Minggu, 15 Februari 2015

Keadilan dan Kebaikan Bagi Semua

“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berbuat adillah karena ia lebih mendekati ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q. S. Al Maa’idah: 8)

"It is a man's own mind, not his enemy or foe, that lures him to evil ways." – Buddha

Setelah pembunuhan 3 orang Muslim oleh seorang atheis di Chapel Hill kemarin (February 10, 2015), banyak Muslim yang menghujat pemberitaan media mainstream Amerika yang tidak adil. Melalui tulisan ini saya tidak ingin menambah kritikan tersebut, hanya mau menanyakan hal yang lebih esensial; kapan media bertindak adil dan tidak memihak?

Saya hawatir bukan media yang bertindak tidak adil, tapi para penonton atau pembaca yang menginginkan pemberitaan tidak adil itu. Bagaimanapun mereka jualan, dan penjual menjual apa yang diinginkan pembeli. Sama seperti di Indonesia ketika terjadi konflik Israel-Palestine, hampir seluruh media mainstream di Indonesia membela Palestine. Ketika itu, pernahkah kita memprotes bahwa media mainstream di Indonesia memihak? Tidak, karena kita memang menginginkan berita yang memihak itu. Kita memilih untuk membaca, melihat dan mendegarkan media yang memihak Palestine daripada Israel.

Kemudian media yang memihak Palestine berkilah bahwa mereka telah adil memberitakan, kemudian media yang memihak Israel (iya di sana, bukan di Indonesia) berkilah bahwa mereka telah berlaku adil. Kemudian mereka yang membenci Yahudi mengatakan kejahatan itu merupakan konspirasi Yahudi. Kemudian sebagian pembenci Islam mengatakan itu adalah bukti ajaran Islam yang brutal. Dan tidak ada yang mau dikritik apalagi disalahkan.

Jadi jika ada yang berteriak media jangan memihak, memang sudah sejak lahir mereka telah memihak. Bahkan bukan hanya media yang memihak, para penonton pun memihak, memihak pada apa yang ingin mereka dengar dan lihat. Jika ada yang tidak sesuai dengan keinginan mereka maka mereka berteriak media memihak, tapi jika media menayangkan apa yang ingin mereka dengar, mereka bilang media telah adil.

Keberpihakan media memang menjadi masalah, namun keberpihakan para penikmat media adalah masalah lain. Pada akhirnya semua tergantung kepada individu masing-masing, kita yang mememegang remot kontrol TV masing-masing kan? Kita juga bebas memilih bacaan mana yang ingin kita baca.

Pertanyaan selanjutnya adalah; bisakah kita meminta diri sendiri untuk bersikap adil sebelum menyuruh orang lain melakukannya?

Begini, saya pernah mendengar seorang pemuka agama ditanya ketika ada orang yang mengatasnamakan agama menyerang atau melakukan aksi kekerasan, “Itu bukan perbuatan orang-orang yang beragama.”

Setengah bercanda saya mau bilang, mungkin orang yang tidak beragama kesal sehingga melakukan penembakan di Chapel Hill kemarin. Setelah itu, mungkin saja ada pemuka atheis yang mengatakan perkataan yang kurang lebih sama, “Itu bukan perbuatan orang-orang yang tidak beragama.”

Ah, itu hanya candaan saya saja. Inti dari candaan itu adalah kritik kepada diri sendiri; kita membenci stereotiping sambil tetap menstereotipkan hal-hal lain. Ketika orang Muslim melakukan kekerasan, kita mengatakan jangan stereotiping, jangan menyalahkan agama tapi orangnya. Tapi ketika ada seorang Yahudi misalnya melakukan hal yang sama, kita membenci seluruh agamanya. Apakah itu adil?

Intinya, lewat tulisan ini saya ingin mengatakan bahwa tindak kejahatan atau tindakan kekerasan kepada orang lain adalah berdasarkan tindakan dan pikiran mereka sendiri. Apakah agama dan keyakinan memberikan kontribusi? Tentu saja, tapi agama dan keyakinan versi mereka, dengan tafsiran mereka. Agama bisa dipilih-pilih, diambil salah satu yang menarik bagi seseorang karena enak dan sesuai dengan seleranya. Emha Ainun Nadjib pernah bilang, “Semua pemeluk Islam berjuang dengan pandangan-pandangannya masing-masing mendekati sejatinya Islam. Sehingga tidak ada satu kelompok pun yang legal dan logis untuk mengklaim bahwa Islam yang benar adalah Islamnya kelompok ini atau itu. Kalau ada teman melakukan perjuangan "islamisasi", "dakwah Islam", "syiar Islam", bahkan perintisan pembentukan "Negara Islam Indonesia" – yang sesungguhnya mereka perjuangkan adalah Islamnya mereka masing-masing.”

Kemudian, bisakah sumber dari agama dipersalahkan? Bisa saja, tapi ingat, sumber itu tidak berdiri sendiri, ada konteks ketika sumber/dalil itu turun, ada juga penafsiran yang beragam. Apapun agama atau bukan agamanya, tindakan baik akan selalu baik dan tindakan jahat akan selalu jahat. Orang berlaku jahat karena ia ingin berlaku jahat, walaupun ia meniatkan kebaikan. Seperti kata Gandhi, "I object to violence because when it appears to do good, the good is only temporary; the evil it does is permanent."

Saya tidak sedang membela atau menentang siapun di sini, hanya ingin berlaku adil. Jadi mari berlaku adil dan baik kepada semua orang, walau mereka yang kita benci.


Wallahu'alam bissowab