Selasa, 08 November 2011

Ini tentang Dunia, Masalah dan Kefanaan Hidup

Malam itu gue pulang kerja dengan perasaan super capek. Ini bukan sejenis capek karena habis ngebajak sawah satu hektar. Ini capek yang kalo lo rebahan di tempat tidur jam sembilan malem, lo baru bisa mejamin mata jam tiga pagi. Pikiran mengawang-awang tanpa juntrungan.

Dengan keadaaan seperti itu, gue berharap di rumah istri gue telah nyediain makanan. Anak gue menyambut dengan senyuman yang paling manis, seperti biasanya. Gue akan makan malam dengan cepat dan istirahat dengan cepat. Dan segala macam kecapekan akan menguap.

Tapi sesampainya di rumah, pintu-pintu sudah terkunci rapat dan beberapa lampu sudah dimatikan. Gue segera membuka pintu dan mendapati makanan telah dingin di atas meja makan. Istri gue mungkin sudah terlelap di dalam kamar, sama lelahannya dengan gue bahkan lebih.

Gue punya dua pilihan:

1. Ngomel dan gondok dalem hati
2. Terima saja dan melanjutkan hari seperti biasa

Gue ambil pilihan kedua.

I thought, it can still be fine anyway. Even though it may not be as hoped. Kalo gue bertindak dan berpikiran buruk, keadaan akan semakin memburuk. Maka gue pergi ke dapur dan memanaskan makanan sendiri.

...

Ada orang yang pernah bilang kalo masalah hidup ini hanyalah sebatas apa yang kita pikirkan. Sesuatu akan menjadi baik jika pikiranmu baik, juga sebaliknya.

Awal mendengar kalimat itu, mati-matian gue nggak percaya. Gimana lo bisa baik-baik saja kalo keadaannya duit lo abis digasak maling dan rumah lo kebakaran? Atau lo dihianatin orang yang paling dipercaya? Atau lo nggak juga dapet-dapet jodoh? Gimana kalo keadaannya kita tinggal di sebuah Negara terkorup dengan lingkungan yang penuh dengan kekerasan dan kemaksiatan?

Bisakah masih berpikir segala sesuatunya baik-baik saja?

...


Ya.

Finally, gue mengakui... kalo hidup itu akan berjalan baik-baik saja, tinggal kita yang menjalani hidup bisa mengakuinya atau nggak...

Gue pernah nonton film The Road, sebuah film kelam hasil adaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Cormac McCarthy. Dalam film itu dunia digambarkan berada pada masa kegelapan, tanpa harapan. Dunia redup tanpa sinar matahari. Tanpa bahan makanan. Orang-orang makan dengan cara yang paling kuno, membunuh orang lain. Sementara banyak orang yang putus asa, memutuskan untuk bunuh diri. Yang masih bertahan menjadi orang baik, kelaparan dan mati. Yang sudah tidak tahan, menjadi kanibal.



Hidup ini fana, kawan. Dan, adakah kefanaan dan kesia-siaan hidup perlu diabadikan? Nggak perlu kayaknya. Walaupun mungkin kefanaan itu juga jadi penyelamat. Karena pada kenyataanya, dunia atau kehidupan memang bukan tempat yang strategis untuk ditinggali, tapi merupakan tempat yang tepat untuk mencari ceceran kesempatan —karena kefanaan dan kesia-siaan ternyata masih menyisakan beberapa kesempatan.

Pada bagian yang paling buruk sekalipun pasti ada kebaikan. Karena menjalani hidup dengan baik adalah dengan terus bertahan menjadi baik.

Dan malam ini gue membaca sebuah status dari Gus Yahya Cholil Staquf, ‎"Bagi mereka yang sempurna keyakinannya akan kasih-sayang Allah, barangkali kekuatiran dan kesedihan itu konyol."