Halaman

Jumat, 27 Juni 2025

Kita Semua Pernah Jadi Anak Muda yang Takut Terlihat Bodoh

Ketika Sam memberi kabar ingin naik angkot dari Stasiun Bekasi Timur ke rumah saya, tanpa pikir panjang saya langsung menelepon. "Udah di mana, Sam?"

"Di angkot K-11, Bang!" jawabnya dengan nada yang terlalu percaya diri untuk seseorang yang baru pertama kali ke Stasiun Bekasi Timur.

"Mau ke mana?"

"Ke Terminal Bekasi. Nanti dari situ gue lanjut angkot ke Mustikasari."

Saya menahan tawa.

"Eh, Samsul! Itu dari stasiun ke terminal cuma 400 meter, jalan kaki juga sampe. Ngapain naik angkot?"

"Beda, Bang," jawabnya sok tahu, masih penuh percaya diri. "Itu Terminal Bekasi Timur. Gue mau ke Terminal Bekasi Kota."

Dan di situlah saya tidak tahan. Tawa saya meledak.

"Terserah lu dah, Sam. Ntar kalau nyasar, telpon aja ya. Gue jemput... sambil bawa tim SAR."

Seumur-umur tinggal di Bekasi, baru kali ini saya dengar ada yang nyebut “Terminal Bekasi Timur” seolah-olah itu adalah Peron 9¾ dalam Harry Potter yang diketahui oleh para penyihir dan saya hanyalah Muggle berdarah kotor. Dan Sam tentu saja, si darah murni yang pede tapi ceroboh, si Ron Weasley.

Satu jam kemudian, Sam muncul di depan rumah, ketika saya sedang mencuci motor di halaman. Mukanya kucel, langkahnya pelan.

“Nyerah gue, Bang. Akhirnya naik ojol…”

Saya kembali tertawa sambil mengajaknya masuk.
 

Petualangan random dan impulsif Sam sering kali membuat saya tersenyum, bukan hanya karena kekonyolannya, tapi karena dia seperti tayangan ulang hidup saya sendiri. Tidak ada yang lebih spontan daripada keputusan saya untuk menikah saat masih kuliah semester enam, di usia dua puluh empat tahun. Kalau manusia normal lulus kuliah dulu, baru menikah. Saya justru punya anak dulu, baru wisuda. Mungkin begitulah cara saya memandang hidup: bukan soal mengikuti urutan, tapi menunggu saat yang tepat untuk bertindak.

Seperti Sam, saya juga pernah ada di usia dua puluhan, penuh semangat, lapar petualangan, haus akan dunia luar, dan kadang bertemu dengan orang-orang yang bahkan tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Saya ingat suatu hari, saya duduk di dalam bus antarkota di Stasiun Bekasi—bukan, bukan Bekasi Timur, haha. Seorang pria muda duduk di sebelah saya, pria muda biasa saja. Tapi yang terjadi selanjutnya membuat saya tercengang. Setiap kali pedagang asongan masuk, mereka menyapa pria itu dengan hormat, bahkan menyodorkan dagangan mereka untuk diambil gratis. Seperti ritual kecil, mereka lewat, menyapa, menyembah dalam bahasa tubuh, lalu berlalu.

Saya yang biasanya diminta beli oleh pedagang asongan dengan setengah dipaksa, mendadak jadi penumpang kelas sultan. Bukan karena status, tapi karena posisi. Saya duduk di sebelah orang yang diam-diam punya kekuasaan.

Karena penasaran, ketika bus mulai berjalan, saya bertanya. Pria itu menjawab dengan tenang, dan terlalu detail untuk ukuran orang biasa, bahwa dia adalah “Kang Mus”-nya Terminal Bekasi.

Seketika, saya merasa terlindungi dan terancam sekaligus. Terlindungi karena saya tahu siapa yang duduk di samping saya. Terancam karena wajahnya seperti gabungan antara ketua yakuza dan kesopanan Don Corleone dalam The Godfather. Ada karisma yang membuat semua orang tunduk, tapi tak satu pun tahu bagaimana cara berdamai dengannya.

Dan karena itulah, ketika saya melihat Sam hari ini, saya seperti melihat parodi dari diri saya sendiri. Sama-sama ingin mengalami hidup dengan sebenar-benarnya, tanpa filter, tanpa kepura-puraan, namun sering kali tanpa rencana. 

Petualangan yang kadang berakhir sebagai kekacauan kecil. Tapi saya tahu, seperti dalam hidup saya dulu, kekacauan itu hanya menunggu giliran untuk berubah menjadi lucu di masa depan, tragedi yang bermetamorfosis jadi komedi, jika diberi cukup waktu dan sudut pandang.

Dulu, saya suka naik Honda Astrea 800 ke tempat-tempat baru tanpa arah, hanya ditemani semangat dan indikator bensin yang rusak. Kadang motor mogok, kadang saya kehabisan bensin dan uang, dan solusi paling masuk akal waktu itu adalah menitipkan motor di sekolah.

Sam juga pernah mengalami hal serupa: kehabisan uang dan motornya mogok di tengah jalan. Tapi yang dia lakukan jauh lebih ekstrem; dia menelpon damkar. Ya betul, Dinas Pemadam Kebakaran.


Sam adalah adik angkatan saya di kampus. Ia baru saja terpilih sebagai Ketua BEM dan datang untuk berdiskusi soal organisasi, juga sekalian meminjam tenda. Kebetulan, kami memang punya hobi yang sama: kemping dan naik gunung. Dan siang itu, di ruang tamu, di tengah es kopi dan ransel kusam yang robek di beberapa bagian, ia bercerita rencananya mendaki Gunung Gede Pangrango.

Dengan kelakuan randomnya, saya membayangkan Sam sampai di basecamp, duduk sebentar, buka ChatGPT, lalu mengetik: “Jalur tercepat summit Gede Pangrango naik kuda?”

Saya bisa membayangkan dia menyerahkan logistik ke porter sambil bilang, “Bawa sampai ke camping ground ya, Mang!”

Porter bertanya, “Ke Suryakencana?”

“Bukan, Mang. Jangan ngerjain saya! Dikira saya nggak tahu." Sam dengan percaya diri menjawab, "Ke Surya... Insomnia.”


Kami sama-sama anak pesantren. Entah mengapa, sesama santri seolah memiliki frekuensi batin tersendiri. Mungkin karena sejak kecil kami sudah jauh dari rumah, tumbuh dewasa tanpa banyak campur tangan orang tua, berusaha memahami sendiri segala hal tentang hidup, dan dengan pemahaman-pemahaman pribadi tentang jiwa dan kehidupan itulah yang menjadi acuan kami dalam menjalani hari.

Mungkin karena itu pula, kami lebih mudah berempati terhadap perjuangan orang lain, kuliah sambil bekerja, tidak betah diam di rumah, selalu ingin bergerak dan mencari makna. Bukan karena kami merasa lebih baik, tetapi karena hidup memang tidak memberi pilihan lain selain menjadi kuat.

Walaupun awalnya saya sempat mencium aroma keminderan dari Sam, terutama saat pertama kali kami ngobrol soal pondok, sambil menyeruput Pop Mie.

“Lu mondok di mana, Bang?” tanya Sam sambil meniup uap mie yang mengepul dari gelas.

“Annida Bekasi. Kiai Muhajirin,” jawab saya mantap. Lalu saya balik bertanya, “Lu sendiri, mondok di mana, Sam?”

Awalnya dia hanya geleng-geleng kepala, tidak mengaku, atau enggan menjawab. Tapi setelah saya desak pelan-pelan, dia mencoba mengelak, dan akhirnya malah blunder.

“Gue juga... pesantren. Di Bekasi,” katanya ragu-ragu.

Saya tersenyum. “Sebut nama pondoknya. Gak ada pesantren di Bekasi yang nggak gue kenal.”

Sam menunduk sebentar, seperti sedang beristighfar dalam hati. Akhirnya dia menyerah dan mengaku pelan, “Gue mondoknya di Rocek, Banten.”

“Oh ya? Apa nama pondoknya?” saya terus mencecar, penasaran.

Sam menatap saya sejenak, lalu berkata, “Pondok lu NU, ya, Bang? Nah... kalau pondok gue... musuhnya NU dah.”

Saya hampir tersedak mie karena tidak bisa menahan tawa mendengar jawaban polos itu.


Sam, Sam... kata saya dalam hati. Kita ini cuma beda metode penafsiran dalil, dan soal qunut di salat Subuh. Karena dalam pandangan saya, satu-satunya musuh NU itu ya ateisme.

Kalau memang begitu, saya jadi membayangkan Sam ikut halaqah bersama orang-orang berjenggot panjang yang meniru gaya Feuerbach atau Marx, duduk melingkar sambil mutholaah kitab Das Kapital, lalu wiridan penuh semangat dengan dzikir: “Agama adalah candu, candu, canduuu...”

Tidak ada yang lebih lucu dari bayangan itu.

Tapi juga, tidak ada yang lebih indah daripada menyadari bahwa di balik segala perbedaan, kita masih bisa duduk bersama, tertawa, dan menemukan kesamaan. Bahwa jika kita mau berbicara —bukan sekadar untuk didengar, tapi untuk saling mendengarkan dan memahami— kita mungkin akan terkejut oleh betapa banyaknya persamaan yang tersembunyi di balik label dan prasangka.

Persamaan hobi, bacaan, tontonan, pandangan, bahkan prinsip hidup, sering kali jauh lebih banyak daripada perbedaan-perbedaan kecil yang kerap dibesar-besarkan.

Kami sepakat bahwa tidak ada satu wajah tunggal untuk NU, ataupun untuk Salaf. Di dalamnya ada spektrum: dari yang paling progresif hingga yang paling konservatif. Mereka bisa saja berada dalam satu barisan, satu bendera, atau satu istilah, namun pikiran dan pendekatan mereka bisa sangat berbeda, bahkan saling bertentangan.

Maka, jangan berharap menemukan satu NU, atau satu Salaf. Karena yang tunggal hanyalah Islam itu sendiri, yakni kepasrahan kepada Tuhan, yang tidak bisa dimonopoli. Yang tunggal adalah kemanusiaan itu sendiri.

Sebagai sesama manusia, saya dan Sam punya banyak kesamaan, salah satunya dalam hal sastra. Pernah suatu hari, setelah saya membagikan puisi lewat status WhatsApp, Sam mengirim pesan, “Bang, gua mau nyampein sesuatu nih. Setiap kali gua liat lu, gua langsung keinget Zafran di film 5cm.”

“Wah, panggil gue Zafran mulai sekarang!” jawab saya sok keren.

Sam tertawa. “Gua dari kecil udah nonton 5cm, tapi baru kesampean naik gunung pas kuliah. Film yang pasti gua tonton dulu tuh: 5cm, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, AADC, Gie, Supernova. Pokoknya yang ada aroma-aroma sastranya lah.”

“Buset! Jadul bener tontonan lu!” saya merespons kaget. Beberapa film yang Sam sebut bahkan rilis sebelum dia bisa bicara, bahkan sebelum ia lahir.

“Iya juga sih,” katanya sambil nyengir. “Tapi gua suka karena ada sentuhan sastranya gitu, Bang. Dulu gua tuh sastrawan banget anaknya.”

“Lah, mana? Sini gua baca puisi-puisi lu,” kata saya penasaran.

“Duh, udah jadi suhuf-suhuf sekarang, Bang.”

“Suhuf? Umur 40 kayaknya bisa jadi nabi lu!” saya membalas sambil tertawa.


Kalau Sam bilang saya Zafran, maka saya bisa bilang Sam adalah Soe Hok Gie, keras kepala tapi penuh hati, berani mengambil risiko, berani disalahpahami, dan tidak pernah gentar hidup di tengah arus tantangan.

Gie adalah suara sunyi yang tak menunggu dukungan untuk bersuara. Sam pun begitu, kadang impulsif, kadang gegabah, tapi selalu jujur pada nuraninya. Dan justru di balik setiap kecerobohannya, saya melihat cermin kita semua: manusia biasa yang pernah bodoh, kadang bijak, sering salah, tapi tak pernah berhenti belajar.

Dan bagi saya, anak muda seperti itu, yang berani hidup dengan segala cacat dan keyakinannya, jauh lebih berharga daripada mereka yang sibuk tampak sempurna.