Suatu pagi, sepulang kerja, saya
mampir ke tukang photocopy untuk membeli sampul plastik untuk beberapa buku. Di
sana, saya melihat ada beberapa rubik digantung di atas etalasa kaca depan, ketika
saya pegang, salah satu rubik itu jatuh dari gantungannya. Mungkin ini jalan
untuk benda ini jadi milik saya, pikir saya waktu itu. Sejujurnya saya masih
percaya pertanda. Maka saya beli dan bawa rubik itu pulang.
Sampai di rumah, Nada memegang
rubik itu dengan tampang heran bercampur senang, sambil tak henti-hentinya
bertanya. Ini apa, Pak? Mainnya gimana? Kok bisa diputer? Ini buat Nada? Dedek
boleh ikutan main? Seperti anak kecil seusianya yang selalu penasaran, matanya
berkilat-kilat melihat mainan yang baru pertama kali ia lihat, tanpa peduli
bagaimana cara memainkannya.
Sampai ketika ia berhasil
mengacak-acak warna-warni itu, dia datang kepada saya dan meminta disusun ke
bentuk awal. Di situlah saya baru sadar; saya nggak bisa. Nada terus meminta,
melihatnya senang dengan mainan itu, saya menyanggupi untuk membuat rubik itu
ke bentuk awal.
Dua hari belajar, dengan bantuan
internet, saya menghapal rumus rubik dan mampu menyusun kembali ke bentuk awal.
Saya memberikan rubik yang telah sempurna itu ke Nada, ia senang, dan itu juga
membuat saya senang. Ia memainkannya, maksud saya mengacak-acaknya lagi, dan
memberikan pada saya untuk disempurnakan. Saya melakukan lagi. Ia kembali
mengacak dan saya kembali membentuknya. Begitu terus sampai beberapa kali, dan
kemampuan saya untuk menyelesaikan makin cepat, dan bagi saya membentuk rubik
menjadi hal yang tidak lagi sulit.
Saya pernah memegang dan
mengutak-atik rubik, tapi menyelesaikan ke bentuk sempurna baru kali itu saya
lakukan. Berhasil menyelesaikan rubik bukanlah hal yang terlalu membahagiakan
buat saya, bahkan menurut saya biasa saja. Dengan sedikit usaha, semua orang
bisa melakukannya, tapi tentu saja tidak semua orang mau melakukan usaha itu.
Saya mempelajarinya dengan hati yang ringan, dengan niat bahwa saya punya janji
kepada Nada. Jadi tujuan saya menyelesaikan rubik bukan untuk menyelesaikan
rubik, tapi karena ingin melihat Nada senang. Saya pikir itulah energi yang
menggerakan; menjadikan usaha yang cukup sulit —terutama buat saya, menjadi
tidak terasa sama sekali. Saya semakin menyadari energi itu ketika tahu bahwa
kawan saya yang telah beberapa tahun berlajar tapi tidak juga bisa. Saya pikir
dia bukan tidak mampu, tapi kekurangan motifasi. Kekurangan energi.
Tiba-tiba saya ingat energi
cinta. Tentang bahwa sejarah baru berubah ketika kita mampu memanfaatkan
kekuatan cinta. Seperti kita memanfaatkan tenaga angin, tenaga air, atau tenaga
atom. Begitulah, rubik itu datang kepada saya untuk mengajarkan tentang energi
cinta. And when it comes, I lose control.