Notifikasi itu berasal dari komentar Cey, gadis gempal yang selalu gelisah: "Bang Nelal, bikin novel lagi dongggg. Sekarang temanya cinta tapi nggak happy ending wkwk."
Jari saya berhenti di atas layar. Mata saya membaca ulang kata-kata itu, mencari sesuatu di balik candanya. Dalam pikiran saya: ada yang tidak beres, ia seperti berusaha menutupi sesuatu dengan canda.
Menulis tentang cinta yang berakhir tidak bahagia?
Saya mengetik balasan. "U abis putus, Cey?"
Tidak ada respons seketika. Tanda baca tiga titik muncul, menghilang, muncul lagi—seperti seseorang yang ragu-ragu sebelum berbicara.
Akhirnya:
"Iya, lagi huft."
Saya menghela napas pelan. Huft. Sebuah kata yang mewakili banyak hal.
"Serius?" saya meyakinkan.
"Seriussss."
Saya mencoba menelepon. Tidak diangkat. Lalu pesannya masuk lagi: "Batreku 6 persen, lagi hemat-hemat."
Sebuah screenshot menyusul, ikon persentase baterai dan wallpaper karakter chibi berambut hitam diikat, dengan beberapa helai mencuat. Matanya terpejam, mulut mengerucut, ekspresi cemberut dan kesal namun tetap imut. Gabungan antara humor dan ironi.
"U lagi di mana sekarang? Coba cerita dulu."
Jeda panjang. Saya bisa membayangkan Cey membaca pesan itu, menimbang apakah harus membiarkan saya masuk ke dalam ceritanya atau tetap menjaga jarak.
Akhirnya:
"Well, I don't really share such things huft. It's just (again) my unfortunate love story. Gitu deh, udah males ceritainnya aku wkwkwk."
Saya menghela napas.
Manusia punya kebiasaan aneh: menyederhanakan luka mereka sendiri.
"It's okay. It takes time. And maybe one day you just wake up, and it doesn’t feel as heavy anymore."
Kali ini balasannya cepat.
"Didn't hurt as much as I thought, actually. Sedih di hari H aja. Karena unfortunately, I didn't have time and chance buat mengasihani diri. I shared a bed with mom that day, the day after I had classes to teach. Gabisa sedih yang gimana-gimana since I gamau mata I ilang karena sembap wkwk."
Saya membaca ulang pesannya. Ada sesuatu yang janggal. Kesedihan itu tidak benar-benar hilang, hanya ditunda. Kehilangan memang kadang membebani dada dengan kepedihan yang nyaris tak tertanggungkan, kadang ia hanya menyisakan keheningan yang perlahan berubah menjadi kebiasaan.
"Udah berapa hari sekarang?"
"Belum seminggu wkwk. Kamis malam."
Saya tersenyum kecil, meskipun tahu Cey mungkin tidak benar-benar tertawa.
"Iya, the world won’t stop for your sadness, and it never will haha. But if you keep running without facing it, one day it’ll hit harder when you least expect it."
Tidak ada balasan langsung. Saya bisa membayangkan Cey mendesah, membiarkan kata-kata saya tenggelam dalam pikirannya.
Lalu akhirnya:
"I know. Tapi yaudah begini dulu aja wkwkwk."
Saya berpikir sebentar kemudian membalas, "Plan: nggak ada plan. Eksekusi: yaudah begini dulu aja wkwk."
Tawa digital muncul di layar. Saya menghela napas. Bukan karena lega, tapi karena tahu ada sesuatu yang masih tersisa di sana, sesuatu yang tak bisa dihapus dengan candaan.
"Hope things fall into place for you, even if it’s ‘begini dulu aja’ for now."
Cey membalas lebih cepat kali ini.
"Ahahaha udah cukup menginspirasi belum buat bikin novel?"
Saya terkekeh.
"Bisa aja sih. Cuma akan jadi cerita yang paling sulit gw tulis. Karena nyeritain orang yang nggak mau cerita 🤣🤣."
Tawa panjang memenuhi layar. Sejenak, terasa seperti percakapan biasa, seperti tidak ada apa-apa yang berubah.
Lalu, seperti sebuah Kesimpulan, Cey menulis, "I mean, everything's fine. Was fine. Lalu semua berubah semenjak negara api menyerang."
Saya kembali menatap kata-katanya.
Semua berubah tiba-tiba? Tidak ada yang berubah tiba-tiba, Cey. Kadang kita hanya tidak memperhatikan retakan-retakan kecil sampai akhirnya sesuatu runtuh. Atau kita menyalahkan sesuatu yang datang dari luar tanpa melihat ke dalam. Apakah semua baik-baik saja, lalu mendadak hancur? Atau ia telah lama rapuh, hanya menunggu waktu untuk jatuh?
Tapi berpikir seperti itu mungkin melelahkan, sehingga humor bisa jadi lebih mudah dan menjadi benteng terakhir orang-orang yang menolak terlihat rapuh.
Lama setelah percakapan itu berlalu, setelah layar ponsel kembali gelap, saya masih berpikir tentang kata-kata terakhirnya.
"U udah cerita ke Mimi?" tanya saya akhirnya, mengetik dalam keheningan yang terlalu panjang.
"Udah. Tapi aku juga nggak cerita yang detilnya. Cuma bilang udahan."
Ada jeda sebelum pesan berikutnya muncul.
"Jumat pagi pas lagi siap-siap tiba-tiba Mimi nanya hari Minggu aku dan cowo ini pelayanan nggak. Aku bilang engga. Gitu kan, terus Mimi bilang Mimi mau panggil. Terus aku kayak Aigoooo. Yaudah akhirnya aku bilang nggak usah, Mi. Udahan. Kapan? Semalem. Terus kurang lebihnya aku ceritain tapi nggak yang secerita itu juga. Terus Mimi, as expected, mau nanya-nanya terus kan. Tapi akunya udah males ngomongin orang itu lagi. Jadi aku bilang udah, Mi, I nggak mau bahas cowo itu lagi. Fin. Gitu akhir ceritanya."
Ibu memang sering bisa membaca apa yang terjadi pada anak-anaknya.
Saya membaca pesannya perlahan. Ketika seseorang memilih kata "Fin," itu berarti mereka sedang meyakinkan diri sendiri bahwa semuanya benar-benar selesai.
Lalu, seolah ada sesuatu yang baru saja diputuskan di dalam dirinya, Cey mengetik lagi: "Yang sekarang sepertinya aku lebih tegar karena banyak yang konfirmasi buat udahan saja. Sampai stranger. Like totally stranger."
Saya mengangkat alis kemudian bertanya ragu, "Jadi yakin nggak akan balikan? Udah berapa tahun pacaran?"
Ada jeda sebentar sebelum jawabannya muncul.
"Pretty sure wkwk. Like forever. Been with him like for 29 years."
Saya mendengus kecil. Orang-orang suka melebih-lebihkan waktu, seolah angka yang lebih besar bisa membuat segalanya terasa lebih dramatis.
Padahal di tengah waktu yang terus bergerak, ada kemungkinan di suatu titik, entah direncanakan atau tidak, langkah dua orang yang terpisah bisa saja bertaut kembali. Pertemuan itu mungkin canggung di awal, dipenuhi pertanyaan yang enggan terucap. Atau justru terlalu akrab, seakan keakraban yang dulu tak pernah benar-benar hilang.
Namun pertemuan kembali bukan selalu membawa jawaban, sebagaimana perpisahan bukan selalu tentang kehilangan. Cepat atau lambat, waktu akan memberi bentuk baru pada yang tersisa. Bisa jadi luka yang sudah mengering, atau kenangan yang tak ingin diulang.
"U mau pindah gereja?"
"Wish I could. Tapi kayaknya susah."
Saya berpikir sejenak sebelum mengetik.
"Iya sih. Pindah agama lebih gampang, Cey. Nanti gw ajarin bahasa Arab 🤣."
Balasan cepat.
Tawa.
Dan sejenak, semuanya terasa ringan.
Pada akhirnya, kehilangan bukan tentang menghapus atau menggantikan. Ia tentang refleksi dan mengambil pelajaran hidup dari katastrofe yang menyertainya. Ia tentang memahami diri sendiri, memahami orang lain dan menjadi lebih bijaksana. Untuk mencapainya, kita hanya perlu menunggu, bergerak, dan menerima bahwa segala sesuatu punya musimnya sendiri.
Saya menyudahi percakapan itu walaupun tahu, di balik layar, sesuatu masih tersisa. Sesuatu yang tidak bisa dihapus dengan candaan. Sesuatu yang akan tetap ada, bahkan setelah baterai ponsel mati.