Kecoak memulai percakapan, “hai tempat sampah, kau tahu dimana kepalaku?”
Dapur itu sangat hening. Jika ada selembar rambut jatuh, suaranya akan terdengar menggelegar dan mengagetkan seisi rumah.
“Aku tidak tahu. Yang aku tahu; aku tidak tahu kalau kau punya kepala.” Jawab tempat sampah retak sejujurnya, atau mungkin sebohongnya.
“Ya, kemarin ada manusia iseng menginginkan kepalaku untuk dijadikan koleksi,”
“lalu?” potong tempat sampah penasaran.
“ya lalu aku mencari-cari tempat dimana ia menyimpan kepalaku, atau mungkin juga kepala-kepala binatang-binatang lain. Apakah manusia pernah bercerita dimana ia menyimpannya padamu?”
“Loh, bagaimana mungkin tanpa kepala kau masih hidup?” tanya tempat sampah tanpa menghiraukan pertanyaan kecoak.
“Tuhan masih mau menangguhkan umurku seminggu. Tapi setelah satu minggu itu aku akan mati.” jelas kecoak.
“Kenapa mati?” tanya tempat sampah lugu, atau mungkin dungu.
“Karena tanpa kepala aku nggak bisa makan, bodoh!” jawab kecoak serius, atau mungkin sinis, atau mungkin ingin melucu.
Dapur itu masih hening. Bahkan jika ada selembar rambut jatuh, suaranya akan terdengar menggelegar dan mengagetkan seisi rumah.
“Kenapa manusia itu begitu jahat? Apa kau punya salah?” Tempat sampah empati.
“Tentu ada!” jawab kecoak datar. Juga ingin membuat celah pertanyaan.
“Apa?” tempat sampah retak bertanya bingung.
“Kesalahanku adalah karena aku dilahirkan sebagai kecoa tak berkepala.” Kecoak puas.
“...” tempat sampah mengangguk diam. Dalam hatinya ada pertanyaan yang tidak berani ia tanyakan; sejak kapan kecoak tidak punya kepala.
Dapur itu mulai menggeliat.
“Terimakasih tempat sampahku yang baik!” kata kecoak menutup puisinya.
Bekasi, 4 Oktober 2007