“Dan janganlah kebencianmu
terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berbuat adillah karena ia
lebih mendekati ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q. S. Al Maa’idah: 8)
"It is a man's own mind, not
his enemy or foe, that lures him to evil ways." – Buddha
Setelah pembunuhan 3 orang Muslim
oleh seorang atheis di Chapel Hill kemarin (February 10, 2015), banyak Muslim
yang menghujat pemberitaan media mainstream Amerika yang tidak adil. Melalui
tulisan ini saya tidak ingin menambah kritikan tersebut, hanya mau menanyakan
hal yang lebih esensial; kapan media bertindak adil dan tidak memihak?
Saya hawatir bukan media yang
bertindak tidak adil, tapi para penonton atau pembaca yang menginginkan
pemberitaan tidak adil itu. Bagaimanapun mereka jualan, dan penjual menjual apa
yang diinginkan pembeli. Sama seperti di Indonesia ketika terjadi konflik
Israel-Palestine, hampir seluruh media mainstream di Indonesia membela
Palestine. Ketika itu, pernahkah kita memprotes bahwa media mainstream di
Indonesia memihak? Tidak, karena kita memang menginginkan berita yang memihak
itu. Kita memilih untuk membaca, melihat dan mendegarkan media yang memihak
Palestine daripada Israel.
Kemudian media yang memihak
Palestine berkilah bahwa mereka telah adil memberitakan, kemudian media yang
memihak Israel (iya di sana, bukan di Indonesia) berkilah bahwa mereka telah
berlaku adil. Kemudian mereka yang membenci Yahudi mengatakan kejahatan itu
merupakan konspirasi Yahudi. Kemudian sebagian pembenci Islam mengatakan itu
adalah bukti ajaran Islam yang brutal. Dan tidak ada yang mau dikritik apalagi
disalahkan.
Jadi jika ada yang berteriak
media jangan memihak, memang sudah sejak lahir mereka telah memihak. Bahkan
bukan hanya media yang memihak, para penonton pun memihak, memihak pada apa
yang ingin mereka dengar dan lihat. Jika ada yang tidak sesuai dengan keinginan
mereka maka mereka berteriak media memihak, tapi jika media menayangkan apa
yang ingin mereka dengar, mereka bilang media telah adil.
Keberpihakan media memang menjadi
masalah, namun keberpihakan para penikmat media adalah masalah lain. Pada
akhirnya semua tergantung kepada individu masing-masing, kita yang mememegang
remot kontrol TV masing-masing kan? Kita juga bebas memilih bacaan mana yang
ingin kita baca.
Pertanyaan selanjutnya adalah;
bisakah kita meminta diri sendiri untuk bersikap adil sebelum menyuruh orang
lain melakukannya?
Begini, saya pernah mendengar
seorang pemuka agama ditanya ketika ada orang yang mengatasnamakan agama
menyerang atau melakukan aksi kekerasan, “Itu bukan perbuatan orang-orang yang
beragama.”
Setengah bercanda saya mau bilang,
mungkin orang yang tidak beragama kesal sehingga melakukan penembakan di Chapel
Hill kemarin. Setelah itu, mungkin saja ada pemuka atheis yang mengatakan
perkataan yang kurang lebih sama, “Itu bukan perbuatan orang-orang yang tidak
beragama.”
Ah, itu hanya candaan saya saja.
Inti dari candaan itu adalah kritik kepada diri sendiri; kita membenci
stereotiping sambil tetap menstereotipkan hal-hal lain. Ketika orang Muslim
melakukan kekerasan, kita mengatakan jangan stereotiping, jangan menyalahkan agama
tapi orangnya. Tapi ketika ada seorang Yahudi misalnya melakukan hal yang sama,
kita membenci seluruh agamanya. Apakah itu adil?
Intinya, lewat tulisan ini saya
ingin mengatakan bahwa tindak kejahatan atau tindakan kekerasan kepada orang
lain adalah berdasarkan tindakan dan pikiran mereka sendiri. Apakah agama dan
keyakinan memberikan kontribusi? Tentu saja, tapi agama dan keyakinan versi
mereka, dengan tafsiran mereka. Agama bisa dipilih-pilih, diambil salah satu
yang menarik bagi seseorang karena enak dan sesuai dengan seleranya. Emha Ainun
Nadjib pernah bilang, “Semua pemeluk Islam berjuang dengan
pandangan-pandangannya masing-masing mendekati sejatinya Islam. Sehingga tidak
ada satu kelompok pun yang legal dan logis untuk mengklaim bahwa Islam yang benar
adalah Islamnya kelompok ini atau itu. Kalau ada teman melakukan perjuangan
"islamisasi", "dakwah Islam", "syiar Islam",
bahkan perintisan pembentukan "Negara Islam Indonesia" – yang
sesungguhnya mereka perjuangkan adalah Islamnya mereka masing-masing.”
Kemudian, bisakah sumber dari
agama dipersalahkan? Bisa saja, tapi ingat, sumber itu tidak berdiri sendiri,
ada konteks ketika sumber/dalil itu turun, ada juga penafsiran yang beragam.
Apapun agama atau bukan agamanya, tindakan baik akan selalu baik dan tindakan
jahat akan selalu jahat. Orang berlaku jahat karena ia ingin berlaku jahat,
walaupun ia meniatkan kebaikan. Seperti kata Gandhi, "I object to violence
because when it appears to do good, the good is only temporary; the evil it
does is permanent."
Saya tidak sedang membela atau
menentang siapun di sini, hanya ingin berlaku adil. Jadi mari berlaku adil dan
baik kepada semua orang, walau mereka yang kita benci.
Wallahu'alam bissowab