Saya memberi deadline satu bulan, tapi ternyata novel itu rampung dalam waktu dua bulan lebih beberapa hari. Guru menulis saya pernah mengajarkan bahwa naskah yang baik sebaiknya diselesaikan dengan cepat. Jika tidak, mungkin saja naskah itu kurang baik. Sebagai orang yang baru belajar menulis, saya percaya saja dengan ajaran itu (tanpa mempertanyakan seberapa cepat itu cepat?). Nggak ada ruginya juga. Saking percayanya saya dengan ajaran menulis cepat, saya meninggalkan naskah-naskah setengah jadi yang nggak jadi-jadi.
Sebelum naskah terakhir ini ditulis, saya telah merancang beberapa tema dan jalan cerita lain untuk ditulis, tapi saya nggak pernah seyakin ketika menulis ini. Ternyata keyakinan akan cerita juga bisa membut menulis lebih cepat.
Sekarang naskah ini sudah selesai. Mari kita beri judul naskah ini Ilusi. Dan ini novel “serius” pertama saya.
Awalnya saya sempat ragu, kerena tulisan-tulisan saya sebelum ini (terutama dalam menulis cerita) menggunakan cara pandang komedi. Tapi dukungan positif dari kawan-kawan yang sudah membaca naskah awal Ilusi membuat saya yakin untuk meneruskannya. Saya bersyukur punya kawan-kawan yang bersedia, dengan sedikit paksaan di tengah kesibukan mereka mencari sesuap nasi, untuk membaca, mengoreksi, menilai dan memberikan pertimbangan terhadap Ilusi, sebelum naskah itu diajukan ke penerbit. Terimakasih untuk kawan-kawan yang telah meluangkan waktu untuk melakukannya. Penilaian kalian sangat berguna dalam merevisi dan mengedit naskah ini. Nama kalian akan saya abadikan (kata abadi ini terdengar puitis sekali kawan-kawan) di halaman terimakasih, selain juga dapat satu eksempar gratis nanti setelah terbit. Bayaran yang sesuai kan? :)
Walaupun begitu, bukan berarti saya akan berhenti menulis komedi. Saya ingin membuat pembatasan untuk menulis komedi pada pengalaman hidup saya saja. Untuk cerita fiksi, saya memilih untuk bercerita secara “serius” (sudah dua kali saya menulis kata itu dalam kutip, karena tidak menemukan kata lain yang pas), karena mungkin memang pengaruh kebanyakan referensi yang saya baca.
Ada tiga hal yang memicu saya untuk menulis novel ini; Norwegian Woods, cerita pribadi seorang kawan dan status sebuah facebook. Ironis, karena ketika menulis —ada semacam ritual yang biasa saya lakukan ketika sedang berkutat dengan naskah baru— saya menonaktifkan facebook yang menjadi salah satu sumber inspirasi itu.
Memang berbeda penulis berbeda juga cara dan waktu yang nyaman untuk menulis. Baru akhir-akhir ini saya memahami bahwa saya lebih nyaman menulis ketika tidak ada gangguan dari manapun, baik suara ataupun kegiatan lain. Saya lebih nyaman dan akan lebih banyak menulis jika tidak disambi dengan pekerjaan lain atau bersamaan dengan melakukan kegiatan lain. Saya lebih nyaman menulis dalam kondisi hening tanpa gangguan. Pada beberapa keadaan, sambil mendengarkan lagu-lagu santai. Intinya saya butuh fokus ketika menulis, untuk menjadikan menulis menjadi lebih mudah dan nyaman.
Bukan berarti saya tidak bisa menulis jika tidak ada kondisi tersebut. Bahkan pada kenyataannya, saya lebih sering menulis di tengah-tengah kegiatan lain. Sering sekali saya menulis di depan komputer kantor, ketika semua kerjaan kantor selesai, atau bahkan sambil mengerjakannya. Namun sekali lagi, saya lebih nyaman menulis ketika tidak ada gangguan dari manapun.
Beberapa penulis punya kondisi kenyamanan menulis masing-masing. Haruki Murakami menulis pada pagi hari, setelah selesai berlari, tanpa gangguan. Penulis sehat, istilah saya. Ada juga penulis yang lancar dan hidup gairah menulisnya sehabis bangun tidur, antara pukul 8 sampai 10 pagi. Ada juga yang nyaman menulis waktu tengah malam, ketika orang-orang kebanyakan telah terlelap, ditemani lantunan musik klasik. Dan macam-macam. Tidak ada yang lebih benar antara metode kenyamanan satu penulis dengan penulis yang lain. Semua itu adalah selera yang tidak bisa diukur dengan benar atau salah.
Ada juga penulis yang bisa memulai ceritanya jika ia telah menemukan Karakter yang kuat, ada juga dengan Alur yang solid, ada juga dimulai dengan Seting Waktu atau Tempat, ada juga yang memulai dari Moral of Story yang ingin disampaikan, ada juga yang menggabungkan elemen-elemen tersebut. Sekali lagi, tidak ada yang lebih benar antara metode kenyamanan satu penulis dengan penulis yang lain untuk memulai cerita mereka. Semua itu adalah selera yang tidak bisa diukur dengan benar atau salah. Ya saya ingat, sudah dua kali saya menuliskannya.
Jika diminta tiga kata untuk menggambarkan novel ini, saya akan meneyebut: kehilangan, schizophrenia, dan —yes, absolutely— cinta.
Ide cerita ini berawal dari pengalaman saya bertemu bahkan pernah dipukul botol air mineral kosong oleh orang gila di pasar. Bukan, bukan saya menceritakan pengalaman setengah lucu campur bikin gondok itu ke dalam novel ini. Pengalaman bertemu dengan beberapa orang gila di pinggir jalan bahkan tidak jauh dari rumah, membuat saya berpikir dan bertanya-tanya. Apa latar belakang pendidikan mereka? Darimana Mereka? Mengapa mereka bisa hidup menggelandang di jalan? Apa penyebab kegilaan mereka? Apa mereka punya keluarga? Kemana keluarganya? Apa mereka punya anak istri? Bagaimana mereka makan? Bagaimana kalau sakit? Kehujanan?
Kegelisahan itu akhirnya tertuang dalam novel ini. Di Indonesia, saya belum pernah membaca novel dengan latar belakang karakter utama skizophrenik. Itu murni kesalahan saya karena kuper. Ketika mencari di google, saya hanya menemukan tidak lebih dari lima novel (termasuk memoar) dengan latar belakang schizophrenia. Jadi menurut saya novel ini bisa menjadi salah satu sumber bacaan agar lebih banyak orang yang mengerti penyakit mental tersebut dan semakin bisa berempati pada si penderita. Masih banyak kasus pemasungan di Indonesia adalah bukti bahwa banyak orang yang kurang mengerti tentang penyakit ini. Lebih dari itu, novel ini mencoba menjawab pertanyaan besar; apakah terlalu sayang kepada seseorang bisa membuatmu gila?
Terimakasih telah membaca. Mudah-mudahan, setelah proses editing dan revisi yang tidak begitu lama, Ilusi cepat mendapat penerbit.
Your ameen is welcome! :)