Rabu, 18 Februari 2015

Rubik dan Sebentuk Energi

Suatu pagi, sepulang kerja, saya mampir ke tukang photocopy untuk membeli sampul plastik untuk beberapa buku. Di sana, saya melihat ada beberapa rubik digantung di atas etalasa kaca depan, ketika saya pegang, salah satu rubik itu jatuh dari gantungannya. Mungkin ini jalan untuk benda ini jadi milik saya, pikir saya waktu itu. Sejujurnya saya masih percaya pertanda. Maka saya beli dan bawa rubik itu pulang.

Sampai di rumah, Nada memegang rubik itu dengan tampang heran bercampur senang, sambil tak henti-hentinya bertanya. Ini apa, Pak? Mainnya gimana? Kok bisa diputer? Ini buat Nada? Dedek boleh ikutan main? Seperti anak kecil seusianya yang selalu penasaran, matanya berkilat-kilat melihat mainan yang baru pertama kali ia lihat, tanpa peduli bagaimana cara memainkannya.

Sampai ketika ia berhasil mengacak-acak warna-warni itu, dia datang kepada saya dan meminta disusun ke bentuk awal. Di situlah saya baru sadar; saya nggak bisa. Nada terus meminta, melihatnya senang dengan mainan itu, saya menyanggupi untuk membuat rubik itu ke bentuk awal.

Dua hari belajar, dengan bantuan internet, saya menghapal rumus rubik dan mampu menyusun kembali ke bentuk awal. Saya memberikan rubik yang telah sempurna itu ke Nada, ia senang, dan itu juga membuat saya senang. Ia memainkannya, maksud saya mengacak-acaknya lagi, dan memberikan pada saya untuk disempurnakan. Saya melakukan lagi. Ia kembali mengacak dan saya kembali membentuknya. Begitu terus sampai beberapa kali, dan kemampuan saya untuk menyelesaikan makin cepat, dan bagi saya membentuk rubik menjadi hal yang tidak lagi sulit.

Saya pernah memegang dan mengutak-atik rubik, tapi menyelesaikan ke bentuk sempurna baru kali itu saya lakukan. Berhasil menyelesaikan rubik bukanlah hal yang terlalu membahagiakan buat saya, bahkan menurut saya biasa saja. Dengan sedikit usaha, semua orang bisa melakukannya, tapi tentu saja tidak semua orang mau melakukan usaha itu. Saya mempelajarinya dengan hati yang ringan, dengan niat bahwa saya punya janji kepada Nada. Jadi tujuan saya menyelesaikan rubik bukan untuk menyelesaikan rubik, tapi karena ingin melihat Nada senang. Saya pikir itulah energi yang menggerakan; menjadikan usaha yang cukup sulit —terutama buat saya, menjadi tidak terasa sama sekali. Saya semakin menyadari energi itu ketika tahu bahwa kawan saya yang telah beberapa tahun berlajar tapi tidak juga bisa. Saya pikir dia bukan tidak mampu, tapi kekurangan motifasi. Kekurangan energi.


Tiba-tiba saya ingat energi cinta. Tentang bahwa sejarah baru berubah ketika kita mampu memanfaatkan kekuatan cinta. Seperti kita memanfaatkan tenaga angin, tenaga air, atau tenaga atom. Begitulah, rubik itu datang kepada saya untuk mengajarkan tentang energi cinta. And when it comes, I lose control.