Artinya, tubuhmu memberi tahu dunia bahwa kamu kini seorang perempuan dewasa. Perempuan yang sehat.

Dan semoga, bersama tubuhmu yang sedang tumbuh, jiwamu pun ikut bertumbuh. Karena kedewasaan sejati bukan sekadar soal rupa, tapi soal pilihan. Pilihan untuk menjaga diri. Pilihan untuk menghormati tubuhmu. Pilihan untuk menentukan batas-batas yang harus dihormati oleh orang lain terhadap tubuhmu sendiri sebagai rumah suci.


Safa,

Kamu tahu, namamu dalam Kamus Besar Bahas Indonesia bermakna putih dan bersih. Begitulah juga dengan hatimu.

Suatu hari, ketika usiamu belum genap lima tahun, kamu selalu takut bertemu dengan orang-orang baru. Mungkin karena kamu bisa merasa aura negatif, atau kamu belum nyaman, atau memang kamu pemalu. Apapun itu, yang perlu kamu tahu, ketakutan itu menunjukkan bahwa kamu memiliki kepekaan terhadap hubungan sosial. Itu tandanya kamu mampu untuk membedakan antara lingkungan yang aman dan situasi baru yang membutuhkan kehati-hatian.

Sejak kecil, kamu selalu berhati-hati. Bertanya berkali-kali sebelum melakukan sesuatu; Bolehkah melakukan ini? Bolehkah begitu? Katamu, kamu takut melanggar, takut salah, takut berdosa.

Safa, dosa adalah sesuatu yang membuat hati tidak tenang. Dan hati yang bersih selalu bisa merasakannya. Itu sebabnya kamu tidak bisa tinggal diam ketika melihat ketidakadilan, atau ada yang tersakiti. Maka begitulah kamu sangat peduli pada Palestina, atau orang-orang yang menderita di sekitarmu.

Kepekaan sosial itu yang harus kamu pertahankan selama apapun kamu hidup. Itulah anugrah yang Tuhan berikan untukmu.

Kamu punya pitch perfect, kemampuan mengenali nada dengan presisi. Bahkan sebelum berusia sepuluh tahun, kamu sudah bisa memainkan lagu apa pun yang didengar hanya dengan piano mainan. Sampai sekarang, bapak masih tidak mengerti bagaimana membedakan Do dan Re, apalagi memainkannya dengan flawless di tuts piano. Kepekaan itu yang akhirnya membuatmu mudah belajar alat musik lain, seperti ukulele. Insting bermusikmu kuat. Dan bapak tidak akan heran jika suatu saat nanti kamu akan melahirkan karya yang mengagumkan.

Saat lulus TK, kamu mendapat peringkat Kecerdasan Naturalis. Bapak tidak terlalu mengerti bagaimana itu dinilai, mungkin karena kamu lebih senang berada di luar kelas, bermain di antara pohon-pohon. Bapak bahkan sering sengaja terlambat menjemputmu, karena tahu kamu tidak pernah ingin pulang buru-buru. Kamu senang bermain di lingkungan sekolah yang banyak pohon.

Tapi yang paling bapak ingat adalah ketika kamu menangis tanpa alasan, hanya untuk merasakan air matamu sendiri. Kamu berhenti sejenak, menyeka air mata dengan ujung telunjuk, menjilatnya, lalu kembali menangis. Berhenti lagi, menjilat lagi. Mungkin kecerdasan naturalismu memang berhubungan dengan eksperimen, dengan keingintahuan yang besar.

Sejak kecil kamu adalah anak yang sering gelisah. Bertanya banyak hal di malam-malam sunyi: Allah itu seperti apa? Sebelum ada Allah, apa yang ada? Ghofururrohim artinya apa?

Pertanyaan-pertanyaan itu menandakan kepekaanmu pada hal yang di luar dirimu sangat besar. Pertanyaan itu disamping menandakan proses aktif dalam belajar, juga menandakan kegelisahan terdalammu pada fitrah ketuhanan. Dan semakin kamu mengenal dirimu, semakin kamu akan mengenal Tuhanmu. Semakin kamu mengenal Tuhanmu, semakin luas cintamu pada kemanusiaan.

Bapak tidak pernah khawatir jika kemampuan literasimu tidak sebagus Kakak Nada atau Aira. Bahkan sejak kecil, bapak tidak pernah cemas jika kamu belum lancar membaca atau berhitung.

Sekarang, dengan semakin kamu dewasa, literasi dan numerasi tidak lagi menghawatirkan. Kamu sudah punya kecintaan pada cerita, pada literasi, dengan kecintaan yang tulus.

Seperti baru kemarin kamu minta lampu kamar tidak dimatikan karena takut gelap. Kemudian bapak tetap mematikan lampu tapi menemani sambil memelukmu di tempat tidurmu, sampai kita berdua tertidur. Bapak bangun tengah malam dengan tangan kram dan besoknya sebelah tangan bapak pegal seharian.

Anak yang dulu sulit menelan makanan sekarang sudah tumbuh menjadi gadis remaja. Anak dengan pertanyaan-pertanyaan kritis, dengan pikiran-pikiran yang unik. Sebagai bapak, aku akan selalu menyayangimu sampai kapanpun. Kamu adalah anak dengan hati yang paling jernih, dan semoga akan tetap begitu selamanya. Aku tahu, setiap orang harus tumbuh, begitu juga aku harap kamu akan tumbuh. Namun ada hal-hal yang kamu punya dari sejak kamu mengenal manusia, yang sebaiknya tetap kamu jaga: kejujuran, kepekaan, rasa ingin tahu. Itu yang membuatmu istimewa.

Sebagai manusia, dan sebagai remaja, wajar jika kadang kamu kurang disiplin, sulit fokus pada satu proyek. Kadang kamu seperti langit yang sibuk menampung awan: begitu penuh, hingga lupa bagaimana rasanya menjadi biru. Kamu berjalan membawa peta yang belum sempat kamu baca, karena setiap tikungan menawarkan keindahan yang terlalu menggoda untuk diabaikan. Bukan karena kamu malas. Tapi karena terlalu banyak musim yang ingin kamu peluk sekaligus. Dan itu bukan kesalahan, bahkan hujan pun tak selalu tahu di mana ia akan jatuh.

Tentu dengan berjalannya waktu kamu bisa mengatasi kelemahan dan kekuranganmu. Satu hal yang harus selalu kamu ingat: masih banyak hal mengagumkan tentang dirimu yang belum kamu temukan. Carilah. Kenali dirimu sendiri. Temui dirimu sendiri dengan sabar dan rasa ingin tahu. Dan jika suatu hari nanti dunia terasa sempit, suara-suara di sekitarmu terlalu bising, atau kamu merasa tak dihargai, ingatlah, akan selalu ada satu rumah di mana telingaku siap mendengar tanpa menghakimi, selalu bersedia mendengar keresahanmu, tanganku selalu terbuka untuk memeluk dan menerimamu apa adanya.

Apa adanya.

Semoga Allah selalu menolongmu, memberi kekuatan, keselamatan, dan kebahagiaan dalam hidupmu.


—Bapak.