Halaman

Minggu, 05 Januari 2025

Mengapa Pendidik Perlu Menulis?

Menjawab pertanyaan mengapa pendidik perlu menulis sebenarnya sangat mudah. Bahkan, jika pertanyaan ini diajukan kepada profesi lain, jawabannya juga sama mudahnya. Namun, saya ingin menunda jawaban tersebut hingga akhir tulisan. Sebab, pada awal ini, saya lebih tertarik membahas alasan-alasan yang sering saya dengar mengapa banyak pendidik tidak menulis.

Salah satu keluhan yang kerap muncul di kelas menulis adalah: “Mengapa saya tidak punya ide untuk menulis?” Sejujurnya, saya sulit menjawab pertanyaan ini karena menurut saya, pertanyaan tersebut tidak logis. Setiap orang yang mampu berpikir pasti memiliki ide, apalagi seorang pendidik yang setiap hari menghadapi berbagai situasi di kelas. Jika ide dipahami sebagai gagasan, keresahan, atau sesuatu yang ingin dibagikan, maka sulit membayangkan seorang pendidik tidak memilikinya. Pertanyaan yang lebih relevan adalah: “Bagaimana cara memilih ide yang tepat untuk dituliskan?”

Cara yang sering saya lakukan adalah brainstorming. Tulis semua ide yang muncul di kepala tanpa menyaringnya. Proses ini bisa dilakukan sendiri, bersama rekan, atau bahkan dengan bantuan AI. Jangan takut jika ide tersebut terasa terlalu besar, terlalu kecil, mentah, atau belum sempurna. Kuncinya adalah membebaskan diri dari tekanan untuk menghasilkan tulisan yang sempurna sejak awal. Setelah itu, pilihlah ide yang paling menarik atau paling relevan dengan kebutuhan. Fokus pada topik yang dekat dengan pengalaman atau minat pribadi. Menulis dari hati tentang sesuatu yang kita kuasai akan membuat prosesnya lebih menyenangkan.

Sebaliknya, beberapa pendidik mengeluhkan, “Saya punya banyak ide, tapi kenapa sulit untuk menuangkan ke dalam tulisan?” Solusinya sederhana: menulis buruklah! Bukan, ini bukan sinisme. Menulis buruk berarti membebaskan diri dari rasa takut salah. Kesulitan menuangkan ide dalam tulisan sering terjadi karena ketakutan kita akan menulis buruk, typo, tidak terstruktur dan lain-lain. Jangan takut menulis buruk, karena kita masih punya waktu untuk memoles tulisan itu menjadi lebih baik. Jangan takut menulis buruk, karena penulis yang tidak pernah menulis buruk biasanya tidak pernah menghasilkan apa-apa. Menulislah buruk dan cepat, karena itu akan menyelamatkan kita pada dua hal yang tidak perlu; membuang waktu dan mood yang jelek.

Beberapa guru yang sadar akan pentingnya menulis kemudian bertanya, “Sebagai pendidik, apa yang sebaiknya saya tulis?”

Sebagai pendidik, salah satu sumber tulisan terbaik adalah pengalaman di kelas. Kisah-kisah tentang menghadapi siswa yang sulit, strategi mengatasi anak pemalu, atau keberhasilan siswa yang menginspirasi adalah contoh topik yang sangat bernilai. Selain itu, pendidik dapat menulis tentang metode pengajaran yang inovatif, penggunaan teknologi dalam pembelajaran, atau hasil penelitian pendidikan.

Tulisan-tulisan ini tidak hanya bermanfaat bagi guru lain, tetapi juga bisa menjadi sumber inspirasi bagi siswa, orang tua, dan bahkan pembuat kebijakan. Kita hidup dalam ekosistem pendidikan, di mana pengambil keputusan sering tidak memahami dinamika di dalam kelas, tulisan pendidik bisa menjadi jembatan penting untuk menjelaskan tantangan dan peluang yang nyata.

Saya mengerti bahwa pendidikan merupakan bidang yang kompleks, sehingga sulit dirangkum dalam penjelasan singkat dalam tulisan. Tidak heran jika sebagian pendidik merasa ragu atau kurang percaya diri untuk menulis. Namun, setiap guru sejatinya telah menulis, baik dalam bentuk rencana pembelajaran (lesson plan), catatan evaluasi, maupun komunikasi dengan siswa dan orang tua. Oleh karena itu, suka atau tidak, kita harus sama-sama mengakui bahwa semua pendidik adalah penulis.

"Tapi sebagai guru yang sibuk dengan kegiatan mengajar, bagaimana cara efektif mengatur waktu agar tetap bisa menulis?"

Ya, secara pribadi saya mengenal beberapa kawan guru yang sangat sibuk. Saya juga mengerti bahwa mendidik adalah profesi yang menuntut banyak waktu, sehingga menemukan waktu untuk menulis bisa menjadi tantangan, tetapi bukan hal yang mustahil. Kata kuncinya adalah menjadikan menulis menjadi prioritas. Kita sering menjadikan menulis sebagai iseng-iseng atau hobi waktu senggang, sehingga mengerjakannya tidak menjadi prioritas. Anggap saja menulis itu sebagai hal yang wajib seperti salat. Sehingga ketika ada hal yang kita pikirkan, ide mengajar, keresahan dan lain sebagainya, kita akan lebih fokus dan merasa wajib untuk menulisnya.

Menjadikan menulis sebagai kebiasaan harian, seperti menyisihkan 10 menit untuk membuat jurnal, bisa menjadi langkah awal yang sederhana. Kesibukan setiap orang berbeda-beda, sehingga waktu yang sesuai untuk menulis pada setiap orang juga berbeda-beda. Bereksperimenlah dengan waktu-waktu berbeda untuk melihat saat paling produktif dan kreatif. Teknik seperti Pomodoro, di mana kita menulis selama 25 menit lalu beristirahat selama 5 menit, juga bisa membantu meningkatkan fokus dan produktivitas. Hal yang utama adalah menemukan waktu yang paling cocok dan membuatnya menjadi bagian dari rutinitas harian.

"Ya, saya mulai terpacu untuk menulis dan sejujurnya saya ingin menjadi penulis buku, tapi saya merasa tidak berbakat dalam menulis."

Bagaimana seseorang bisa tahu bahwa ia tidak berbakat dalam menulis? Karena sejak kecil ia tidak suka menulis? Atau karena baginya menulis itu membosankan dan sama sekali tidak menyenangkan? Atau karena ia penah mencoba beberapa kali membuat tulisan tapi ternyata tidak bagus atau gagal? 

Karena alasan-alasan itu kemudian seseorang menyimpulkan bahwa ia tidak berbakat menulis.

Oke, sekarang bayangkan jika logika yang sama diterapkan pada membaca. Apakah sebagai guru, ketika kita melihat anak yang kesulitan membaca, yang mengatakan bahwa membaca tidak menyenangkan, bahwa ia pernah mencoba beberapa kali membaca dan tidak menyukainya, kita akan menyerah? Kemudian kita katakan kepadanya ia bukan anak yang berbakat membaca. Kemudian kita tidak memotivasinya, tidak pernah mencoba mencari cara agar membaca lebih menyenangkan, menyingkirkan semua buku serta tugas membaca yang menantang selama-lamanya karena kita telah melabeli bahwa ia tidak berbakat membaca. Sebagai orang tua atau guru, tentu kita tidak akan melakukan itu kan? Lalu mengapa terkadang kita melabeli bahkan pada diri kita sendiri hal yang sama dalam hal menulis?

Menulis sering dianggap sebagai bakat langka yang diwariskan, padahal tidak demikian. Merasa tidak berbakat menulis adalah hal yang biasa, tetapi keterampilan ini dapat diasah. Beberapa waktu lalu saya kembali membaca tulisan-tulisan dalam diary yang saya tulis bertahun-tahun yang lalu, dan saya menyimpulkan bahawa tulisan saya buruk dan saya tidak berbakat menulis. Untungnya, dulu guru saya tidak pernah bilang itu, melainkan ia bilang kalau saya adalah pencerita yang baik, sehingga saya percaya saja bahwa saya pandai bercerita, bahwa saya pandai menulis. Sekarang saya sudah menulis belasan buku, dan saya selalu ingat apa yang pernah dikatakan Ernest Hemingway, “It's none of their business that you have to learn how to write. Let them think you were born that way.”

"Lalu bagaimana cara menulis dengan baik?"

Ada empat langkah untuk memandu proses menulis dengan baik: percaya, memahami, membuatnya menyenangkan, dan berlatih dengan efektif.

Percayalah menulis itu keterampilan yang bisa dipelajari sebagaimana keterampilan lain seperti membaca dan bicara. Keyakinan seorang bahwa ia bisa menulis dapat mengubah mentalnya. Keyakinan menciptakan reaksi berantai: keberanian, usaha ekstra, dan kesuksesan. Semua kita mungkin pernah dan akan menghadapi kesulitan menulis pada suatu saat, tetapi keyakinan membantu kita bertahan.

Pahami bahwa menulis bukanlah beban. Menulis adalah sarana untuk membantu pendidik mengasah kemampuan refleksi, meningkatkan pemahaman diri, serta memperkuat keterampilan kognitif dan sosial-emosional. Aktivitas ini juga meningkatkan empati, karena pendidik dapat lebih memahami tantangan yang dihadapi oleh siswa.

Pahami topik yang akan ditulis dengan baik, pahami juga struktur tulisan, lakukan penelitian mendalam, dan buat kerangka tulisan yang sesuai. Setelah menyelesaikan draf pertama, baca kembali tulisan itu kemudian perbaiki kesalahan tata bahasa, ejaan, dan struktur kalimat. Pastikan argumen jelas dan didukung dengan fakta. Jangan ragu untuk merevisi dan mengedit tulisan agar lebih baik.

Menulis adalah aktivitas yang menenangkan di tengah kesibukan dan ketidakteraturan dalam pekerjaan serta kehidupan. Bagi saya, waktu menulis adalah saat yang paling menyenangkan dan tenang di hari yang penuh dengan berbagai tugas. Sayangnya, banyak dari kita yang sejak kecil mengalami menulis sebagai sesuatu yang menegangkan, akibat proses pendidikan yang memaksa dan tidak membebaskan. Ubahlah mindset dari menulis adalah beban tugas yang harus diselesaikan, menjadi menulis sebagai sarana untuk berekspresi dan mengendalikan diri.

Latihan yang menarik dan menyenangkan sangat penting untuk menjaga motivasi. Latihan dan ketekunan adalah kunci untuk menulis dengan baik, bukan bakat yang tinggi. Menulis adalah keterampilan yang bisa dipelajari dan ditingkatkan dengan latihan.

Mulailah dari hal kecil seperti menulis catatan harian atau refleksi singkat. Baca lebih banyak buku untuk memperkaya kosa kata dan gaya menulis. Minta umpan balik dari teman sejawat atau bergabung dengan komunitas menulis. Yang terpenting, nikmati prosesnya dan jangan takut melakukan kesalahan—kesalahan adalah bagian dari pembelajaran. Percayalah! Dengan tekad dan latihan, siapapun bisa mengembangkan keterampilan menulis dan mencapai impian menjadi penulis buku.

Jadi kembali ke pertanyaan awal, “Mengapa pendidik perlu menulis?”

Karena menulis adalah salah satu keterampilan utama yang dibutuhkan di masa depan, dan karena itu semua siswa didik perlu menguasainya. Cara yang paling efisien untuk menekankan keterampilan ini adalah pendidik meneladankan pentingnya menulis kepada siswa didik. Guru yang menulis bersama muridnya mengajarkan bahwa menulis adalah bagian penting dari pembelajaran dan kehidupan.

Karena tulisan pendidik, baik berupa refleksi, laporan, atau rencana aksi, dapat menjadi rujukan berharga dalam kolaborasi dengan rekan guru, orang tua, dan pihak lain. Kritik, diskusi, dan inkuiri yang muncul dari tulisan guru membuka peluang untuk merancang langkah bersama yang lebih efektif.

Ayo jadikan menulis sebagai bagian dari identitas pendidik. Adagium arab menyatakan bahwa konsistensi lebih berharga dari seribu karomah, sementara guru saya pernah bilang, “Jika kamu tidak tahu, maka belajar. Jika kamu tahu, maka ajarkan.” Hal itulah yang harus dilakukan secara konsisten sepanjang hidup; belajar dan mengajar. 

Sebaik-baiknya pelajar sepanjang hayat adalah juga penulis sepanjang hayat. Dengan menulis, pendidik tidak hanya meneladankan nilai belajar tanpa henti, tetapi juga membuka pintu bagi perbaikan yang lebih luas demi kepentingan siswa dan masa depan pendidikan.

Wallahu 'Alam Bissawab

Selasa, 31 Desember 2024

Kapan Memutuskan untuk Menulis, Om?

--Sebuah Jawaban untuk Isabel

“Om, sejak kapan memutuskan untuk menulis buku?” Isabel bertanya sambil membolak-balik beberapa jilid novel yang baru saja dibelinya di lapak buku bekas di Blok M. Suaranya lirih, tetapi tetap terdengar jelas di dalam kereta MRT menuju Stasiun Sudirman.

Isabel, teman anak saya, Nada, baru berusia 14 tahun. Namun, minatnya terhadap dunia literasi sungguh luar biasa. Ia pernah menerbitkan cerita bergambar dan kini tengah merencanakan untuk mengikuti beberapa lomba menulis. Koleksi bacaannya, mulai dari bahasa Indonesia hingga Inggris, mencerminkan kedewasaan selera yang jarang dimiliki remaja seusianya.

Saya terdiam sejenak, berpikir. “Ya, sejak Om ngirim naskah ke penerbit,” jawab saya akhirnya.

Namun, segera setelah kata-kata itu keluar, saya merasa ragu. Apakah itu benar-benar jawaban yang diinginkannya? Mungkin ia bertanya tentang momen spesifik yang membuat saya yakin untuk menulis, tentang proses menemukan ide, atau sekadar awal mula kecintaan saya pada dunia kepenulisan.

Jika yang Isabel tanyakan adalah momen-momen penting itu, maka jawabannya tidak sederhana. Karena sesungguhnya, keputusan untuk menulis bukanlah hasil dari satu peristiwa tunggal, melainkan perjalanan panjang yang penuh dengan fragmen cerita.
 

*

Perjalanan itu dimulai saat saya di pesantren, sekitar tahun 2000, ketika saya masih kelas satu Aliyah. Di sana, saya bertemu Ahmad Rifai, teman sekelas sekaligus sekamar. Dialah orang pertama yang mengenalkan saya pada dunia tulisan. Rifai menulis dengan deskripsi yang hidup, menyuarakan pemikiran yang menentang kemapanan. Terinspirasi olehnya, saya mulai menulis diary—menuangkan berbagai pikiran dan perasaan ke dalam lembaran-lembaran kosong.

Kebiasaan ini berlanjut hingga masa kuliah di Pekalongan pada 2003. Di sana, saya berkenalan dengan Hoeda Manis, penulis produktif yang tulisannya sering muncul di koran lokal maupun nasional. Gayanya lugas, berani, dan menyentuh, menjadi salah satu referensi penting bagi saya. Namun, pada semester tiga, saya memutuskan untuk drop out dan kembali ke Bekasi, meninggalkan banyak hal, termasuk Hoeda.

Meski demikian, saya tetap menulis. Artikel, cerpen, puisi—meskipun tidak ada satupun yang diterbitkan. Hingga suatu hari, saya memberanikan diri mengirimkan naskah sebagai syarat mengikuti workshop kepenulisan yang diadakan oleh Gagas Media dan Rotary. Keberuntungan pemula berpihak pada saya: tulisan itu diterima, dan saya pun ikut workshop tersebut. Di sana, saya bertemu dengan Raditya Dika, yang saat itu baru saja menerbitkan Cinta Brontosaurus.

Workshop itu menyadarkan saya bahwa meskipun banyak peserta lebih berbakat, saya memiliki sesuatu yang tidak dimiliki semua orang: ketekunan dan keberanian untuk mencoba. Beberapa bulan kemudian, pada 2008, saya mengirimkan naskah ke penerbit Bukune, tempat Raditya Dika menjabat sebagai Pimpinan Redaksi. Lagi-lagi keberuntungan berpihak: naskah saya diterima, meskipun harus melalui proses revisi yang panjang. Setahun kemudian, novel pertama saya, Badung Kesarung, diterbitkan.

Novel itu sederhana, sebuah komedi tentang kehidupan pesantren. Namun, kekuatannya ada pada sudut pandangnya: sebagai santri, saya tahu bahwa di balik kesan serius pesantren, tersimpan banyak humor dan cerita ringan yang akrab dengan keseharian. Itulah yang saya coba tuangkan ke dalam tulisan.

Sejak saat itu, menulis menjadi jalan hidup saya. Dua tahun kemudian, pada 2012, buku kedua saya, Pintar Bahasa Inggris via Media Sehari-hari, diterbitkan. Saya percaya pada adagium: sesuatu yang terjadi sekali tidak akan terjadi dua kali, tapi sesuatu yang terjadi dua kali akan terjadi untuk ketiga kali. Kini, pada akhir 2024, saya telah menerbitkan 14 buku, baik melalui penerbit mayor maupun indie.

*


Jadi, Isabel, apakah ada satu momen spesifik yang membuat Om memutuskan untuk menulis buku? Mungkin tidak. Keputusan itu adalah hasil dari serangkaian peristiwa: pertemuan dengan Ahmad Rifai, kekaguman pada Hoeda Manis, dan dukungan dari teman-teman yang membaca karya awal. Semua itu membentuk fondasi perjalanan kepenulisan.

Semoga ini menjawab rasa ingin tahumu. Dan siapa tahu, suatu hari nanti, mungkin giliranmu yang duduk di workshop kepenulisan sebagai pembicara, menjawab pertanyaan yang sama dari penulis muda lainnya: “Kak Isabel, sejak kapan memutuskan untuk menulis buku?”

Dan saat itu tiba, aku yakin kamu akan menjawab dengan penuh percaya diri—jauh lebih tenang dibanding saat kamu pertama kali menjadi narasumber beberapa waktu lalu. 😊

Children Of Heaven, Kisah Tentang Anak-Anak Masa Depan

Dari awal bertemu di Stasiun Bekasi, suasana sudah penuh kehangatan. Saya menggoda Alvaro, teman anak saya, Nada, “Cie yang mau ke Jepang!”

Saya sengaja meninggikan suara, memastikan semua orang di sekitar mendengar. Alvaro hanya terkekeh kecil. Rambutnya yang berantakan mengingatkan saya pada karakter Ali dari novel serial Bumi - Tere Liye.

Alvaro Danish Sutanto bukan anak biasa. Dia baru saja memenangkan juara pertama kategori Roblox dalam National Coding Competition 2024, sebuah ajang bergengsi untuk siswa Indonesia berusia 8 hingga 16 tahun yang diadakan oleh Koding Next. Dengan usia yang baru 14 tahun, Alvaro berhasil menunjukkan bakatnya yang luar biasa. Hadiahnya? Sebuah perjalanan edutrip ke Jepang, pengalaman yang bagi banyak orang adalah mimpi yang menjadi nyata.

Namun, ada nada ragu dalam ucapannya, “Belum tahu nih, Om. Jadi atau nggak.”

Mama Alvaro, yang berdiri di samping Alvaro, dengan cepat menjelaskan, “Soalnya Al belum pernah pergi sendirian, apalagi sampai ke luar negeri. Kalau orang tua mau nemenin, biayanya juga nggak sedikit.”

Hadiah perjalanan itu memang hanya untuk pemenang, tanpa mencakup biaya pendamping. Saya mendengar sekilas ada getaran kekhawatiran yang terasa di suaranya. Ini bukan hanya tentang uang, tetapi tentang keberanian melepas anak ke dunia yang jauh lebih besar, dunia yang belum pernah ia jelajahi sebelumnya.

Alvaro tersenyum kecil, “Padahal aku berharapnya juara dua aja, Om. Dapat laptop, selesai urusan.” Kata-katanya terdengar sederhana, namun mengandung kejujuran yang menyentuh. Laptop itu akan diberikan untuk adik perempuannya, Alisha.

Adegan itu mengingatkan saya pada film Children of Heaven karya Majid Majidi, sebuah cerita menyentuh tentang Ali dan adiknya, Zahra, di tengah keterbatasan hidup mereka di Tehran, Iran. Suatu hari, Ali secara tidak sengaja kehilangan sepatu Zahra. Karena mereka tidak mampu membeli sepatu baru, mereka memutuskan untuk berbagi sepatu Ali. Mereka bergantian memakainya untuk pergi ke sekolah.

Ali kemudian mengetahui tentang sebuah lomba lari di sekolahnya yang menawarkan hadiah sepatu untuk juara ketiga. Dia memutuskan untuk ikut lomba tersebut dengan harapan bisa memenangkan sepatu baru untuk Zahra. Ali berlatih keras dan bertekad untuk mencapai tujuannya. Pada hari perlombaan, Ali berlari dengan sekuat tenaga. Namun, dia menghadapi dilema karena harus memastikan ia finis di posisi ketiga, bukan pertama atau kedua, untuk mendapatkan hadiah sepatu. Meskipun Ali berusaha keras untuk juara 3, dia akhirnya tetap finis di posisi pertama. Kemenangan yang manis sekaligus getir.

Sebagai orang tua, saya melihat kesamaan antara Alvaro dan Nada, anak saya. Mereka lahir dari keluarga sederhana, di mana setiap keberhasilan terasa seperti kemenangan besar, bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk keluarga. Terkadang saya bertanya-tanya, bagaimana jika saya memiliki uang satu triliun rupiah? Apakah segalanya akan menjadi lebih mudah? Namun, saya tahu uang tidak selalu menjamin kebahagiaan. Berita di televisi akhir-akhir ini mengajarkan kita bahwa keserakahan hanya membawa seseorang ke dalam lubang kesengsaraan yang lebih dalam. Itu menjadi pengingat nyata bahwa nilai-nilai yang sesungguhnya seperti pengorbanan, kejujuran, ketekunan juga kerja keras tidak bisa dibeli.

Sampai hari ini saya masih percaya bahwa bahwa anak-anak yang tumbuh dalam kesederhanaan akan memiliki karakter yang lebih kuat dan tangguh. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan seperti ini belajar untuk menghargai apa yang mereka miliki, berjuang untuk apa yang mereka inginkan, dan tetap rendah hati ketika mereka mencapai puncak. Mereka belajar bahwa kebahagiaan bukanlah tentang memiliki segalanya, tetapi tentang berbagi apa yang kita miliki dengan orang lain.

Dalam langkah Alvaro menuju Jepang, meski ragu dan penuh tantangan, saya melihat seorang anak yang tidak hanya cerdas, tetapi juga penuh kasih dan bijaksana. Ia adalah pengingat bahwa anak-anak seperti dia adalah harapan untuk masa depan. Harapan yang akan membawa nilai-nilai terbaik dalam perjalanan mereka meraih mimpi yang bahkan mungkin tak terjangkau oleh imajinasi kita, para orang tua.

Senin, 30 Desember 2024

52 Keping Waktu Saat Bersamamu

  1. Keriput di sudut luar matamu ketika tersenyum.
  2. Ketika kamu memelukku saat malam yang dingin.
  3. Caramu berusaha memahami perasaanku.
  4. Wangi parfum yang bercampur aroma tubuhmu.
  5. Ketika kamu tetap sabar saat Aira tantrum.
  6. Ketika kamu jujur dan langsung saat menginginkan sesuatu.
  7. Ketika kamu mendengarkan opiniku dengan penuh perhatian.
  8. Saat kamu memanggilku, “Abang sayang,”
  9. Ketika kamu mengusap lembut lenganku untuk membangunkanku di pagi hari.
  10. Aroma asam keringatmu.
  11. Ketika kamu menanamkan kebaikan dan integritas pada anak-anak.
  12. Ketangguhanmu saat melahirkan Nada.
  13. Antusiasmemu terhadap BTS.
  14. Caramu tetap tenang saat menghadapi situasi sulit.
  15. Ketika kamu mengirim pesan, "Aku kangen".
  16. Caramu mensyukuri hal-hal yang sederhana.
  17. Ketika kamu berbagi rahasia terdalammu denganku.
  18. Caramu mendengarkan cerita tentang hari yang berat di kantor.
  19. Ketika kamu memelukku dari belakang saat membonceng motor.
  20. Caramu merencanakan hadiah dan kejutan untukku.
  21. Ketika kamu memasak sup tim ikan favoritku.
  22. Caramu merawat dirimu sendiri.
  23. Ketika kamu menemaniku menonton langit pagi di puncak gunung Prau.
  24. Caramu menghargai usahaku.
  25. Ketika kamu berani menjadi diri sendiri.
  26. Caramu mengajarkan anak-anak untuk bersyukur dan menghargai hal-hal kecil dalam hidup.
  27. Dedikasimu saat menyiapkan presentasi kuliah.
  28. Caramu mendukung impian dan minat anak-anak.
  29. Ketika kamu merawatku saat aku sakit.
  30. Kerja kerasmu saat mendaki Gede Pangrango.
  31. Caramu mengingat detail kecil tentang diriku.
  32. Semangatmu ketika menceritakan sesuatu yang sedang kamu sukai.
  33. Ketulusanmu saat memberi hadiah kepada tetangga yang baru melahirkan.
  34. Ketika kamu tidak bosan untuk membacakan buku cerita sebelum tidur untuk anak-anak.
  35. Kecerdasanmu saat berbagi pengetahuan baru yang kamu pelajari.
  36. Ketika kamu membukakan pintu dan tersenyum saat aku pulang kerja.
  37. Caramu yang lucu saat berbicara dengan Moli.
  38. Kebaikan hati saat kamu menyedekahkan uang kepada pengamen jalanan.
  39. Caramu berbagi cerita saat kita duduk bersama di ruang tengah sambil makan camilan.
  40. Saat kamu mengecup tanganku sebelum aku pergi bekerja.
  41. Caramu berterima kasih atas bantuan kecil yang aku berikan.
  42. Pelukanmu saat menenangkan anak-anak ketika mereka menangis.
  43. Ketika kamu selalu membuat rumah kita terasa nyaman.
  44. Kepedulianmu saat kamu mengunjungi teman yang sedang sakit.
  45. Saat kamu membantu Safa mengerjakan pekerjaan sekolah dengan telaten.
  46. Saat kita berdiskusi tentang cara memperbaiki hubungan.
  47. Ketika kamu menyanyikan lagu favoritmu ditemani permainan gitarku.
  48. Caramu menghormati Mamah dan Ibu.
  49. Caramu merayakan pencapaian-pencapaian kecil anak-anak dengan antusias.
  50. Kecintaanmu pada petualangan dan perjalanan.
  51. Ketika kamu memaafkan saat aku melakukan kesalahan.
  52. Ketika kamu mencintaiku dengan segala kelebihan dan kekuranganku.

Menulis Hari Ini




Puluhan tahun lalu, sebelum era digital, saya pernah tinggal bersama nenek. Jika di rumah, selain membaca buku, sebagian besar waktu saya habiskan untuk mengobrol dengan beliau. Banyak yang ia ceritakan, tentang suami kedua yang hilang dibawa penjajah Belanda saat ia mengandung anak ketiga, tentang suami terakhir yang telah berpulang mendahului, tentang tetangga, atau tentang pikiran-pikiran acak lain. Dari sekian banyak obrolan, cerita yang paling sering ia bicarakan adalah tentang anak-anaknya: bapak, paman dan bibi saya, yang beberapa di antara mereka telah tinggal jauh di luar kota, di luar negeri, bahkan telah meninggal dunia. 

Ia sering fokus bercerita tentang kejadian tertentu yang ia anggap spesial. Ia bercerita seakan-akan itu pertama kali ia bercerita kepada saya, dengan gaya, intonasi, diksi, dan semangat yang selalu sama. Padahal, saya telah mendengar cerita itu berulang-ulang, dan sebenarnya ia pun tahu kalau ia telah menceritakan kepada saya berulang-ulang. Saya pikir begitulah derita menjadi tua, atau mungkin juga derita menjadi manusia; bahwa sebuah peristiwa dapat bertahan selamanya. 

Berbeda dengan generasi digital native yang tumbuh dengan media sosial sejak lahir, saya menyebut diri saya sebagai imigran yang sering merindukan kampung halaman tempat ingatan masa kecil sederhana dan sunyi tanpa gawai. Mungkin itu sebabnya saya lebih berpikir konservatif dan mengandalkan pengalaman sebelum era digital. Mungkin karena itu saya suka menulis kenangan, atau mungkin itu hanya menandakan kalau saya mulai seperti nenek saya. 

Era digital adalah era foto dan video, di mana kita sibuk merekam hingga lupa menikmati momen. Saya merasa di era media sosial banyak dari kita yang kehilangan jati diri. Itu adalah salah satu sebab mengapa saya menonaktifkan akun Instagram dan Facebook dalam beberapa tahun terakhir.

Bagaimanapun hebatnya digitalisasi, ia tidak bisa merekam perasaan. Foto dan video tidak bisa menangkap konteks dan semua hal yang di luar frame. Apa yang ada di sana tidak utuh, serta menyisakan ruang hampa yang tidak bisa diisi dengan like, follower, ketenaran, atau uang. 

Walaupun tidak sempurna, saya berusaha mengisi jeda dalam ruang kosong itu dengan menulis. Bagi saya, menulis adalah kegiatan sepi tanpa hingar bingar. Sebagian besar proses menulis saya habiskan dengan diam, membaca, dan merenung. Saat buku diterbitkan, mungkin ada gegap gempita sebentar, tetapi dalam proses menulis, hanya ada diri sendiri dan keresahan. 

Sejak dulu menulis membantu saya dalam banyak hal. Mungkin itu yang membuat saya tetap waras. Dulu, saya menulis diary untuk mencurahkan perasaan saat sedih, kangen, merasa tidak dicintai, atau merasa bodoh, sementara tidak ada yang bisa mendengarkan. 

Sampai sekarang saya masih tetap menulis. Mungkin saya akan menulis selamanya, atau mungkin hanya sampai besok pagi, saat tidak ada lagi yang ingin saya sampaikan, tapi tentu bukan hari ini. 

Hari ini adalah hari yang biasa, dan kebanyakan hari adalah hari biasa, bukan hari ulang tahun, bukan hari perayaan, bukan hari liburan. Kebanyakan hari adalah hari-hari biasa, maka saya menulis tentang hari-hari yang biasa. Tentang hari ini yang akan kita lalui sebentar lagi, tentang hari kemarin yang kita kenang, juga tentang esok yang bisa jadi ada, bisa jadi tidak. 

Tulisan-tulisan dalam buku ini adalah kumpulan surat dan puisi yang saya buat untuk istri saya sejak sebelum kami menikah. Saya tidak pernah menganggap hubungan kami adalah hubungan ideal apalagi sempurna, karena memang sampai kapan pun tidak akan ada hubungan seperti itu. Saya menulis ini untuk mengevaluasi diri, untuk memperingati pertambahan usia, atau mengingat hal yang sudah lewat. Pada awalnya saya tidak berharap surat dan puisi ini dibaca selain oleh istri, karena sebagian isinya sangat pribadi. Tapi sejujurnya, tulisan-tulisan ini bukan hanya tentang saya atau istri, tapi juga tentang hubungan dengan banyak orang. 

Cerita satu orang adalah cerita semua orang. Hubungan satu orang dapat berkaitan dengan hubungan banyak orang. Hari yang kita jalani adalah hari yang sama seperti hari-hari yang dijalani semua orang di seluruh dunia. Setiap kita selalu pada kondisi memperbaiki komunikasi dengan orang lain. Siapa pun kita, selama menjadi manusia, kita punya perasaan yang sama. Kita sama-sama manusia rapuh yang kacau, yang sedang belajar menerima rasa sakit.


Buku bisa dipesan di sini

Selasa, 01 Oktober 2024

Menikmati Hidangan dari Rasulullah


Pada pukul 01.30 dini hari, tiba-tiba saya terbangun dari tidur dengan mata seterang lampu 100 watt. Rasa kantuk hilang seketika. Saya mengucapkan selawat kepada Rasulullah Saw. sebanyak tiga kali, mengambil wudu, lalu salat. Kemudian, saya membangunkan istri untuk menceritakan mimpi yang baru saja saya alami.

Satu setengah jam sebelumnya, ketika masih membaca beberapa referensi untuk bahan menulis buku ini, saya tersentak melihat jam dinding telah menunjukkan pukul 00.00. Padahal esok paginya saya harus bangun dini hari untuk kerja. Saya langsung matikan lampu kamar dan berusaha untuk memejamkan mata. Dalam tidur yang sebentar itulah saya mimpi berjumpa dengan K.H. Fakhruddin Ahmad Baihaqi.

Dalam mimpi itu, saya tengah berkunjung ke sebuah rumah. Di dalamnya, tampak K.H. Fakhruddin tengah duduk bersila bersama beberapa orang. Saya mengucapkan salam lalu mendekat. Setelah saya cukup dekat, ia berdiri dan mengajak saya ke ruangan lain. Di ruangan itu tampak sebuah nampan berisi nasi kebuli di atas meja. K.H. Fakhruddin mempersilakan saya untuk makan. Nahas, belum sempat saya menyuap nasi kebuli yang tampaknya amat lezat itu, saya terbangun.

K.H. Fakhruddin yang saya mimpikan itu adalah kiai muda yang turut mengasuh saya ketika mondok di Pesantren Annida Al-Islamy di Bekasi. la sempat mengajari saya ilmu nahu dan mustalah al-hadis. Saya sungguh tidak memahami arti dan maksud mimpi tersebut. Mungkin lantaran saya pernah diajari olehnya akan hadis-hadis Rasulullah Saw. Mungkin karena adanya ikatan batin antara guru dan murid. Mungkin pula mimpi hanyalah bunga tidur. Segala kemungkinan lain juga punya peluang yang sama, akan tetapi saya percaya mimpi tersebut membawa pertanda baik.

Beberapa waktu berselang, saya berkunjung ke pesantren K.H. Fakhruddin. Kunjungan ini sengaja saya lakukan untuk bertanya perihal mimpi yang pernah saya alami. Setelah mendengarkan cerita mengenai mimpi itu, ia mengatakan bahwa pada malam saat saya bermimpi itu adalah malam terakhir sebelum ia berangkat umrah dan berziarah ke makam Rasulullah Saw. la juga mengomentari bahwa hidangan yang saya lihat dalam mimpi itu bisa jadi pertanda baik, sebab dalam bahasa Arab hidangan adalah "al-Maidah", dan nama ini menjadi salah satu nama surah dalam Al-Qur'an.

Saya mengamini apa yang disampaikan K.H. Fakhruddin. Sejak pertama kali masuk pesantren pada usia 12 tahun hingga hari ini rasa kagum saya kepadanya memang tidak pernah luntur. Saya mengagumi keikhlasan, ilmu, dan dedikasi yang ditunjukkannya dalam mendidik murid-muridnya. Kami para santri dilatih untuk selalu menghormati dan menjadikan guru sebagai mentor dan inspirasi. Dengan begitu, ilmu yang disampaikan para guru mudah-mudahan dapat cepat meresap dan seterusnya bermanfaat. Begitulah, dalam bahasa yang agak puitis, hubungan kami sebagai murid dengan K.H. Fakhruddin terwakili dalam senandung syair, "Man ana man ana laulaakum, kaifa maa hubbukum kaifa maa ahwaakum (Siapa gerangan diriku, siapakah diriku kalau tanpa bimbingan kalian [guru]. Bagaimana aku tidak mencintai kalian, dan bagaimana aku tak menginginkan tuk bersama kalian?)"

Dengan penuh kerendahan hati, saya mempersembahkan buku yang ada di tangan pembaca ini untuk guru kami, K.H. Fakhruddin, mattanallahu fi tuuli hayatihi (semoga Allah senantiasa memberikan kesenangan kepada kita dengan kehadiran beliau sepanjang hayat kita). Tidak lupa, saya juga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Bang Andriansyah Syihabuddin selaku editor Emir yang selalu memberikan ide dan saran untuk perbaikan naskah buku ini.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Direktorat KSKK Madrasah Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI atas panduan yang menjadi dasar penyusunan buku ini. Juga, semua guru, kawan, dan semua pihak yang terlibat secara langsung maupun tak langsung memberikan inspirasi dan kontribusi berarti dalam penyusunan materi buku ini beserta projek-projek penguatan karakter di dalamnya. Semoga buku ini menjadi sumber energi kreatif dan panduan yang bermanfaat dalam memperkokoh karakter generasi bangsa ke depan.

Akhir kata, penyusun yang daif dan faqir ini memohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam buku ini. Semua semata-mata berasal dari diri penyusun pribadi. Hanya kepada Allah yang Mahasuci kita mengembalikan segala urusan. Karena itu pula, semua saran dan kritik akan penyusun tampung untuk perbaikan buku ini pada masa yang akan datang.

Selamat menikmati hidangan ilmu pengetahuan dan hikmah dari hadis Rasulullah sallalahu ‘alaihi wa sallam. Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi wa sahbihi ajmain.




Minggu, 28 Juli 2024

Perjalanan untuk Menerima Rasa Sakit

Malam itu, kamu mengusulkan untuk pergi ke Bandung. Itu perjalanan yang tiba-tiba dan tanpa persiapan, berencana malam dan keesokan paginya pergi. Kemungkinannya dua; akan sangat menyenangkan atau menyusahkan.

Malam itu kamu memulai dengan memboking penginapan. Kamu mencari penginapan yang terjangkau dan mendapatkan di dekat alun-alun kota Bandung. Hal selanjutnya adalah transportasi, untuk menghemat budget, kita tidak memesan kereta langsung Bekasi-Bandung, tapi jurusan Bekasi-Ciamis yang berhenti di stasiun Cimahi.

Aira sedang berdiri di kursi sambil melihat pemandangan luar dari jendela kereta yang melaju, saat aku menghubungi nomor yang aku dapat dari internet, untuk menyewa motor yang akan kita gunakan selama di Bandung. Kamu tahu, yang membuat perjalanan menjadi menggairahkan adalah ruang-ruang spontanitas. Dimana kita tidak tahu yang akan terjadi, dan sejatinya memang kita tidak akan pernah tahu.

Sesampainya di stasiun Cimahi, kita bergegas dengan motor sewaan menuju hotel untuk menyimpan tas dan bersiap untuk makan siang. Rijsttafel, Meja Nasi, selalu menjadi pilihan utama. Rumah makan dengan aneka hidangan khas Belanda-Indonesia yang tidak pernah gagal membuat kita kagum. Aku memesan Nasi Bakar Kecombrang dengan sambal kecombrang yang unik khas Indonesia. Kamu memilih Nasi Tutug Oncom yang lebih tradisional lagi. Untuk Aira kamu memesan nasi putih dengan Tahu Goreng Kremes dan Tempe Mendoan, dan kita sama-sama kagum bagaimana mereka mendapatkan kualitas bumbu serta bahan yang premium ini. Kamu juga memilih makanan penutup yang sulit diucapkan; Bitterbalen dan Poffertjes. Kita juga mencoba segelas Mojito dan Es Cincau Hijau. Hidangan-hidangan itu tidak pernah mengecewakan, dan aku tidak pernah meragukan kemampuanmu menilai makanan.

Pada hari terakhir kita di kota itu, setelah mengunjungi beberapa tempat dan hutan, kita menyudahi dengan membeli Mie Ayam pinggir jalan. Karena kehabisan waktu untuk mengejar keberangkatan kereta, kita membungkus Mie Ayam itu dan berencana memakannya di dalam gerbong. Sambil mencari cara bagaimana memakan Mie Ayam tanpa sendok dan mangkuk.

Kita sadari kemudian bahwa hidup ini seperti perjalanan, ada hal yang terjadi di luar rencana, dan kendala dalam perjalanan selalu bisa membuat kita menemukan diri kita yang sejati.

Dari alam, berkali-kali kita mendapat kesejatian. Pohon-pohon di hutan tumbuh tidak beraturan, jalan pegunungan yang melelahkan serta matras di atas kerikil-kerikil hutan membuat tidur tidak tenang, dan ombak di tengah laut tidak pernah gagal membuat nyali kita ciut. Begitulah sejatinya alam dengan segala macam hal di dalamnya, begitualh sejatinya hidup. Hutan, gunung dan laut indah dengan segala yang ada padanya, sebagaimana hidup ini indah begini adanya.

Kamu tentu tidak akan melupakan kenangan ketika limbung saat menapaki kaki Gede Pangrango. Tubuhmu gemetar, perutmu teraduk-aduk, pandangan berkunang-kunang kemudian gelap, keringat bercucuran dan dingin menjalar di sekujur badan.

Atau ketika memandangi Gunung Agung dari kapal boat yang melaju menabrak-nabrak ombak dari Nusa Penida menuju Sanur, biru angkasa dan biru laut bersatu dengan latar balakang awan-awan putih dan puncak gunung yang menusuk angkasa.

Atau menyusuri jalan menggunakan motor sewaan ke tempat-tempat asing yang belum pernah kita kunjungi. Tersesat, terlambat, terhambat. Menikmati matahari dan hujan, debu dan kotoran. Kita kembali menjadi anak-anak yang bermain-main dengan kemungkinan, bertemu dengan hal-hal baru. Menerima segala apa yang ditawarkan perjalanan.

Di puncak gunung, kita belajar tentang keteguhan dan keberanian. Ombak laut yang bergulung tidak beraturan mengingatkan kita tentang masalah hidup yang sering tidak terduga. Dan dalam hutan yang rimbun, kita menemukan ketenangan dan hubungan dengan Sang Pencipta. Alam dan perjalanan mengajarkan kita banyak hal, terutama mengajarkan untuk menghargai setiap kondisi apapun.

Seandainya ada kehidupan lain yang bisa kita pilih, apakah kamu akan memilih kehidupan lain atau kehidupan yang sekarang sedang kita jalani bersama? Apakah kehidupan orang lain lebih baik dari kehidupan kita sekarang? Ataukah kehidupan ini, menjadi apapun itu, seperti alam, indah begini adanya?

Seperti mendaki gunung, masalah dan kesakitan adalah tantangan yang memperkaya kita. Dalam usaha memahami kesakitan, kamu mendengar Come Back to Me - Nam Joon, yang dalam perjalanan kita ini semakin menemukan relevansinya.

You don't have to be
You don't have to be the anything you see
Tryin' not to be
Tryin' not to be that something in this sea
Come back to me like you used to
Now I could see what a life is about
I told you I'm fine tonight, staying good
Springs always been here, I will sleep in her eyes

Jika ingin diterjemahkan bebas, lirik itu akan terdengar:

Kamu tidak harus menjadi seperti keinginan banyak orang. Jadi jangan mencoba menjadi orang lain agar sesuai dengan lingkungan sosial masyarakat. Kembalilah padaku seperti dulu, karena saat ini aku sudah mengerti tentang makna hidup. Meskipun ada kesulitan, malam ini aku akan baik-baik saja. Apapun kondisinya, musim semi seperti selalu menemaniku, karena aku sudah menemukan kedamaian dan kenyamanan.

Secara keseluruhan, lirik itu berbicara tentang pencarian jati diri, makna hidup, dan mendapat ketenangan setelah keresahan.

Apa keresahan yang ada padamu saat ini?

Mungkin rumah yang berantakan, piring-piring kotor, cucian kotor yang menumpuk, AC yang tidak dingin, kipas angin yang berdebu, atap yang bocor, semut, kecoa dan tikus, kehabisan uang, kendaraan rusak, keinginan yang tidak tercapai, anak-anak yang sulit diatur, lelah, sakit, bingung, sedih dan segala hal yang tidak sesuai ekspektasi, termasuk aku dan manusia-manusia di sekitarmu.

Hidup ini adalah perjalanan, bukan liburan. Dalam perjalanan, kita dihadapkan pada persoalan yang meresahkan, namun juga menemukan pelajaran. Proses dalam perjalanan menjadi lebih penting daripada tujuan, walaupun di saat yang sama, kita tidak perlu terlalu khawatir tentang akomodasi perjalanan, karena bisa sampai ke tempat tujuan dengan perasaan bahagia adalah juga utama.

Sebelum naik ke gerbong kereta, kita membeli Pop Mie di Alfamart di Stasiun Cimahi. Bukan untuk dimakan, tapi digunakan wadahnya untuk tempat Mie Ayam. Masalah selesai. Tentu kita punya banyak waktu untuk berdebat, emosional dan mencari siapa yang salah, meributkan hal-hal kecil, namun itu tidak kita lakukan. Kita mengikhlaskan beban.

Apakah ada kebahagiaan dalam perjalanan ini?

Ini tentang cara pandang, sayang. Karena mudah saja seseorang bahagia pada hal-hal yang tercukupi dan sesuai keinginan, namun apakah kita bisa tetap bahagia ketika menemui masalah dan kesulitan?

Pada kesulitan dan tekanan hidup itulah kita dapat menemukan kebahagiaan yang sejati. Kita bisa lihat contoh yang nyata pada senyum dan mata yang tenang dari seorang anak di Gaza, yang senyumnya makin terkembang hanya karena ditawari makanan kesukaannya. Padahal seluruh keluarganya mati terbunuh. Apalah arti masalah hidup kita di mata anak itu?

Apapun atau siapapun dapat menyebabkan rasa sakit, namun pada saat yang sama, perasaan sakit itu sakral. Karena itu menjadi pengalaman berharga yang memperkaya jiwa. Dalam dualitas tersebut —sakit dan makna yang menyertainya, kita tumbuh. Meskipun rasa sakit itu tidak kita inginkan, tapi perubahan yang ditimbulkan luar biasa, suci, Ilahi, divine.

You are my pain, divine, divine
Get, get, get to the
Divine, divine, so fine
I see you come back to me

Pada akhirnya, perjalanan ini ada demi mengajarkan kita untuk bekerja sama dan mengikhlaskan rasa sakit.