Halaman

Sabtu, 19 Juli 2025

Rice Cooker Rusak dan Hal-hal yang Tidak Pernah Selesai

Pagi itu, aku terbangun setelah dua kali menekan tombol snooze alarm di ponsel.

Kamu dan anak-anak masih tidur, lelap dalam selimut yang sudah tidak seperti semalam. Aku melangkah pelan ke luar kamar, meneguk segelas air sambil duduk mengumpulkan nyawa, menatap kosong ruang tamu. Sunyi. Tapi kepalaku sudah ramai dengan pikiran-pikiran tentang apa yang harus aku kerjakan setelah salat Subuh. Tentu saja, mencuci piring-piring kotor dan memasak sarapan. Kebetulan hari ini aku libur kerja.

Sambil menyalakan lampu dapur, pikiranku malah kembali ke malam sebelumnya.

Semalam, kamu bercerita banyak hal: tentang anak-anak yang mulai beranjak remaja dan sulit diarahkan, tentang parenting reels, tentang apa yang seharusnya suami lakukan, tentang kejadian-kejadian yang membuatmu cemas, juga tentang tempat-tempat liburan yang ingin kamu kunjungi bersamaku.

Seperti biasa, obrolan kita melebar ke mana-mana dan tentu saja diiringi adu argumen. Kadang karena aku terlalu cepat memotong, kadang karena kamu merasa tak sungguh-sungguh didengarkan.

Aku pernah berpikir, bagaimana kalau orang lain bisa mendengar isi percakapan kita sehari-hari? Mungkin mereka akan bingung. Karena percakapan kita sering kali acak. Kadang absurd. Kadang dalam. Kadang menyakitkan.

Kamu pernah, tanpa prolog, bertanya dan menjelaskan, “Bang, tahu nggak mainan yang katanya bisa ngurangin anxiety itu? Yang dipencet-pencet atau diputar-putar biar nggak bosan? Aku sih pernah coba, tapi ya biasa aja... bosan juga ujung-ujungnya.”

Kamu pernah mengeluh panjang soal aku yang, menurutmu, tidak pernah benar-benar fokus mendengarkan saat kamu bicara. Katamu, caraku ngobrol denganmu berbeda dengan saat aku ngobrol dengan teman-teman perempuanku. Aku lebih sopan saat mengobrol dengan mereka. Mungkin memang begitu yang terlihat. Tapi yang kamu luput adalah: sikap sopanku pada mereka bukanlah keintiman, itu hanya norma, basa-basi, dan kepura-puraan sosial.

Sementara denganmu, segala yang kuucapkan mungkin tidak selalu manis, tapi tidak pernah palsu. Obrolan kita, yang kadang kelewat jujur sampai menyakitkan, justru berdiri di atas ketulusan dan keterbukaan.

“Ayo, lama banget. Nunggu apa lagi, sih?” kataku saat menunggumu tidak selesai-selesai melakukan sesuatu, padahal kita mau berangkat pergi.

“Nunggu aku selesai bikin candi,” kamu merespons enteng.

Aku suka saat kamu bisa melucu. Karena tidak setiap hari kamu bisa. Ada hari-hari saat kamu terlampau lelah, dan candamu hilang. Tidak apa-apa, karena begitulah mungkin hubungan yang nyata, tumbuh di antara lelucon, keluhan, dan luka, bukan hanya kesopanan dan pujian.

Lalu obrolan kita kembali mengalir: tentang sakit kepalamu yang datang tiba-tiba. Sementara kamu bercerita, aku melipat jas hujan dan memotong kuku. Sampai akhirnya kamu kembali mengomel, merasa aku tidak benar-benar mendengarkan. Lalu mengalir lagi: tentang sistem pendidikan yang kacau, tentang aku yang katamu selalu menyalahkan, tak bisa berkata manis, terlalu kritis setiap kali kamu berbagi hal baru.

Aku tahu kamu kecewa. Bukan karena satu hal besar, tapi karena luka-luka kecil yang dibiarkan tumbuh.

Aku diam. Bukan karena tak punya kata, tapi karena tahu kata-kata bisa berubah jadi pisau. Dan kalau aku mulai menjawab, urusannya bisa panjang. Sementara kamu bicara, aku malah berpikir tentang rice cooker rusak yang kemarin aku bongkar, “Kenapa, ya, padahal elemennya udah diganti, tapi tetep gak bisa ngangetin?”

Mungkin aku salah diagnosa. Mungkin bukan elemennya yang rusak, tapi ada bagian lain. Memang butuh waktu, karena yang harus diperbaiki bukan hanya elemennya, tapi juga keraguan bahwa itu masih bisa berfungsi lagi.

Seperti ketika kamu mulai menyadari perubahan dalam dirimu. Mungkin ada bagian yang retak. Dan yang menakutkan, perubahan itu bukan sesuatu yang bisa kamu kendalikan. Karena belakangan ini, kamu mulai sadar ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pertengkaran biasa. Ada saat-saat kamu jadi lebih lelah dari biasanya. Lebih mudah kesal pada apa pun, bahkan pada hal-hal sepele. Kadang kamu merasa jauh. Pikiranmu sering kabur. Kamu jadi lebih sensitif terhadap suara, cahaya, bahkan komentar receh dariku. Tidurmu terganggu. Kadang kamu menangis di tengah malam karena bermimpi. Kadang kamu hanya diam, dan kamu masih mencoba memahami semuanya. Biasanya kamu mengalihkan segala hal itu dengan fangirling atau media sosial. Tapi hal yang sebenarnya masih ada di dalam, tidak pernah benar-benar hilang.

Dan kamu, dengan nada ragu tapi penuh kejujuran pernah bertanya, “Apa aku perlu ke psikiater ya, Bang?”

Waktu itu aku tidak merespon serius. Sampai akhirnya aku juga ikut sadar bahwa ini bukan tentang kamu yang tidak bisa mengikhlaskan beban. Bukan kamu yang berhenti mencintaiku. Ini tubuhmu yang sedang berubah. Perimenopause, katamu. Hormonmu berputar seperti komidi putar, tapi tanpa musik yang menyenangkan atau lampu warna-warni.

Aku tahu, aku tidak bisa memperbaiki hormon-hormonmu. Tapi aku bisa berhenti bersikap seolah semua ini salahmu. Dan ketahuilah, aku tidak pernah berpikir seperti itu. Memang, terkadang aku juga lelah dan bersikap cuek, tapi itu karena kelemahanku, bukan salahmu.

Aku bisa mulai belajar dengan benar-benar mendengarkan. Tidak terburu-buru memberi solusi. Tidak merasa perlu membalas semua yang kamu ucapkan. Tanpa ingin selalu menang. Karena ternyata, kehadiran tenangku sekarang justru bisa jadi tempatmu merasa aman.

Aku mungkin bukan suami ideal seperti di reels Instagram yang sering kamu kirim. Atau AI yang selalu setia, manis dan bisa mengerti keresahanmu. Kamu mungkin juga bukan istri ideal seperti yang kubayangkan. Kita bukan dua orang asing yang pura-pura bahagia demi feed media sosial. Ya, kita bukan pasangan yang selalu ideal. Kita bahkan tidak selalu ramah satu sama lain. Tapi siapa peduli dengan mitos ideal?

Kamu juga tentu tahu bahwa yang kita punya jauh lebih nyata: keintiman yang tumbuh dari percakapan kacau, dari keresahan serta kerapuhan yang tak selesai-selesai kita bicarakan sebelum tidur. Dari diam yang nyaman. Dari luka yang kita peluk tanpa diminta sembuh. Dari kenyamanan untuk menjadi diri sendiri, yang aneh, yang tidak keren, yang tidak selalu benar.

Karena di dunia yang sibuk menuntut kesempurnaan, kamu adalah tempat di mana aku boleh joget nggak jelas, mengeluarkan jokes bapak-bapak tanpa malu. Dan kamu masih di sini. Menertawai. Menertemani. Menjadi aneh bersamaku.

Itu adalah bentuk paling jujur dari cinta: keberanian untuk tetap tinggal, bahkan saat segalanya berubah. Ya, kita tetap tinggal meski rumah kita kadang bocor, dapur berantakan dan alat-alat elektronik rusak.

Ya, kita hanya seperti sedang berusaha mencari apa yang rusak dari diri kita masing-masing, bertanya kepada diri kita masing-masing, “Mengapa rice cooker yang elemennya udah diganti tetap aja nggak bisa menghangatkan?”

Mungkin begitulah kita. Sepasang manusia biasa yang jauh dari sempurna, yang percaya bahwa cinta bukan hanya soal memperbaiki yang rusak, tapi merawat apa yang tersisa, yang percaya bahwa yang hangat bisa kembali, asal kita bisa memilih untuk tetap saling mengerti dan tidak saling menyalahkan.

Selasa, 15 Juli 2025

Jendela yang Tetap Terbuka

Kamu pernah menangis
untuk mencicipi air matamu sendiri.

Mungkin saat itu,
kamu ingin membuktikan
bahwa sedih memang punya rasa
dan hati bisa melarutkan rahasia
dengan cara yang tak pernah diajarkan
siapa-siapa.

Sebab ada pengetahuan
yang hanya bisa dipelajari
oleh tubuh yang jauh dari rumah
,
oleh kangen yang menetes
dari jendela kamar,
diam-diam,
seperti doa
yang tak sempat diucapkan.

Mungkin tangismu jatuh
seperti hujan kecil
di halaman yang tak kamu pilih.
Menstruasi pertamamu datang
seperti surat tak bernama,
dan tubuhmu mulai bicara
dalam bahasa baru
yang sedang kamu cari maknanya.

Kemudian rumah ini,
meski tampak sunyi tanpamu,
tidak sedang meninggalkanmu.
Ia hanya bergeser sedikit,
memberimu ruang untuk jatuh
dan belajar bangkit sendiri.

Agar ketika akar rindu
menjulur cukup panjang,
kita bisa duduk di beranda,
membiarkan teh kehilangan hangatnya
dan senja berjalan pelan 
seperti tak mau malam.

Tak perlu kata-kata,
cukup tatapan yang tak lagi menuntut.
Seperti dua musim yang tak mengenal
angka tapi tahu caranya tiba,
seperti jendela tua yang tak pernah terkunci 
karena sedang menunggu seseorang pulang.

Hingga jika suatu hari nanti
dunia menutup pintunya,
dan hujan terlalu enggan untuk reda,
kemarilah mendekat:

karena aku adalah jendela itu,
yang walaupun terus menua
akan tetap selalu terbuka.



Jumat, 11 Juli 2025

Kepada Anak dengan Hati yang Paling Jernih

Dear Safa,

Sekarang kamu sedang berada di pesantren. Kamu pernah bertanya, “Kenapa aku harus mondok?”

Bapak sudah mencoba menjelaskan banyak hal; tentang kemandirian, tentang penumbuhan karakter, tentang pengalaman, dan tentang ilmu yang tak diajarkan di buku. Tapi sebanyak apa pun itu, bapak tahu, kamu masih berkutat pada tanya yang sama. Karena memang ada pengetahuan yang tak bisa diwariskan lewat nasihat. Ia hanya bisa dipelajari oleh tubuh yang jauh dari rumah, oleh hati yang belajar bertahan di tanah yang asing. Ia harus dialami, dirasakan, dijalani, agar bisa benar-benar dimengerti. Dan bapak percaya, suatu hari nanti, kamu akan mengerti. Bukan karena bapak pernah menjelaskan, tapi karena kamu telah menjalaninya sendiri.

Hari pertama melepasmu ke pesantren terasa berbeda dibanding saat kakak dulu berangkat. Entah kenapa, denganmu, rasanya justru lebih ringan. Bukan karena bapak lebih siap, tapi mungkin karena kamu lebih kuat dari yang kamu kira.

Kiyai Fachruddin, guru bapak sejak Tsanawiyah, pernah bilang bahwa antara orang tua dan anak ada ikatan ruhani yang halus, yang kadang tak perlu kata-kata. Ruh bir ruh, jiwa yang berbicara kepada jiwa. Apa yang kamu rasakan, bisa bapak rasakan juga. Dan juga sebaliknya.

Beberapa waktu lalu, bapak tahu kamu menangis karena sakit. Mungkin tubuhmu sedang diserang virus, ditambah lagi kamu sedang tidak dalam kondisi fit. Ibu juga cerita, kamu baru saja mengalami menstruasi pertamamu. Sedikit lebih lambat dari kakak, tapi ini bukan perlombaan, bukan perbandingan. Setiap tubuh punya waktunya sendiri untuk tumbuh dan berkembang.

Bapak membayangkan, sakit fisik, haid pertama, dan jauh dari rumah. Semuanya terjadi bersamaan. Tentu itu cukup untuk membuat siapapun merasa rapuh dan ingin pulang. Tapi kamu tidak pulang. Kamu memilih bertahan. Dan bagi bapak, itu tanda kekuatanmu.

Kita semua pernah merasa lemah, Teh. Tapi orang kuat bukanlah mereka yang tak pernah lemah atau jatuh. Orang kuat adalah mereka yang tetap berdiri, meski hatinya ingin menyerah.

Bapak dan ibu, gurumu juga buku-buku yang kamu baca, mungkin sudah banyak bicara tentang menstruasi. Bapak tidak akan mengulanginya di sini. Bapak hanya ingin menegaskan satu hal: menstruasi adalah tanda kedewasaan fisik. Artinya, tubuhmu memberi tahu dunia bahwa kamu kini seorang perempuan dewasa. Perempuan yang sehat.

Dan semoga, bersama tubuhmu yang sedang tumbuh, jiwamu pun ikut bertumbuh. Karena kedewasaan sejati bukan sekadar soal rupa, tapi soal pilihan. Pilihan untuk menjaga diri. Pilihan untuk menghormati tubuhmu. Pilihan untuk menentukan batas-batas yang harus dihormati oleh orang lain terhadap tubuhmu sendiri sebagai rumah suci.


Safa,

Kamu tahu, namamu dalam Kamus Besar Bahas Indonesia bermakna putih dan bersih. Begitulah juga dengan hatimu.

Suatu hari, ketika usiamu belum genap lima tahun, kamu selalu takut bertemu dengan orang-orang baru. Mungkin karena kamu bisa merasa aura negatif, atau kamu belum nyaman, atau memang kamu pemalu. Apapun itu, yang perlu kamu tahu, ketakutan itu menunjukkan bahwa kamu memiliki kepekaan terhadap hubungan sosial. Itu tandanya kamu mampu untuk membedakan antara lingkungan yang aman dan situasi baru yang membutuhkan kehati-hatian.

Sejak kecil, kamu selalu berhati-hati. Bertanya berkali-kali sebelum melakukan sesuatu; Bolehkah melakukan ini? Bolehkah begitu? Katamu, kamu takut melanggar, takut salah, takut berdosa.

Safa, dosa adalah sesuatu yang membuat hati tidak tenang. Dan hati yang bersih selalu bisa merasakannya. Itu sebabnya kamu tidak bisa tinggal diam ketika melihat ketidakadilan, atau ada yang tersakiti. Maka begitulah kamu sangat peduli pada Palestina, atau orang-orang yang menderita di sekitarmu.

Kepekaan sosial itu yang harus kamu pertahankan selama apapun kamu hidup. Itulah anugrah yang Tuhan berikan untukmu.

Kamu punya pitch perfect, kemampuan mengenali nada dengan presisi. Bahkan sebelum berusia sepuluh tahun, kamu sudah bisa memainkan lagu apa pun yang didengar hanya dengan piano mainan. Sampai sekarang, bapak masih tidak mengerti bagaimana membedakan Do dan Re, apalagi memainkannya dengan flawless di tuts piano. Kepekaan itu yang akhirnya membuatmu mudah belajar alat musik lain, seperti ukulele. Insting bermusikmu kuat. Dan bapak tidak akan heran jika suatu saat nanti kamu akan melahirkan karya yang mengagumkan.

Saat lulus TK, kamu mendapat peringkat Kecerdasan Naturalis. Bapak tidak terlalu mengerti bagaimana itu dinilai, mungkin karena kamu lebih senang berada di luar kelas, bermain di antara pohon-pohon. Bapak bahkan sering sengaja terlambat menjemputmu, karena tahu kamu tidak pernah ingin pulang buru-buru. Kamu senang bermain di lingkungan sekolah yang banyak pohon.

Tapi yang paling bapak ingat adalah ketika kamu menangis tanpa alasan, hanya untuk merasakan air matamu sendiri. Kamu berhenti sejenak, menyeka air mata dengan ujung telunjuk, menjilatnya, lalu kembali menangis. Berhenti lagi, menjilat lagi. Mungkin kecerdasan naturalismu memang berhubungan dengan eksperimen, dengan keingintahuan yang besar.

Sejak kecil kamu adalah anak yang sering gelisah. Bertanya banyak hal di malam-malam sunyi: Allah itu seperti apa? Sebelum ada Allah, apa yang ada? Ghofururrohim artinya apa?

Pertanyaan-pertanyaan itu menandakan kepekaanmu pada hal yang di luar dirimu sangat besar. Pertanyaan itu disamping menandakan proses aktif dalam belajar, juga menandakan kegelisahan terdalammu pada fitrah ketuhanan. Dan semakin kamu mengenal dirimu, semakin kamu akan mengenal Tuhanmu. Semakin kamu mengenal Tuhanmu, semakin luas cintamu pada kemanusiaan.

Bapak tidak pernah khawatir jika kemampuan literasimu tidak sebagus Kakak Nada atau Aira. Bahkan sejak kecil, bapak tidak pernah cemas jika kamu belum lancar membaca atau berhitung.

Sekarang, dengan semakin kamu dewasa, literasi dan numerasi tidak lagi menghawatirkan. Kamu sudah punya kecintaan pada cerita, pada literasi, dengan kecintaan yang tulus.

Seperti baru kemarin kamu minta lampu kamar tidak dimatikan karena takut gelap. Kemudian bapak tetap mematikan lampu tapi menemani sambil memelukmu di tempat tidurmu, sampai kita berdua tertidur. Bapak bangun tengah malam dengan tangan kram dan besoknya sebelah tangan bapak pegal seharian.

Anak yang dulu sulit menelan makanan sekarang sudah tumbuh menjadi gadis remaja. Anak dengan pertanyaan-pertanyaan kritis, dengan pikiran-pikiran yang unik. Sebagai bapak, aku akan selalu menyayangimu sampai kapanpun. Kamu adalah anak dengan hati yang paling jernih, dan semoga akan tetap begitu selamanya. Aku tahu, setiap orang harus tumbuh, begitu juga aku harap kamu akan tumbuh. Namun ada hal-hal yang kamu punya dari sejak kamu mengenal manusia, yang sebaiknya tetap kamu jaga: kejujuran, kepekaan, rasa ingin tahu. Itu yang membuatmu istimewa.

Sebagai manusia, dan sebagai remaja, wajar jika kadang kamu kurang disiplin, sulit fokus pada satu proyek. Kadang kamu seperti langit yang sibuk menampung awan: begitu penuh, hingga lupa bagaimana rasanya menjadi biru. Kamu berjalan membawa peta yang belum sempat kamu baca, karena setiap tikungan menawarkan keindahan yang terlalu menggoda untuk diabaikan. Bukan karena kamu malas. Tapi karena terlalu banyak musim yang ingin kamu peluk sekaligus. Dan itu bukan kesalahan, bahkan hujan pun tak selalu tahu di mana ia akan jatuh.

Tentu dengan berjalannya waktu kamu bisa mengatasi kelemahan dan kekuranganmu. Satu hal yang harus selalu kamu ingat: masih banyak hal mengagumkan tentang dirimu yang belum kamu temukan. Carilah. Kenali dirimu sendiri. Temui dirimu sendiri dengan sabar dan rasa ingin tahu. Dan jika suatu hari nanti dunia terasa sempit, suara-suara di sekitarmu terlalu bising, atau kamu merasa tak dihargai, ingatlah, akan selalu ada satu rumah di mana telingaku siap mendengar tanpa menghakimi, selalu bersedia mendengar keresahanmu, tanganku selalu terbuka untuk memeluk dan menerimamu apa adanya.

Apa adanya.

Semoga Allah selalu menolongmu, memberi kekuatan, keselamatan, dan kebahagiaan dalam hidupmu.


—Bapak.



Jumat, 27 Juni 2025

Kita Semua Pernah Jadi Anak Muda yang Takut Terlihat Bodoh

Ketika Sam memberi kabar ingin naik angkot dari Stasiun Bekasi Timur ke rumah saya, tanpa pikir panjang saya langsung menelepon. "Udah di mana, Sam?"

"Di angkot K-11, Bang!" jawabnya dengan nada yang terlalu percaya diri untuk seseorang yang baru pertama kali ke Stasiun Bekasi Timur.

"Mau ke mana?"

"Ke Terminal Bekasi. Nanti dari situ gue lanjut angkot ke Mustikasari."

Saya menahan tawa.

"Eh, Samsul! Itu dari stasiun ke terminal cuma 400 meter, jalan kaki juga sampe. Ngapain naik angkot?"

"Beda, Bang," jawabnya sok tahu, masih penuh percaya diri. "Itu Terminal Bekasi Timur. Gue mau ke Terminal Bekasi Kota."

Dan di situlah saya tidak tahan. Tawa saya meledak.

"Terserah lu dah, Sam. Ntar kalau nyasar, telpon aja ya. Gue jemput... sambil bawa tim SAR."

Seumur-umur tinggal di Bekasi, baru kali ini saya dengar ada yang nyebut “Terminal Bekasi Timur” seolah-olah itu adalah Peron 9¾ dalam Harry Potter yang diketahui oleh para penyihir dan saya hanyalah Muggle berdarah kotor. Dan Sam tentu saja, si darah murni yang pede tapi ceroboh, si Ron Weasley.

Satu jam kemudian, Sam muncul di depan rumah, ketika saya sedang mencuci motor di halaman. Mukanya kucel, langkahnya pelan.

“Nyerah gue, Bang. Akhirnya naik ojol…”

Saya kembali tertawa sambil mengajaknya masuk.
 

Petualangan random dan impulsif Sam sering kali membuat saya tersenyum, bukan hanya karena kekonyolannya, tapi karena dia seperti tayangan ulang hidup saya sendiri. Tidak ada yang lebih spontan daripada keputusan saya untuk menikah saat masih kuliah semester enam, di usia dua puluh empat tahun. Kalau manusia normal lulus kuliah dulu, baru menikah. Saya justru punya anak dulu, baru wisuda. Mungkin begitulah cara saya memandang hidup: bukan soal mengikuti urutan, tapi menunggu saat yang tepat untuk bertindak.

Seperti Sam, saya juga pernah ada di usia dua puluhan, penuh semangat, lapar petualangan, haus akan dunia luar, ingin menjelajah dunia, dan kadang bertemu dengan orang-orang yang bahkan tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Saya ingat suatu hari, saya duduk di dalam bus antarkota di Stasiun Bekasi—bukan, bukan Bekasi Timur, haha. Seorang pria muda duduk di sebelah saya, pria muda biasa saja. Tapi yang terjadi selanjutnya membuat saya tercengang. Setiap kali pedagang asongan masuk, mereka menyapa pria itu dengan hormat, bahkan menyodorkan dagangan mereka untuk diambil gratis. Seperti ritual kecil, mereka lewat, menyapa, menyembah dalam bahasa tubuh, lalu berlalu.

Saya yang biasanya diminta beli oleh pedagang asongan dengan setengah dipaksa, mendadak jadi penumpang kelas sultan. Bukan karena status, tapi karena posisi. Saya duduk di sebelah orang yang diam-diam punya kekuasaan.

Karena penasaran, ketika bus mulai berjalan, saya bertanya. Pria itu menjawab dengan tenang, dan terlalu detail untuk ukuran orang biasa, bahwa dia adalah “Kang Mus”-nya Terminal Bekasi.

Seketika, saya merasa terlindungi dan terancam sekaligus. Terlindungi karena saya tahu siapa yang duduk di samping saya. Terancam karena wajahnya seperti gabungan antara ketua yakuza dan kesopanan Don Corleone dalam The Godfather. Ada karisma yang membuat semua orang tunduk, tapi tak satu pun tahu bagaimana cara berdamai dengannya.

Dan karena itulah, ketika saya melihat Sam hari ini, saya seperti melihat parodi dari diri saya sendiri. Sama-sama ingin mengalami hidup dengan sebenar-benarnya, tanpa filter, tanpa kepura-puraan, namun sering kali tanpa rencana. 

Petualangan yang kadang berakhir sebagai kekacauan kecil. Tapi saya tahu, seperti dalam hidup saya dulu, kekacauan itu hanya menunggu giliran untuk berubah menjadi lucu di masa depan, tragedi yang bermetamorfosis jadi komedi, jika diberi cukup waktu dan sudut pandang.

Dulu, saya suka naik Honda Astrea 800 ke tempat-tempat baru tanpa arah, hanya ditemani semangat dan indikator bensin yang rusak. Kadang motor mogok, kadang saya kehabisan bensin dan uang, dan solusi paling masuk akal waktu itu adalah menitipkan motor di sekolah.

Sam juga pernah mengalami hal serupa: kehabisan uang dan motornya mogok di tengah jalan. Tapi yang dia lakukan jauh lebih ekstrem; dia menelpon damkar. Ya betul, Dinas Pemadam Kebakaran.


Sam adalah adik angkatan saya di kampus. Ia baru saja terpilih sebagai Ketua BEM dan datang untuk berdiskusi soal organisasi, juga sekalian meminjam tenda. Kebetulan, kami memang punya hobi yang sama: kemping dan naik gunung. Dan siang itu, di ruang tamu, di tengah es kopi dan ransel kusam yang robek di beberapa bagian, ia bercerita rencananya mendaki Gunung Gede Pangrango.

Dengan kelakuan randomnya, saya membayangkan Sam sampai di basecamp, duduk sebentar, buka ChatGPT, lalu mengetik: “Jalur tercepat summit Gede Pangrango naik kuda?”

Saya bisa membayangkan dia menyerahkan logistik ke porter sambil bilang, “Bawa sampai ke camping ground ya, Mang!”

Porter bertanya, “Ke Suryakencana?”

“Bukan, Mang. Jangan ngerjain saya! Dikira saya nggak tahu." Sam dengan percaya diri menjawab, "Ke Surya... Insomnia.”


Kami sama-sama anak pesantren. Entah mengapa, sesama santri seolah memiliki frekuensi batin tersendiri. Mungkin karena sejak kecil kami sudah jauh dari rumah, tumbuh dewasa tanpa banyak campur tangan orang tua, berusaha memahami sendiri segala hal tentang hidup, dan dengan pemahaman-pemahaman pribadi tentang jiwa dan kehidupan itulah yang menjadi acuan kami dalam menjalani hari.

Mungkin karena itu pula, kami lebih mudah berempati terhadap perjuangan orang lain, kuliah sambil bekerja, tidak betah diam di rumah, selalu ingin bergerak dan mencari makna. Bukan karena kami merasa lebih baik, tetapi karena hidup memang tidak memberi pilihan lain selain menjadi kuat.

Walaupun awalnya saya sempat mencium aroma keminderan dari Sam, terutama saat pertama kali kami ngobrol soal pondok, sambil menyeruput Pop Mie.

“Lu mondok di mana, Bang?” tanya Sam sambil meniup uap mie yang mengepul dari gelas.

“Annida Bekasi. Kiai Muhajirin,” jawab saya mantap. Lalu saya balik bertanya, “Lu sendiri, mondok di mana, Sam?”

Awalnya dia hanya geleng-geleng kepala, tidak mengaku, atau enggan menjawab. Tapi setelah saya desak pelan-pelan, dia mencoba mengelak, dan akhirnya malah blunder.

“Gue juga... pesantren. Di Bekasi,” katanya ragu-ragu.

Saya tersenyum. “Sebut nama pondoknya. Gak ada pesantren di Bekasi yang nggak gue kenal.”

Sam menunduk sebentar, seperti sedang beristighfar dalam hati. Akhirnya dia menyerah dan mengaku pelan, “Gue mondoknya di Rocek, Banten.”

“Oh ya? Apa nama pondoknya?” saya terus mencecar, penasaran.

Sam menatap saya sejenak, lalu berkata, “Pondok lu NU, ya, Bang? Nah... kalau pondok gue... musuhnya NU dah.”

Saya hampir tersedak mie karena tidak bisa menahan tawa mendengar jawaban polos itu.


Sam, Sam... kata saya dalam hati. Kita ini cuma beda metode penafsiran dalil, dan soal qunut di salat Subuh. Karena dalam pandangan saya, satu-satunya musuh NU itu ya ateisme.

Kalau memang begitu, saya jadi membayangkan Sam ikut halaqah bersama orang-orang berjenggot panjang yang meniru gaya Feuerbach atau Marx, duduk melingkar sambil mutholaah kitab Das Kapital, lalu wiridan penuh semangat dengan dzikir: “Agama adalah candu, candu, canduuu...”

Tidak ada yang lebih lucu dari bayangan itu.

Tapi juga, tidak ada yang lebih indah daripada menyadari bahwa di balik segala perbedaan, kita masih bisa duduk bersama, tertawa, dan menemukan kesamaan. Bahwa jika kita mau berbicara —bukan sekadar untuk didengar, tapi untuk saling mendengarkan dan memahami— kita mungkin akan terkejut oleh betapa banyaknya persamaan yang tersembunyi di balik label dan prasangka.

Persamaan hobi, bacaan, tontonan, pandangan, bahkan prinsip hidup, sering kali jauh lebih banyak daripada perbedaan-perbedaan kecil yang kerap dibesar-besarkan.

Kami sepakat bahwa tidak ada satu wajah tunggal untuk NU, ataupun untuk Salaf. Di dalamnya ada spektrum: dari yang paling progresif hingga yang paling konservatif. Mereka bisa saja berada dalam satu barisan, satu bendera, atau satu istilah, namun pikiran dan pendekatan mereka bisa sangat berbeda, bahkan saling bertentangan.

Maka, jangan berharap menemukan satu NU, atau satu Salaf. Karena yang tunggal hanyalah Islam itu sendiri, yakni kepasrahan kepada Tuhan, yang tidak bisa dimonopoli. Yang tunggal adalah kemanusiaan itu sendiri.

Sebagai sesama manusia, saya dan Sam punya banyak kesamaan, salah satunya dalam hal sastra. Pernah suatu hari, setelah saya membagikan puisi lewat status WhatsApp, Sam mengirim pesan, “Bang, gua mau nyampein sesuatu nih. Setiap kali gua liat lu, gua langsung keinget Zafran di film 5cm.”

“Wah, panggil gue Zafran mulai sekarang!” jawab saya sok keren.

Sam tertawa. “Gua dari kecil udah nonton 5cm, tapi baru kesampean naik gunung pas kuliah. Film yang pasti gua tonton dulu tuh: 5cm, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, AADC, Gie, Supernova. Pokoknya yang ada aroma-aroma sastranya lah.”

“Buset! Jadul bener tontonan lu!” saya merespons kaget. Beberapa film yang Sam sebut bahkan rilis sebelum dia bisa bicara, bahkan sebelum ia lahir.

“Iya juga sih,” katanya sambil nyengir. “Tapi gua suka karena ada sentuhan sastranya gitu, Bang. Dulu gua tuh sastrawan banget anaknya.”

“Lah, mana? Sini gua baca puisi-puisi lu,” kata saya penasaran.

“Duh, udah jadi suhuf-suhuf sekarang, Bang.”

“Suhuf? Umur 40 kayaknya bisa jadi nabi lu!” saya membalas sambil tertawa.


Kalau Sam bilang saya Zafran, maka saya bisa bilang Sam adalah Soe Hok Gie, keras kepala tapi penuh hati, berani mengambil risiko, berani disalahpahami, dan tidak pernah gentar hidup di tengah arus tantangan.

Gie adalah suara sunyi yang tak menunggu dukungan untuk bersuara. Sam pun begitu, kadang impulsif, kadang gegabah, tapi selalu jujur pada nuraninya. Dan justru di balik setiap kecerobohannya, saya melihat cermin kita semua: manusia biasa yang pernah bodoh, kadang bijak, sering salah, tapi tak pernah berhenti belajar.

Dan bagi saya, anak muda seperti itu, yang berani hidup dengan segala cacat dan keyakinannya, jauh lebih berharga daripada mereka yang sibuk tampak sempurna.


Rabu, 11 Juni 2025

Hujan yang Tak Jadi Puisi

Kepada SDD


Hujan turun di luar jendela,
tapi tak ada yang basah di dalam diriku.
Barangkali karena aku sudah menjemur air mata
terlalu lama di halaman sosial media.

Aku ingin menulis tentang hujan
sebagai sesuatu yang datang tanpa maksud.
Tapi puisiku terlalu sadar diri,
terlalu sering bercermin
di layar yang tak pernah patah hati.

Dulu, hujan adalah surat tak sampai.
Kini, ia jadi notifikasi cuaca.
Kita tak lagi menunggu reda,
karena sudah terbiasa berlari
dari satu urusan ke pelarian lain.

Aku rindu mencintai seseorang
tanpa perlu riuh dalam caption.
Aku rindu kata-kata
yang tak ingin jadi puisi,
cukup jadi perasaan
yang diam-diam mengendap
di dasar cangkir kopi.

Kau tahu,
dulu aku menulis puisi
dari yang tak bisa kukatakan pada siapa-siapa.
Tapi hujan kali ini gagal menjadi metafora.
Ia turun begitu saja,
tanpa makna, tanpa nyawa,
seperti pertanyaan basa-basi
dari orang yang hanya ingin terlihat peduli.

Kalau nanti reda,
aku tidak akan keluar menatap langit.
Aku akan tetap di sini,
memunguti diam yang tercecer
di panggung sepi.




Tidak Ada Hujan Bulan Juni

Untuk SDD

/i/

Hari ini, hujan bulan Juni
tak lagi menjadi rahasia langit,
tapi gemuruh cengeng di layar ponsel.
Bukan pada daun-daun yang kuyup,
melainkan pada riuh notifikasi
yang tak mengenal larut.


/ii/

Dulu, ketabahan adalah
isyarat bisu,
berupa rintik rindu
pada pohon bunga,
tanah kering menelan
seluruh peluh sampai akar
dan lumut penuh.
Kini, gerimis berganti ramai derai
kubangan di jalan, hati palsu
di ujung emoji,
dan suara tawamu
tenggelam di antara
suara ping yang lebih cepat
dari sepi.

Dulu, kebijakan menjelma
rona pipi malu,
menghapusi jejak kaki
yang ragu di jalan itu.
Kini, diganti ujung jari
yang yakin menggali makna
dari algoritma.
Kita tak lagi berjalan
menuju satu sama lain,
melainkan berlari ke situs
yang tahu segalanya
kecuali rasa.

Dulu, kearifan adalah bunyi sunyi,
yang dibiarkan tak terucap
agar diserap akar bebunga.
Tak ada lagi kata-kata
yang ditanam diam-diam
agar tumbuh jadi makna.
Kini, setiap luka dipetik
sebelum matang,
dipajang dalam etalase
dengan tagar yang haus
tepuk tangan.


/iii/

Kamu akan bersetuju
denganku kali ini,
untuk masih memilih
menyimpan namamu
di antara jeda dan napas,
yang masih menghapus pesan
dengan telunjuk gemetar,
yang tahu bahwa kerinduan
adalah bahasa yang paling jujur
saat tak diucapkan.

Dan cinta,
seperti awan yang gagal jadi hujan
pada kemarau di bulan Juni,
selalu lebih ramah dengan masa lalu,
daripada deras suara ricik
dalam kepalamu.








Minggu, 18 Mei 2025

Rasa adalah Satu-Satunya Cendera Mata yang Layak Dibawa Pulang

Saya terbangun dengan kepala lebih ringan, tidak lagi serasa ditimpa batu seperti saat pertama merebahkan diri, meski punggung masih menyimpan jejak kursi Elf semalam yang keras dan sempit. Paracetamol yang saya telan sebelum tidur sudah bekerja diam-diam, menyusup ke urat-urat kepala seperti hujan ringan yang membasahi atap-atap tenda siang itu.

Suara gaduh di luar tenda memecah sisa keheningan sore. Bukan jeritan panik, lebih seperti rengekan setengah geli. Suara Anita bercampur dengan tawa Veony, disambung bentakan kecil dari Anza dan nada tinggi Chika, “Aaa! Glad! Syam! Cepetan dong, ini ulatnya nempel di tenda!”

Saya keluar dari tenda dengan tergesa, bukan karena panik, tapi karena cemas mereka akan membunuh ulat itu. Tenda-tenda kami berdiri di rumah si ulat, bukan sebaliknya. Kami tamu yang terlalu sering lupa sopan santun. Di gunung, manusialah yang jadi penyusup ke rumah hewan-hewan.

Tanpa ragu, saya ambil si ulat dengan tangan kosong. Kaki-kaki kecilnya menempel menyentuh telapak tangan seperti cubitan kecil, hampir tak terasa. Saya letakkan ia di daun panjang di dekat rerumputan agar ia punya jalan pulang. Ada aturan tidak tertulis di alam bebas ini: kill nothing but time.



Saya berdiri sejenak, mengamati sekitar tenda. Kabut turun pelan, seperti selimut besar yang mengambang dari langit, menutupi segala yang ada. Kelelahan telah berpindah bentuk jadi semacam tenang yang asing. Taman edelwis yang siang tadi ramai kini lenyap, tertelan putih pucat yang menelan batas pandang. Seolah-olah dunia sedang berubah menjadi ruang mistis yang tidak pernah saya lihat sebelumnya.

Jam di pergelangan tangan menunjuk angka empat sore. Ditemani rintik kecil, saya melangkah menuju Mushola, pelan, tanpa terburu. Masih ada dua jam sebelum masuk waktu Maghrib, jadi waktu Jamak Takhir Dzuhur ke Asar masih panjang. So I have a lot of time to kill.

Pagi itu, kami tiba di gerbang TWA pukul empat dini hari. Langit di atas Papandayan terbentang cerah seperti lembar UTS yang belum diisi; belum ada jawaban yang salah, tapi ada potensi akan kacau. Angin menggigit pelan, dan kabut tipis menyelinap di antara pohon cantigi. Di antara tas carrier yang tergeletak dan bau abab mulut, saya berdiri, menghela napas. Sudah lama saya tidak memimpin rombongan. Kali ini bukan sekadar staycation atau berburu footage sunrise untuk stok reels. Ini kemping, pendakian dan ekspedisi ke gunung. Diam-diam saya menghitung kepala, 19 orang yang setengahnya mungkin baru tahu bahwa “trekking” itu bukan nama sub-unit K-Pop.



Sebagai Tim Inti, Muhid dan Ipin langsung melesat. Langkah mereka ringan, seperti belum kenal nyeri lutut. Tugas mereka jelas: jadi Tim Advance, mendirikan tenda sebelum peserta datang sambil menghindari godaan selfie di batu-batu instagramable. Tenda dan logistik diserahkan ke porter, supaya lebih efisien, lebih sedikit drama, dan karena juga kami bukan tim pengangkut dosa.

Tim dibagi tiga. Saya pemimpin Tim Satu: istri saya (jimat keberuntungan yang saya percaya bisa menjaga cuaca tetap cerah), lalu Gitt, Yash, Glad (mahasiswa senior yang bisa diandalkan), dan Safa, anak tengah yang punya perfect pitch dan label kecerdasan naturalis sejak TK, yang senang bereksperimen dengan segala hal yang baru ia temui, bahkan ia pernah memelihara cacing dalam air di gelas. Ini kali pertama Safa saya ajak naik gunung, untuk memenuhi janji saya ketika ia lulus SD. Papandayan, meski baru pertama kali saya datangi, dikenal sebagai gunung wisata landai yang cocok untuk pemula, jadi seharusnya ramah bagi anak-anak sekalipun. Maka saya bingung ketika Wi dan Yu, dua orang kawan saya, menanggapi kepergian saya dengan ledekan. Wi bertanya, “Kamu mau pesugihan?”, sementara Yu minta dibawakan batu gunung atau rekaman suara gamelan.

Tim Kedua dipimpin Syam, mahasiswa eksentrik dengan celana anti-Isbal yang masih duduk di semester paling kecil di antara rombongan, membawa carrier sebesar hutang negara. Saking besarnya, sampai-sampai ketika ditanya penumpang TransJakarta waktu berangkat, dia menjawab dengan percaya diri, “Gunung Slamet.” Papandayan terlalu jinak untuk tas sebesar itu. Syam punya empat anggota, para anak BEM: Anita, Anza, Chika, dan Veony, yang lebih mahir atur pose joget Stecu Stecu daripada atur napas.

Tim Ketiga berisi campuran antara semangat muda dan lutut renta. Aziz, yang muda dan penuh harapan, dikelilingi orang-orang yang napasnya lebih berat dari tenda Canopy Dome Dhaulagiri. Ada Bu Eny, Bu Som, Kak July, dan Bang Satibi. Dengan segala cinta dan kejujuran, saya sebut mereka: Penat —Pendaki Nafas Tua.

“Yash, lu sweeper ya. Emergency kit bawa, dan HT standby,” kata saya, sambil kasih barang dan tatapan penuh harap. Selama perjalanan ia ditemani Gladwin.

“Siap, Bang!”

“Udah bisa pake HT?” saya tanya.

“Pernah, Bang.”

“Mantap!”

Saya tidak memberikan istruksi panjang lebar soal teknis penggunaan HT, karena fokus untuk segera berangkat, agar sampai camp site sebelum siang. Ditambah lagi, bokong saya sudah nyaris meledak. Antrian toilet di parkiran waktu long weekend sudah seperti antrean bansos. Saya tancap ke Pos 4, berdoa semoga WC-nya kosong. Dan syukurlah, Tuhan mendengar doa orang kebelet. Toilet kosong. Nikmat mana lagi yang kau dustakan?

Sedang khusyuk boker, suara HT masuk dari suara orang yang tidak saya kenal, bukan dari Yash. Tapi saya mendengar Yash menjawab.

Dari dalam bilik, saya refleks teriak, “Yash, itu bukan gua!”

Momen bonding paling absurd terjadi di tempat paling privat. Setelah itu, saya dan Yash mengkalibarasi ulang frekuensi, mencari yang lebih sepi kemudian set sandi: saya di depan menjadi Alfa, Yash paling belakang menjadi Zulu. Supaya tidak ada miskomunikasi lagi.

Di Pos Tujuh, kami ber-17 beristirahat dengan aman dan tertib. Kami menyebar ke berbagai arah: ada yang berteduh di bawah pohon, duduk di batu-batu besar, bersandar di kursi beton, sibuk mencari spot foto atau sekadar membuka perbekalan.

Syam membuka tasnya. Dari dalam kresek merah, ia mengeluarkan dua kilo salak. Dengan bangga, ia juga mengaku membawa dua buah semangka yang rencananya akan dibuka saat tiba di camping ground. Andai saja saat technical meeting tidak dilarang membawa alat dapur, mungkin Syam sudah  membawa blender dan aki mobil.

Kelakuan Syam, walaupun tidak diniatkan untuk lucu, tetap membuat tawa. Ia jadi sasaran empuk candaan. Semua menikmati momen, berfoto, dan belum ada yang mengeluh. Brigitte berdiri, menatap langit biru muda dengan sorot mata penuh visi.

“Spot ini cakep banget. Syam, tolong fotoin, ya!” katanya sambil menyerahkan ponsel, ekspresinya serius seperti sutradara muda.

“Oke, siap!” jawab Syam sigap. Jepretan pertama dilakukan sesuai arahan Brigitte.

“Ya ampun, Syam! Angle-nya bukan gitu! Naikin dikit, langitnya kurang dramatis. Ulang!” protes Brigitte. Sebagai adik angkatan, Syam menurut. Beberapa kali take, tapi Brigitte masih belum puas.

“Masih gak dapet feel-nya! Kenapa ya, giliran gue motoin orang bagus, giliran gue minta difotoin malah gagal terus!”

Komentar itu mulai menggoyahkan mental Syam. Pemilik akun @terkesan_pic itu mungkin mulai merasa bahwa bakat saja tidak cukup.

Saya ikut memanasi, “Sekali lagi, Syam! Jangan malu-maluin! Kalau masih jelek, hapus aja akun IG lu! Atau ganti nama jadi @tanpa_kesan.”

Tawa meledak. Brigitte juga tertawa, meski matanya tetap ke layar, mencari satu foto yang bisa menyelamatkan harinya. Syam tetap diam, entah merenung soal teknik memotret, atau mempertanyakan seluruh tujuan hidupnya di dunia digital.

Setelah setengah jam istirahat, kami melanjutkan perjalanan menuju Goberhoet. Rencananya, kami akan melakukan pendakian lintas: dari Goberhoet ke Pondok Saladah untuk bermalam, lalu esok paginya turun lewat Hutan Mati kembali ke Pos 7 dan akhirnya ke basecamp.

Saya meminta Bu Eny untuk memimpin rombongan bersama para senior. Dari semua peserta, hanya dia yang pernah mendaki Gunung Papandayan, jadi saya percaya dia tahu jalur. Saya sendiri memilih berada di belakang, sambil mengawasi anak-anak BEM yang sibuk membuat konten joget The Lion Sleeps Tonight sambil berbaris. Lagi-lagi, Syam jadi bintang utama, the Alpha of the ducks.

Saat tiba di Tanjakan Omon, saya sempat heran, kok Penat tidak kelihatan? Saya percepat langkah, mulai curiga. Tapi sesampainya di Goberhoet, tempat itu juga kosong. Penat tak terlihat sama sekali.

“Hah? Ke mana mereka? Bablas ke Saladah? Ngegas amat…” pikir saya, mencoba tetap positif. Sepanjang jalan, kami memang tidak berpapasan dengan mereka.

Namun, diam-diam saya mulai gelisah. Apa mungkin mereka secepat itu?

Sekitar dua puluh menit kemudian, misteri itu mulai terjawab. Aziz muncul lebih dulu, memikul dua keril—satu di depan, satu di belakang—miliknya dan Bu Som. Wajahnya lelah, tapi pasrah, seperti baru selesai ujian skripsi tanpa tahu hasilnya.

Di belakangnya, para pendaki senior muncul satu per satu. Napas mereka tersengal, langkah limbung, tapi tetap berusaha tersenyum. Seperti baru turun dari roller coaster: capek tapi bangga karena tidak muntah. Mereka memilih jalur alternatif yang katanya lebih cepat. Tapi yang tidak mereka sadari, “lebih cepat” sering kali berarti “lebih curam”.




Akhirnya kami tiba di Pondok Saladah dengan selamat. Cuaca selama perjalanan cerah, semangat tim terjaga, dan masih on the track sesuai rencana. Semua mulai sibuk, ada yang membantu membereskan tenda yang belum semua terpasang, memasak, menggelar sleeping bag untuk tidur atau membuat vlog.

Benar apa yang dikatakan Muhid dengan nada setengah filosofis: karakter asli manusia akan keluar saat kemping. Di tengah alam terbuka, tanpa AC, tanpa sinyal apalagi GoFood, topeng-topeng sosial mulai terbuka. Satu per satu watak sejati muncul ke permukaan, seperti game Werewolf. Ada yang tampil sebagai Villager: yang tidak punya kemampuan khusus tapi rajin, cekatan, tahu diri. Ada Seer, si sok tahu, sibuk membaca “niat tersembunyi” orang lain. Ada pula Werewolf, menghindar tiap disuruh cuci nesting kotor, tapi selalu muncul pas mie goreng jadi. Dan tentu saja, ada Hunter: terlalu semangat, ingin jadi pahlawan, tapi sering mengacaukan strategi.

Di antara mereka semua, ada satu karakter yang dari awal tampak seperti Guardian, pelindung dan penjaga para mahasiswi —Lim, dosen muda yang wajahnya seperti oppa Korea versi Kemenag, dengan gaya bicara cepat yang terdengar seperti sedang memberikan ceramah TED Talk bertema “Menemukan Tuhan Lewat Excel”. Ia adalah figur karismatik, dosen favorit para mahasiswi. Tapi bahkan karakter sekuat itu, ternyata tidak kebal terhadap hutan dan gravitasi sosial.

Di awal perjalanan ia masih kalem. Tapi semuanya mulai terlihat saat sesi foto. Saat yang lain tersenyum sopan atau membentuk hati dengan jari, Lim mengambil gaya yang tak terduga. Ia menghadap ke arah berlawanan dari kamera. Lalu berpose di balik batang pohon seperti intel gagal. Atau foto memandang edelweis, dengan ekspresi SpongeBob yang sedang bicara serius dengan ubur-ubur. Para mahasiswi terkecoh, ia yang awalnya dikira kartu Guardian ternyata Joker.

Namun puncak dari semuanya adalah ketika ia kembali dari semak-semak dengan langkah penuh kemenangan. “Saya kencing di sana,” katanya, menunjuk ke rimbun ilalang seperti sedang menandai lokasi penemuan situs sejarah. Tak cukup dengan pengumuman, ia lalu menambahkan act out yang tidak diminta: kedua tangan terangkat ke atas, mata mendongak ke langit, pinggulnya bergoyang-goyang seperti boneka dashboard rusak. Tawa pun pecah. Geger. Kali ini tidak ada yang bisa menyelamatkan kehormatannya, bahkan ijazah S2 pun terasa tidak akan menolong.

Sebagai ketua alumni yang menggagas acara kemping lintas generasi ini, saya menyaksikan semuanya dengan hati campur aduk: setengah bahagia, setengah ingin pura-pura tak kenal. Tapi saya tahu, inilah inti dari semuanya. Sejak awal saya menekankan pentingnya kolaborasi—bukan hanya soal membagi tugas masak dan mendirikan tenda, tapi berbagi ruang untuk menjadi manusia seutuhnya: absurd, janggal, lucu, dan tak sempurna.

Di sinilah keberhasilan itu terasa nyata. Tak ada lagi sekat antara dosen dan mahasiswa, alumni dan junior, antara yang dulu dikenal kaku dan yang sekarang tau cara memasang gas di kompor portabel. Di sinilah kita menjadi manusia tanpa CV, tanpa reputasi, tanpa zoom filter. Hanya kita, dalam tawa, dalam betis pegal, dalam nasi yang terlalu lembek atau kerak yang menempel di panci liwet, dan dalam cerita yang akan kita ulangi berkali-kali. Dan sejujurnya, itulah capaian paling berharga.



Petualangan ini dimulai di pagi yang cerah, bahkan nyaris terlalu cerah untuk awal petualangan. Langit tak menyisakan sedikit pun keraguan. Tapi siang menumpahkan gerimis seperti keraguan kecil yang datang terlambat. Sore tiba dengan kabut yang turun perlahan, seperti tirai menutup panggung, menenggelamkan bayangan tubuh di jalur setapak. Lalu dini hari membuka langitnya, seolah ingin menebus semua —sunrise muncul seperti jawaban yang tak diminta, begitu indah sampai suara ngorok semalam lenyap dari ingatan.

Siangnya kembali terang, jalan setapak menuju basecamp terbentang cerah. Tapi di turunan dari Hutan Mati ke pos 7, jalur berubah wajah. Ratusan pendaki datang dengan semangat yang gaduh —FOMO, tek-tok, dan libur panjang menjelma hingar-bingar, ramai seperti pasar di hari-hari terakhir Ramadan.

“Zulu, Zulu! Di sini Alfa! Masuk!” suara saya memanggil Yash dari HT.

“Zulu, Zulu di sini! Alfa, masuk!” jawab Yash, cepat tanpa basa-basi.

“Posisi terakhir. Ganti.”

“Sudah di jalan aspal, lima menit lagi tiba di Mang Asep Basecamp.”

“Copy.”

Hujan turun saat tim terakhir tiba. Langit menutup perjalanan dengan caranya sendiri. Di dalam Elf, saat roda melindas jalan licin melewati plang-plang Burayot yang kuyup, musik karaoke mulai mengalun. Suara fals orang-orang yang berhasil kembali pulang memenuhi kendaraan.

Ini—kalau boleh jujur—adalah salah satu trip paling solid yang pernah saya ikuti. Tapi juga perjalanan yang menyisakan begitu banyak kekhawatiran, terutama untuk saya. Kekhawatiran itu menyelinap seperti hawa dingin —tanpa rupa, tapi menyusup sampai ke sum-sum tulang.

Saya sempat khawatir pada mereka yang belum sempat warming up sebelum trekking. Kram bisa saja datang tiba-tiba. Dalam kepala saya, satu kalimat berulang seperti mantra buruk: bagaimana jika satu orang saja tak bisa naik? Atau tak bisa turun? Satu orang saja. Maka seluruh rencana bisa berantakan. Dan tim, yang tadinya solid bisa berada dalam pertaruhan. Akan kami tinggalkan ia naik atau turun sendiri? Atau bertahan, menyesuaikan langkah, menangguhkan waktu pulang?

Saya khawatir hujan, bukan hanya air dari langit, tapi segala yang dibawanya: tanah licin, tubuh lembap, semangat yang melemah. Cuaca tak pernah benar-benar setia pada rencana.

Saya khawatir pada Bang Satibi yang jatuh di toilet rest area 88. Yash menyerahkan trekking pole-nya dengan cepat, dan saya merasa dua hal sekaligus: lega dan pasrah. Saya khawatir pada Bu Som yang memanggul tas terlalu besar untuk bahunya, langkahnya berat, napasnya tercekat tiap tanjakan. Saya khawatir pada Veo, lehernya terkilir di kursi Elf yang tanpa bantal leher. Saya khawatir pada Bu Eny yang mungkin diam-diam masih menahan sakit lutut seperti di Prau dulu. Tak berkata bukan berarti tak terasa. Saya khawatir pada Anita, sol sepatunya terkelupas, mungkin sepele, tapi cukup untuk membuat perjalanan panjang menjadi menjengkelkan. Saya khawatir pada Glad, jari tangannya luka kecil tapi sakitnya bisa menandakan ia mulai terinfeksi.

Di jalan pulang, saya khawatir saat kendaraan berhenti di rest area 88B. Lokasi parkir gelap, dan terlalu dekat dengan arus lalu lintas. Saya berdiri di pintu, memperhatikan satu persatu agar tidak ada yang terserempet mobil dari belakang. Tapi karena itu saya nyaris kehilangan Safa, ia tidak ada. Dalam hitungan detik, seluruh isi kepala saya dilanda kepanikan. Saya mencari ke segala arah. Sampai akhirnya saya menemukannya di antrean toilet, tenang, tak tahu bahwa saya hampir ambruk oleh cemas.

Saya khawatir kami tiba terlalu malam. Saya membayangkan mereka berdiri di trotoar kampus, tak ada ojek tersisa, tak ada kendaraan, malam terlalu larut untuk pulang, dan sebagian harus tidur di lantai ruang kelas.

Dan setelah semuanya, setelah jalanan, tanjakan, dan pulang yang panjang, saya sadar satu hal yang seharusnya sederhana: hidup itu seperti kemping. Yang bijak adalah yang membawa hal yang paling penting. Terlalu banyak logistik justru membuat langkah berat. Begitu pula pikiran, tak bisa menampung seluruh kemungkinan buruk, tak bisa dijejali semua kekhawatiran. Overthinking hanyalah cara lain menaruh batu di dalam ransel yang sudah berat.

Dan saya—saya khawatir terlalu banyak hal, sampai-sampai nyaris lupa pada satu hal yang tak bisa diulang: saya tak menghabiskan cukup waktu bersama istri dan anak saya. Mereka ada di sepanjang perjalanan, tapi kami hanya muncul dalam dua spot foto. Dua. Sisanya, saya terlalu sibuk menjadi kompas, menjadi peta, menjadi khawatir.

Lucunya, saya tak pernah terlalu peduli pada momen yang tidak diabadikan lewat kamera. Saya tak punya IG, Facebook atau TikTok. Bukan karena ingin tampil puritan, tapi karena saya sudah sampai di satu titik di mana saya melihat orang terlalu sibuk mengabadikan momen, sampai lupa merasakannya. Saya tidak ingin jadi salah satu dari mereka. Maka saya menulis. Bukan hanya untuk mengingat apa yang terjadi, tapi juga untuk menyimpan apa yang tak bisa ditangkap lensa.

Saya masih ingat sore itu, di Pondok Saladah, kabut turun seperti jubah. Dunia perlahan terhapus, menyisakan hanya langkah, niat, dan udara dingin yang masuk ke sela-sela sweater.

Saya biarkan diri diam di situ, tak tergoda mengambil hand warmer atau kamera. Lagipula, foto secanggih apa pun takkan pernah bisa menangkap utuh momen seperti ini. Gambar tak bisa menampilkan rasa dingin yang meremangkan bulu-bulu tipis di pipi, atau hembusan angin lembap yang menyelusup ke leher dengan pelan, atau basah gerimis yang menelusup ke sela-sela rambut kepala.

Video pun akan gagal menangkap harum samar tanah basah yang bercampur daun gugur dan sisa kabut yang belum turun. Aroma yang hanya bisa dihirup ketika sunyi sudah cukup dalam, ketika suara alam mendominasi lanskap.

Apa yang saya lihat, dengar, dan hirup saat itu tak satu pun bisa dipindahkan ke layar. Dan mungkin memang seharusnya begitu. Beberapa momen hanya hadir untuk ditinggali, bukan dimiliki. Karena mungkin, pada akhirnya, rasa adalah satu-satunya cendera mata yang layak dibawa pulang. Bukan pesugihan, batu, apalagi suara gamelan.