Halaman

Minggu, 18 Agustus 2019

Naturalis

Saya tidak terlalu mengerti apa kriteria penilaian sehingga selulus TK Safa diberi peringkat Kecerdasan Naturalis. Mungkin karena lebih sering dan senang bermain di luar kelas. Bahkan saya atau ibunya sering sengaja untuk terlambat menjemput Safa dari sekolah karena tahu ia tidak mau pulang buru-buru, ia senang bermain di lingkungan sekolah yang banyak pohon. Maka ketika beberapa hari yang lalu Safa dan kakaknya masuk UGD karena keracunan biji jarak, kami tidak terlalu kaget kalau ternyata Safa biang keladinya.

Dulu Safa pernah menangis tanpa alasan, hanya untuk merasakan air matanya sendiri. Ia berhenti menangis, menyeka air di sudut mata menggunakan ujung telunjuk, kemudian menjilatnya. Setelah itu ia meneruskan menangis, berhenti untuk menyeka air mata kemudian menjilatnya lagi.

Apakah Naturalis ada kaitannya dengan eksperimen dan besarnya keingintahuan? Saya tidak tahu. Yang saya mengerti adalah semua orang pernah kecil dan punya rasa ingin tahu yang berbeda-beda terhadap sesuatu. Sewaktu kecil saya sering bermain dengan biji jarak, entah untuk diadu, sebagai biji congklak, atau hal-hal lain, tapi tidak untuk dimakan. Apakah “Naturalisme” yang membuat Safa punya kesimpulan untuk memasukan benda seperti kotoran tikus itu ke dalam mulut?

Sebagai orang tua saya hanya khawatir ketika besar ia akan menjadi pawang hewan, keluar masuk hutan dan mati dimakan buaya. Istri saya punya kehawatiran lain, karena Safa santai dan tidak menurut waktu pertama kali disuruh berhenti memakan biji beracun itu, mungkin ia khawatir kalau Safa kelak menjadi Charles Darwin. Oke itu berlebihan.

Setiap anak punya keunikan masing-masing, kecerdasan yang berbeda-beda. Terkadang kompleks dan butuh seumur hidup untuk orang tua sadar dan mensyukuri anugerah itu.

#homeschoolingsafa #portofoliosafa

Sabtu, 17 Agustus 2019

Cerita Nada dan Safa

August 20, 2017

Bendera merah putih kami hilang. Saya dan istri sudah mencari kemana-mana bahkan sejak sebelum bulan Agustus, tapi nihil. Bendera di bulan kemerdekaan sangat penting di pasang di setiap rumah, istri saya bilang supaya kami tidak disangka komunis.

“Komunis itu apa pak?” Safa bertanya.

“Komunis itu hantu.” Saya menjawab seenaknya.

Safa yang mulai kritis kembali mencecar pertanyaan. Saya menjawab dengan istilah-istilah yang semakin tidak ia pahami; separatisme, hedonisme, arbirtrase internasional. Safa yang sadar akan keruwetan bapaknya hanya garuk-garuk kepala dan kembali main sepeda.

Dua hari sebelum 17 Agustus, bendera masih tidak ditemukan, istri saya akhirnya membeli bendera baru. Tentu warnanya merah dan putih, mau yang mana lagi? Tapi ternyata Safa tidak terlalu senang, ia bilang, “Aku maunya bendera warna-warni!”

Sebagai bapak yang bijak, saya menepuk halus pundaknya dan kami berdiskusi panjang tentang arti hidup dan hal-hal lain, pokoknya sampai ia lupa tentang bendera.


June 24, 2017

Respon anak-anak sehabis dikasih angpau lebaran:

Nada (7th): Trimakasih

Bee (5th): Ih, uang isinya

Safa (5th): Bu, ini emang uang beneran?


April 11, 2017

Safa: Bapak, dedek mau jadi dokter spesialis kandungan.

Saya: Iya, kamu boleh jadi apa aja yang kamu mau.

Safa: Boleh beli es krim?

Saya: Nggak!


April 11, 2017

Saya sedang buru-buru ingin pergi dan mencari dompet yang sebelumnya diletakan di atas meja.

“Dompet dimana ya?” kata saya ke seisi rumah.

“Dedek tau.” Safa menjawab, “Ayo ikut!” katanya sambil memberi gestur tangan minta diikuti.

Saya berjalan di belakangnya menuju tempat mainan. Ah, dompet saya dibuat mainan, pikir saya kemudian. Bersiap-siap memberi khutbah tentang meminta ijin sebelum menggunakan barang orang lain, mentaati orang tua dan tentang Malin Kundang.

Belum sempat saya ceramahi, dia bilang, “Ini dia!” sambil ngasih dompet kertas buatannya.

Saya mau sewot, tetapi ketawa.


April 10, 2017

Nada: Bapak tau gak nama neneknya Akila? Kakak tau!

Saya: Nggak.

Nada: Huruf awalnya B.

Saya: Bunga?

Nada: Salah.

Saya: Burahan. Badu. Budi.

Nada: Salah. Salah. Salah. Nyerah gak?

Saya: Nyerah.

Nada: Bu Endang!


September 6, 2016

“Kok Allah Maha Tahu?” Tanya Safa saat saya menyuapi makan.

Saya tahu itu pertanyaan pengalihan isu.

Anak-anak adalah makhluk yang bisa menelan apapun ke dalam temboloknya selain sayur. Memang nggak semua anak, tapi Safa adalah juaranya.

Kalau saya sedang nggak banyak kerjaan, biasanya saya tunggu ia mengunyah habis makanan yang sudah ada di dalam mulut. Tapi lebih sering, karena kurang sabar dan lapar, saya memakan semua sayur yang ada di piring.

Karena saya tahu itu pertanyaan iseng, maka saya diam.

Akhirnya Safa membuat kesimpulan, “Supaya bisa jagain kita ya?”

Saya manggut-manggut.

Saya takjub dengan keahliannya menahan makanan di dalam mulut, di ujung mulut lebih tepatnya.

“Kenapa sih nggak dimasukin ke tengah mulut makanannya?” Tanya istri saya ke Safa.

“Nanti ketelen.” Jawab Safa.

Allah Kariim.


September 4, 2016

Di kursi panjang sedang duduk dua orang tamu. Mereka sedang berbincang-bincang ketika Nada dengan suara lirih berbisik ke ibunya, “Kok bau kentut ya, bu?”

Serta merta Nada mencurigai Safa yang juga berada di ruangan itu, “Dedek kentut ya? Kan malu ada tamu."

“Ya udah jangan berisik.” Kata Safa dengan suara yang sama lirih, “dihirup aja nih kayak gini, biar cepet ilang.”

Safa menghisap nafas panjang.


September 3, 2016
Nada dan Safa sedang menggambar pemandangan dalam laut.

"Kok ikan ada pusernya? kata Safa ke kakaknya.

"Iya, ini putri duyung." Nada menjelaskan.

"Dede juga mau tambahin puser ah." Safa membuat bulatan kecil pada gambar yang ia buat.

Nada yang merasa aneh dengan gambar itu berkomentar, "Kok ikan paus ada pusernya?"

Dengan yakin Safa bilang, "Iyalah! Kan lagi telanjang!"


August 2, 2016

Bagi anak-anak, menangis tidak serta merta menandakan kesedihan, bisa juga keingintahuan.

Safa punya kebiasaan unik akhir-akhir ini; menangis hampir tanpa alasan. Sebenarnya ada; untuk merasakan air matanya sendiri.

Ia berhenti menangis, menyeka air di sudut mata menggunakan ujung telunjuk, kemudian menjilatnya. Setelah itu ia meneruskan menangis, berhenti untuk menyeka air mata kemudian menjilatnya lagi.

Kegiatan impulsif ini mengingatkan saya pada perkataan Dr. Seuss, “Don't cry because it's over, cry because it can be tasted.”

Kira-kira seperti itulah.


July 23, 2016

“Mungkin rusanya lagi pada lebaran.” Kata istri saya ke Safa dan Nada, ketika kami melewati taman yang biasanya ramai oleh rusa. Nada mungkin sudah mengerti guyonan ibunya, tapi Safa, saya nggak yakin.

Pagi itu Safa ikut salat Ied dan itu kali pertama ia ikut salat hari raya. Pagi-pagi benar ia sudah dibangunkan, dan sambil dipakaikan gaun baru, ibunya bilang, “Ini hari lebaran.”

Begitulah yang ia pahami kemudian, bahwa lebaran adalah salat ied dan salat ied adalah lebaran. Sesederhana itu. Maka ketika ibunya bilang bahwa para rusa mungkin sedang lebaran, ia menanggapinya dengan sangat serius.

“Memang rusa bisa berdiri?” kata Safa, “Nanti solatnya gimana?”

Butuh beberapa detik untuk saya berpikir dan akhirnya terbahak.

Sejak saat itu, salat di masjid tidak lagi sama. Setiap tasyahud akhir dan salam, saya selalu khawatir di samping saya telah duduk seekor rusa.


July 21, 2016

Saya dan Safa pergi ke minimarket untuk beli eskrim, dengan uang lebaran Safa. Di pintu kaca masuk minimarket, Safa menunjuk beberapa gambar, sambil bilang, “Ini helem dicoret. Ini foto dicoret.”

Sedikit bingung dengan satu buah gambar lagi, ia bertanya, “Ini apa, Pak? Kok gak dicoret?”

“Itu CCTV.”

“CTV itu apa?”

“Kamera. Tuh liat, di atas sana kameranya.” Kata saya menunjuk benda bulat di langit-langit, “Ayo kita dadah ke kamera.”

Kami dadah ke kamera.

“Kamera itu untuk memantau. Memperhatikan orang. Salah satunya supaya kalau ada yang mencuri ketahuan.” Saya menambah penjelasan.

Hari berikutnya, ketika pergi ke minimarket yang berbeda, sambil menunggu saya mengantri di kasir, dengan pede Safa menjelaskan hal serupa kepada Nada, kakaknya, “Ini gak boleh peke helem. Ini gak boleh foto.”

Ada satu gambar lagi yang ternyata tidak ia lihat sebelumnya, jaket dan tas dicoret. Masih dengan kepedean tingkat dewa, ia lantang bilang, “Ini gak boleh pake baju.”

Sedetik kemudian dia sadar ada yang nggak beres.

“Eh, bukan deh.” Katanya kemudian.

Tapi terlambat.

Gerombolan anak laki-laki, mungkin SD, yang sedang memperhatikan mereka sudah cekikikan.

Saya segera menggendong Safa keluar, takut ia benar-benar buka baju untuk menjaga harga diri.


July 12, 2016

Beberapa kejailan dan komentar Safa (4 tahun) yang masih bisa saya ingat.

Malam itu lampu kamar sudah dipadamkan. Nada, Safa dan istri saya bersiap tidur. Nada minta diantar ke kamar mandi untuk pipis. Istri saya bilang, biasanya kakak berani, ayo sana sendiri. Nada tetap merengek minta diantar, sementara ibunya tetap membujuk dia untuk berani.

“Ayo kak, dedek anterin.” Suara Safa antusias. Biasanya ia tulus mau menemani kakaknya, disamping juga memanfaatkan kesempatan keluar kamar untuk mengulur-ngulur waktu tidur.

Suasana baik-baik saja sampai tiba-tiba Nada berteriak menangis dari dalam kamar mandi disusul suara cekikikan Safa.

Ibunya melompat dari tempat tidur ingin melihat keadaan dan mendapati Safa berdiri di depan kamar mandi, telah mematikan lampu kamar mandi dari luar.

Ibunya marah. Safa tetap cekikikan.

*

Pada malam yang lain, saya kebagian menemani Nada dan Safa di tempat tidur, sementara ibunya sedang di luar kamar untuk satu urusan. Lampu sudah dipadamkan. Tiba-tiba Safa keluar kamar menghampiri ibunya.

Ketika masuk ke dalam kamar, ia bilang, “Kakak, dedek dikasih obat dong sama ibu!”

Kakaknya keluar kamar.

“Ibu kakak juga mau minum obat!” Nada menganggap yang dimaksud obat oleh Safa adalah multivitamin yang biasanya mereka minum. Tapi dia salah.

“Kakak mau minum Trombopop?” kata ibunya. Trombopop adalah obat oles untuk meredakan bengkak, memar, atau lebam. Beberapa menit sebelumnya Safa memang kejedot tembok.

Nada masuk kamar dengan wajah kesal dikerjai.

Safa cekikikan. Saya ikut cekikikan.

*

Di hari yang lain, Nada minta dijelaskan tentang robot. Saya menjelaskan dengan mudah, “Robot itu mesin yang bisa membantu manusia, bisa yang masih diawasi manusia atau yang bekerja sendiri. Jadi kipas angin itu robot, kulkas itu robot, ricecooker itu robot. Apa lagi?”

“Jam.” Nada menjawab.

“Betul.”

“Radio.” Nada lagi.

“Betul.”

“Motor.”

“Iya.”

Tiba-tiba Safa menyela, “Cing Titis!”

Saya dan Nada saling berpandangan sambil mengernyitkan dahi.

“Apasih dedek. Masa Cing Titis robot?” Nada berkomentar.

Safa tetap nggak ngerti apa kesalahnnya.

Minggu, 28 Juli 2019

Sebuah Cerita yang Baik untuk Dikenang

Kamu tahu apa yang paling ditakuti seorang penulis?

Kehilangan tangannya.

Tanganku patah dan sedang dalam masa penyembuhan ketika menulis ini. Aku memaksakan menulis dengan sebelah tangan, sebuah cerita tentang kita. Atau yang aku anggap begitu.

Suatu ketika, setelah beberapa minggu dipenjara karena menghianati Daenerys, dengan borgol di tangan, Tyrion didesak berbicara tentang siapa yang pantas menjadi raja atau ratu selanjutnya.

“I have nothing to do but think this past few weeks.” Katanya dengan suara berat, “About our bloody history. About the mistakes that we’ve made.”

Tyrion memandang Grey Worm yang segera memalingkan muka seperti muak dengan segala yang akan keluar dari mulut Tyrion.

“What’s unite people?” Tyrion bertanya retoris sambil berjalan lambat, “Armies? Gold? Flags?”
Ia menggeleng pelan kemudian menjawab sendiri, “Stories. There's nothing in the world more powerful than a good story. Nothing can stop it.”

Begitulah aku menyukai cerita yang bagus, dan GOT adalah salah satu cerita yang bisa kita suka bersama.

Telah banyak kisah yang kita nikmati bersama. Beberapa waktu yang belum lama, kita berada di dalam sebuah teater. Layar lebar di depan kita menampilkan credit title bersamaan dengan lampu-lampu di langit-langit yang perlahan-lahan menerang. Aku berdiri dan bertepuk tangan.

“Jangan malu-maluin, bang,” kamu berbisik sambil memegang lenganku. Menyadari banyak orang yang memperhatikan, aku menurut dan melemahkan tepukan tangan.

“Ayo, gak usah ditungguin. Gak bakal ada adegan tambahannya.” kamu menarik tanganku ke arah pintu keluar. Aku tahu itu, sebelumnya di loket karcis aku membaca, “Tidak ada Adegan Post-Credits di Avengers: Endgame!”

Sepertinya sudah lama sekali aku tidak standing applause di bioskop, terakhir kali aku melakukannya ketika kita belum saling kenal, ketika selesai menonton Quickie Express. Bukan karena tidak ada film yang bagus setelah itu, tapi karena aku jarang ke bioskop. Maksudnya, kita jarang ke bioskop. Rasanya aneh pergi ke sana tanpamu.

Jika dipikir-pikir, hubungan ini membuat beberapa hal terasa aneh. Betapa tidur, menonton, makan dan hal-hal lain yang biasa kita lakukan sendiri sebelumnya seperti terasa aneh jika kita lakukan sendiri sekarang.

Ada beberapa film yang memberikan kita kisah yang bagus, baik yang kita tonton bersama di dalam kamar setelah anak-anak tidur dengan laptop kecilmu atau di ruang sinema yang megah dengan popcorn yang mahal.

Diskusi setelah menonton memang sekarang ini menjadi pelepasan yang paling mudah. Namun ada sesuatu yang hilang, pembicaraan kita tentang buku. Suatu malam, aku tidak tahu harus bicara pada siapa tentang Aroma Karsa yang baru selesai kubaca. Aku bicara padamu tentang itu tapi kamu seperti tidak tertarik. Karena yang ingin aku bicarakan adalah perbandingan Madre, Perahu Kertas atau Filosofi Kopi. Buku-buku yang mungkin kamu belum baca semuanya.

Aku mengerti. Itu mungkin seperti ketika kamu sangat ingin berdiskusi tentang Reply 1997 dan 1988, tapi aku tidak kuat bahkan sekedar untuk menonton habis episode pertamanya. Aku mencoba dan sejujurnya tersiksa dengan bising suara para pemeran. Bagiku soundtrack dan suara karakter memberi kepuasan sendiri.

Aku suka beberapa soundtrack The Good Doctor versi Amerika, juga God Friended Me, juga seluruh logat British karakter GOT. Ser Davos dengan aksen flee bottom yang empuk di telinga. Atau Jon Snow yang berbicara menggunakan suara tenggorokan yang berat dengan sedikit desis diakhir tiap kalimat seperti berbisik. Atau bunyi Bahasa Valerian yang penuh huruf vokal dan R yang jelas dan bertenaga. Suara Varys atau Littlefinger akan mudah kita kenali walau dengan menutup mata.

Game of Throne itu unik. Jika dalam Avenger kita bisa dengan mudah menunjuk siapa pahlawan dan siapa penjahat —walaupun dalam beberapa adegan kita disajikan sisi humanis Thanos, dalam GOT batasan antara apa yang sekarang kita sebut kejahatan dan kebaikan menjadi sumir, karena menjelma menjadi penuh interpretasi. Karena memang serial itu tidak dimaksudkan untuk mengisnpirasi dan menyuapi kita tentang norma-norma, tapi lebih dalam, ia menumbuhkan kesadaran dan membuat kita bertanya kepada diri sendiri.

Kamu ingat saat King Slayer rela kehilangan tangan ketika menyelamatkan Brienne Tarth? Memang awalnya ia tidak tahu pergelangan tangan kanannya akan ditebas, tapi ia tidak pernah menyesal mendapatkan hal itu demi melindungi Brienne. Padahal tangan bagi kesatria adalah hal terpenting setelah kehormatan. Apa pertanyaan terdalam pada dirimu sendiri? Pertanyaanku adalah, apakah demi cinta seorang sanggup mengorbankan hal yang paling berharga?

Cerita-cerita itu hanya tinggal cerita. Apa yang mengendap dan mengusik kesadaran kita adalah hal lain yang lebih penting. Pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti cinta, ketakutan terbesar, pengorbanan, kebahagiaan dan hal-hal yang walaupun besar tapi sangat sederhana dan bisa kita temukan contohnya dalam keseharian.

Konon cinta bisa membuat bahagia, mengaduk perut dan membuat jantungmu seperti berlari karena semangat. Di sisi lain ia membuatmu rapuh seperti batang pohon yang getas dimakan usia, karena ketakutan akan kehilangan orang-orang yang kamu cintai. Ia juga butuh selaksa pengorbanan. Maka terimakasih untuk segala pengorbanan waktumu untuk merawatku, untuk bangun dan memasak sarapan dan bekal makan siang, untuk ketelatenan menjaga dan membersamai anak-anak, untuk segala doa yang kamu panjatkan demi keselamatan, kesehatan dan kebahagiaan kita. Terimakasih untuk setiap pelukan, perhatian dan semua ketulusan.

Sepanjang hidup, kita akan terus melatih diri untuk mengerti. Saling belajar dan memahami kerumitan pikiran masing-masing. Memaafkan dan mengikhlaskan kesalahan-kesalahan kecil, kekecewaan sendiri-sendiri. Mungkin aku akan menghadapi hal yang paling kutakuti. Mungkin kamu akan menghadapi hal yang paling kamu takuti. Karena begitulah cara kehidupan menguji kita. Jangan cemas, selama kita bersama, cerita kita akan menjadi kisah terbaik yang kelak akan kita kenang.

Rabu, 10 Juli 2019

Belajar Menjadi Manusia

Saya pertama mengenal Nath sekitar 16 tahun yang lalu. Sejak saat itu, saya selalu kagum padanya. Ia orang yang mudah bergaul dengan siapa saja, berpikiran terbuka dan enak diajak berdiskusi. Ia kawan kuliah paling pertama. Sebelum saya mengenal siapapun di kampus itu. Ketika saya drop out di smester tiga, kami mulai tidak saling bertemu. Walaupun begitu, hubungan kami tetap baik sampai hari ini.

Minggu lalu saya mengunjungi rumahnya di bilangan Depok untuk berlebaran. Ada hal menarik yang saya amati dari pertemuan singkat itu. Tidak pernah sekalipun saya melihat Nath memegang ponsel ketika berbicara dengan saya. Itu hal kecil yang sederhana namun membekas. Sikap menghormati lawan bicara dan tidak mengeluarkan ponsel saat percakapan adalah hal yang jarang saya temui. Sudah beberapa kali saya bertemu dan ngobrol dengan orang lain dan percakapan kami disela oleh ponsel. Bukan panggilan atau pesan penting, hanya hal-hal sepele.

Dan media sosial? Oh. Saya kehabisan kata-kata untuk laku-laku ajaib di sana, yang tidak akan kita temui di dunia nyata. 10 atau 15 tahun lalu, ketika belum ada media sosial, ketika penggunaan ponsel hanya untuk telpon dan SMS, hidup rasanya baik-baik saja. Mengapa sekarang menjadi rumit?

Ponsel adalah benda sialan yang kita cek sebelum dan setelah tidur. Seakan-akan kita akan mati tanpanya. Ya, saya tahu ada banyak hal yang memudahkan hidup yang datang bersamaan dengan teknologi, tapi juga ada hal-hal yang membuat kita berkurang menjadi manusia.

Mengobrol, bercanda, tertawa, persahabatan yang tulus dan persentuhan manusiawai secara langsung itulah yang menjadikan kita manusia. Hal yang tidak bisa digantikan oleh teknologi, dengan emotikon senyum atau tertawa. Dan pertemuan dengan Nath mengajarkan pada saya satu hal yang paling penting; untuk belajar menjadi manusia kembali.

Selasa, 11 Juni 2019

Aku, Kamu dan Angin yang Mengirimkan Doa Ibu Pertiwi

Sore kelabu, tidak ada semburat senja jingga pada langit dan awan-awan di ufuk barat. Semua redup bagai mendung kesedihan.

Ibu Pertiwi duduk di serambi rumah, memandangi lanskap di kejauhan. Wajahnya murung oleh duka. Masih terngiang di telinganya, ketika siang tadi, Malin, salah satu anak kembarnya membentak, “Ibu tidak usah ikut campur urusan kami! Kami sudah besar dan bisa mengurus diri sendiri!”

Butiran bening menelusup hampir tumpah di ujung mata. Ada yang tergores di dalam dada ibu. Lara yang menusuk dalam.

“Kami hanya ingin bermain di sungai hutan! Apa salahnya?” Kundang menyetujui apa yang sebelumnya dikatakan Malin.

Azan Magrib berkumandang bersamaan ketika kedua kakak beradik itu pulang dengan tanah, pakaian kotor dan luka lebam. Ketika bermain di sungai, kedua anak itu bertengkar tentang siapa yang layak duduk di batu tertinggi di hutan. Keduanya baku hantam sampai tersungkur di lumpur. Setelah terkapar mereka sadar ucapan ibu benar.

“Maafkan kami ibu,” keduanya bersimpuh memohon maaf.

Sempat terlintas di benak Ibu Pertiwi untuk mengutuk ke dua anaknya menjadi batu. Tapi senakal apapun anak, ibu tetaplah ibu. Masih menerima permohonan maaf mereka dengan hati lapang. Tidak peduli jika kesalahan itu dilakukan berulang-ulang. Hatinya adalah samudra, rela mengorbankan segalanya tanpa pamrih. Memberi seluruh harta kekayaan dan apa yang dipunya tanpa mengharap kembali.

Hujan menetes sederas gelap malam. Angin kencang berhembus menggoyang batang Sengon, menjatuhkan beberapa helai daun yang menarikan tarian alam, menyibak rambut indah Ibu Pertiwi.

Pagi datang membawa kesejukan setelah badai semalaman. Dari atas, segalanya terlihat menawan, gunung tinggi menjulang, sawah hijau terbentang, laut biru yang dalam. Bagai sebongkah tanah surga yang Tuhan berikan.

“Nak,” Ibu Pertiwi berpesan pada suatu pagi, “Bersatulah. Berlapang dada menerima segalanya. Tidak usah saling menyalahkan. Tidak usah bertengkar. Kalian adalah saudara.”

Di seberang samudra, Negeri Puing menatap nanar ujung laut sambil berkata seakan kepada sepi, “Jangan pernah membenci ibu, jangan merusak Tanah Air yang telah melahirkanmu. Karena kalau saja kamu tau apa yang ibu telah berikan, dan kamu kehilangan Tumpah Darah akibat perang saudara, maka penyesalan yang selalu datang terlambat tidak bisa mengembalikan semuanya.”

Puing tinggalah puing. Sejarah pengingat bagi yang terlupa.

Suara getar angin bertiup mengirimkan doa Ibu Pertiwi pada yang kuasa, “Ya Tuhan, berikanlah kekuatan, keteguhan hati untuk kami dalam mengahadapi semua ini. Lindungilah kami dari kekufuran duka lara.”

“Wahai Tuhan Maha Pemberi Petunjuk, Berikanlah pada hati kami kelapangan, keterbukaan untuk menerima segala kebaikan. Kuatkanlah kami untuk terus menemukan inspirasi untuk dapat mewujudkan segala keinginan kami.”

“Ya Robb, pertebal iman kami, berikan kekuatan bagi kami untuk berlaku adil, tidak mementingkan diri sendiri, dan ampunilah segala kesombongan dan keangkuhan kami.”


2019

Senin, 03 Juni 2019

Tantangan 2 Explorasi Online - Jurnal Pertanyaan dan Jawaban Tentang Pengamatan Perumahan Familia Urban #4 - oleh Nada Narendradhitta

Ini adalah pertanyaan yang ditulis bapakku tentang Pengamatan di Perumahan Familia Urban. Aku menjawabnya langsung dan bapakku yang menuliskannya:


Pertanyaan: Siapa yang punya ide untuk membuat pengamatan ke Familia Urban? Kalau itu ide kamu, mengapa punya ide itu?
Jawaban: itu ideku, karena aku suka dan penasaran mengapa sawah dijadikan Familia Urban.

Pertanyaan: Bagaimana cara mendapat informasi tentang Familia Urban?
Jawaban: Bertanya ke petugas pemasaran.

Pertanyaan: Apakah ada yg membantumu ketika mencari nformasi?
Jawaban: Aku dibantu bapakku, naik motor ke lokasi.

Pertanyaan: Mengapa kamu butuh bantuan? Jika suatu saat kamu tidak dibantu, apakah kamu bisa?
Jawaban: Aku mesti dibantu karena jaraknya agak jauh.

Pertanyaan: Siapa yang membuat pertanyaan ke petugas pemasaran Familia Urban? Apakah kamu menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu sendiri?
Jawaban: Yang membuat pertanyaan aku sendiri. Aku tidak menanyakan sendiri karena aku agak malu. Untuk bertanya, kadang-kadang aku berani kadang-kadang aku malu.

Pertanyaan: Apakah pertanyaan itu langsung disampaikan atau ada trik supaya tidak ketahuan kamu sedang melakukan pengamatan?
Jawaban: Ada trik supaya tidak ketahuan aku sedang melakukan pengamatan, pura-pura mau beli rumah.

Pertanyaan: Apakah informasi-informasi tersebut mudah didapatkan? Jika mudah jelaskan kenapa, jika sulit jelaskan apa kesulitannya?
Jawaban: Mudah karena dibantu dengan bapakku.

Pertanyaan: Bagaimana kamu mendapatkan informasi sejarah PT Timah? Siapa yang membantu atau menjelaskan? Dari mana sumber informasi tersebut?
Jawaban: Aku tahu informasi itu dapat dari internet dan juga bertanya-tanya.

Pertanyaan: Apakah vlog tersebut kamu yang buat atau ada yang bantu buat?
Jawaban: Dalam membuat video aku kadang-kadang aku dibantu ibuku, bapakku atau aku sendiri menggunakan tripod. Sementara yang mengedit video adalah bapakku.

Pertanyaan: Apa peran kamu dalam pembuatan video tersebut?
Jawaban: Aku yang menulis draft kata-katanya, yang mengecek tulisannya ibuku karena kadang ada kata-kata yang aku tidak tahu.

Pertanyaan: Apakah kamu mau belajar cara mengedit video? Kenapa?
Jawaban: Aku sebenarnya mau. Jadi bisa mengedit video sendiri kalau bapak atau ibuku lagi repot.

Pertanyaan: Setelah jadi video, apakah menurutmu ada yang kurang? Dari cara bicara, kualitas suara, kualitas gambar dan lain-lain?
Jawaban: Suaranya yang kurang. Kadang-kadang pelan, kadang-kadang kencang.

Pertanyaan: Apa hal yang paling sulit dari melakukan pengamatan tersebut? Dan hal apa yang paling menyenangkan?
Jawaban: Yang paling sulit adalah menulis laporannya karena ini pengalaman baru. Yang paling aku suka waktu interview dan jalan-jalan keliling.

Pertanyaan: Apakah kamu tertarik untuk mengamati hal lain yang ada di sekitarmu dan membuat laporan seperti ini?
Jawaban: Tidak ada sepertinya.

Pertanyaan: Pelajaran apa yang kamu dapat setelah melakukan pengamatan ini? Apakah ada hal baru yang kamu dapati dan pelajari?
Jawaban: Tadinya aku tidak berani bertanya dan tidak tahu cara bertanya tapi sekarang bisa. Aku baru tahu PT Timah dulunya punya penambangan timah, yang terletak jauh di Bangka Belitung. Aku belajar bahwa, semakin banyak perumahan, lingkungan jadi mudah banjir, macet dan lain-lain.

Sabtu, 01 Juni 2019

Jalan Thoriqoh Liverpuliyah

Liverpool kembali gagal. Netizen segera beraksi, kaus Mo Salah yang bertuliskan “Never Give Up” diedit menjadi “Never this Year”. Hal yang biasa bagi Qoffal yang telah kebal dengan olok-olokan tiap tahun. Karena sejatinya, memilih menjadi Liverpudlian berarti juga memilih kesengsaraan sebagai jalan hidup.

Padahal pada lima pertandingan terakhir LFC —dibandingkan dengan lima pertandingan akhir City—, ia cukup yakin tim kebanggaannya akan meraih gelar. Rupanya Liga Inggris musim ini seketat Liga Gojek, juara ditentukan sampai pertandingan akhir. Bedanya, di sana tidak ada PSSI, tempat seluruh suporter dan komentator bersatu menumpahkan kesalahan jika timnas Indonesia gagal juara. Itu persatuan yang langka. Di sana, jika timnas Inggris gagal mengangkat trofi, mereka berdebat sepanjang tahun menyalahkan apa saja, termasuk menyalahkan arah datangnya angin yang meniup poni David Beckham sehingga ia gagal pinalti.

38 pertandingan, 30 kali menang, 7 kali seri, 1 kali kalah, total poin 97. Capaian istimewa yang belum pernah sekalipun diraih sepanjang sejarah Liverpool. Sayang klub ini superior pada waktu yang keliru, hanya selisih 1 poin dari sang juara, Mancester City. 97 poin tanpa gelar juara itu ibarat punya tanah seribu hektar tapi di planet Merkurius. Bagus tapi sia-sia. Kita sama-sama tahu bahwa pujian setinggi apapun atas capain spesial itu tidak bisa disimpan di lemari trofi.

Tapi Liverpudlian garis keras tetap tidak peduli dan bangga, dan mengatakan kepada mereka untuk mulai mendukung kesebelasan lokal seperti Persibin Bintara sama juga dengan menyuruh pendukung Prabowo untuk menonton Atta Halilintar waktu kolab bareng Jokowi.

Saya kemudian memikirkan alasan yang mungkin bisa menjustifikasi kelakuan impulsif itu. Mungkin menurut Qoffal, menjadi Liverpudlian itu seperti menjadi seorang Salik yang menjalani Thariqoh Sufisme, yang lebih mementingkan kebebasan dan kesucian jiwa daripada sekedar kemenangan lahiriah. Demi menembus langit Ma’rifah dan Mahabbah.

Ia pernah menyebut saya atheis karena tidak punya klub kesayangan. Untuk tuduhan itu saya segera menjawab, “Agnostik, Bung. Atheis hanya untuk pendukung olahraga kerambol.”

Lagi pula, siapa yang mewajibkan penyuka bola harus punya klub favorit, kalau memang tidak ada klub yang menggetarkan. Tentu saya bisa menjejali diri dengan sejarah heroisme sebuah klub, sampai dipenuhi cinta, tapi mengutip Gibran, “Jangan mengira, bahwa kau dapat menentukan arah cinta, karena cinta, apabila kau telah dipilihnya, akan menentukan perjalanan hidupmu.”

Kita bisa melihat cinta jenis itu pada Bonek yang mengayuh sepeda berkilo-kilo meter demi menonton pertandingan dan menangis tersedu ketika menyanyikan Song for Pride. Atau pada pendukung capres yang unfriend kawan yang tidak se-"iman" karena malas melihat postingan mereka dan mati-matian membela junjungannya bahkan sampai memfitnah.

Tentu Gibran tidak selalu benar, karena cinta bisa datang dari Riyadloh. Itu konsep Tasawuf sederhana. Ya, mantan Internisti itu telah membuktikannya.

Suatu malam, di teras depan rumah, sambil menghembuskan asap rokok, setelah selesai bercerita tentang keinginannya membangun musola karena sakit hati tempat salatnya dipel di Masjid LDII, Qoffal bercerita tentang awal mula kecintaannya pada LFC, “Waktu ke kamar Bang Ofi tuh saya lihat ada poster Perpul. Dari situ dah saya mulai nyari tau. Saya beli dah tuh tabloid bola.”

“Buseng segitunya luh?” saya antusias sekaligus membayangkan kalau saja waktu itu Bang Ofi memasang poster Rhoma Irama, mungkin saat ini kita melihat Qoffal memelihara bulu dada sambil kemana-mana naik kuda memanggul gitar buntung.

“Lah bayangin, bang. Jaman segitu harga tabloid kan lumayan. Duit buat makan, rela saya kumpulin. Saya baca-baca, wah keren juga nih klub.”

Ia terus bercerita tentang jatuh bangun perjuangan mencintai. Ia tampaknya percaya pada frase bahwa sejarah akan berulang. Ia lupa bahwa nasib sial juga berulang. Sebagai tuan rumah dan pendengar yang baik, saya hanya bertanya sedikit yang selalu ia ladeni dengan penjelasan jembar. Kelakuan santri usia Mts yang banyak berpuasa demi membaca berita, yang lompat pagar pesantren demi pertandingan dini hari, adalah sungguh proses Tarbiyah yang melatih jiwa, selain juga memupuk mental untuk jadi atlit lompat pagar profesional yang kelak akan berlaga di olimpiade.

Mari perhatikan kembali, dalam lima pertandingan terakhir lalu, kita melihat Qoffal menampakkan tingkat relijiusitas. Lima pertandingan akhir ia Sombong, empat pertandingan akhir Taubat, tiga pertandingan akhir Sabar, dua pertandingan akhir Tawadhu, satu pertandingan akhir Zuhud, dan ketika tidak jadi juara ia Tawakkal. Bukankah itu identik dengan Maqom Spiritual sufisme?

Hanya sebagai seorang salik, ia harusnya lebih Waro’ dalam bersikap. Komposisi tim yang ia cela sebelum pertandingan dramatis melawan Barca nyatanya berhasil mempermalukan raksasa Catalunya itu 4 gol tanpa balas dan membuat Messi terlihat dongo.

Kemudian apakah mungkin Perpul juara Champion tahun ini? Tentu mudah, sungguh pertandingan ini sudah usai. Spurs bisa dikalahkan dengan enteng. Namun seperti yang saya katakan, Liverpool adalah klub yang sesuai bagi yang ingin mendalami sufisme, karena sekedar sombong saja Liverpudlian tidak mampu. Mereka selalu dibayangi Khouf dan Roja.

Ujian sebenarnya sebentar lagi akan datang, ketika ia mencapai Tajalli; juara Champion. Kalaupun tidak, ini akan menjadi ‘Aamul Hazmi seperti tahun-tahun sebelumnya, dan bagi seorang sufi yang diliputi kezuhudan, itu akan menjadi hal yang biasa saja.

Yaah, nangis dan dongkol dikit boleh lah.