Kamis, 23 Maret 2017

Karena Ikan Bukanlah Tujuan, yang Utama Adalah Kolornya

Pukul 13:15

Saya baru tiba di rumah ketika membaca pesan di grup WA yang mengajak kumpul di tempat Edogawa.

“Bentar ki. Gw nglurusin kaki dulu inih.” Saya membalas chating.

Pukul 13:30 

“Begini nih Fahmi kalo maen ke tempat guah. Pake kolor doang.” Edo menyambut di depan pintu, “Mana kolor kagak pernah ganti dari jaman mondok lagi.”

Saya cuma nyengir. Perasaan saya nggak enak. Kolor akan jadi trademark saya hari ini, pikir saya kemudian.

Pukul 14:30 

“Makan di tempat mancing aja.” Si gondrong Moses mengusulkan. Wartawan TV itu memang ngebet nyari tempat mancing di Bekasi.

“Emang mao mancing dimana, Bang?” saya tanya ke tuan rumah.

“Danau Cibereum!” Edogawa mantap.

“Di GrandWis, Mi.” Suhayat menjelaskan setelah saya tanya dimana.

“Oh, KotWis! Deket dong!” kata saya. Suhayat bingung.

“Pake mobil lu aja, Ses! Kan ada bagasinya.” Furqon, si veteran perang Vietnam, mengusulkan.
Bagasi mobil dibuka, tas berisi kompor dan peralatan masak dimasukan. Tanpa banyak berdebat, tanpa banyak rencana, kami, 5 orang kawan mondok, masuk ke Corolla 88 dan meluncur ke arah timur Bantar Gebang. Misi kami hari itu: strike ikan gabus terbesar di Danau Cibereum!

Dalam perjalanan, kami bercanda dan mengenang keakraban yang terjeda. Kami lulus pesantren tahun 2003, itu artinya sudah 14 tahun kelulusan dari sekolah yang menyatukan kami, itu artinya sudah 14+1 tahun dari AADC pertama tayang, dan kami belum bisa move on dari Dian Sastro.

Saya menganggap pesantren kami sebagai pesantren NU non-formal, karena memang walaupun amalan-amalan di pesantren seperti tahlil, qunut, rawi-an saat Maulid, kitab-kitab yang dibaca dan lain-lain sangat NU, tapi Kiyai Muhajirin (Allah yarham) tidak pernah aktif atau ikut organisasi NU formal. Walaupun lagi, karena lebaran sering nggak bareng dengan pemerintah, sering kami malah dianggap Muhammadiyah. Saya nggak punya masalah dengan Muhammadiyah, kawan-kawan saya banyak yang Muhammadiyah bahkan Salafi dan kami bergaul dengan baik, tapi orang NU yang dianggap Muhamadiyah itu lucu. Sangat lucu. Sama lucunya dengan yang menganggap Ceban itu Goceng.

Pukul 15:30

Tiba di lokasi, kami berjalan beriringan. Moses dan Edo di depan, Furqon dan Suhayat mengikuti, sementara saya paling buncit.

Belum jauh kami berjalan, seekor bencong dengan betis CR7 datang dari arah berlawanan. Memang sebelumnya Hayat bilang kalau bencong di sini ganas-ganas, dan melihat makhluk yang kami hadapi sekarang membuktikan kalau Hayat memang pemerhati bencong kelas dunia.

Bencong mendekat dan mencolek Edo, kemudian melewati dan senyum ke Hayat dan Furqon.

“Pait, pait, pait,” kata saya dalam hati ketika bencong tinggal satu tebasan golok di hadapan. Sambil memainkan hape, saya pura-pura nggak peduli.

“Baaanggg,” kata si bencong dengan suara sengau ke arah saya, “Kok pake kolor sih…”

Refleks saya pegang kuat-kuat tali kolor.

Pukul 16:00

Setelah makan toge goreng, kami mencari spot yang bagus buat mancing. Moses sang pakar mancing menentukan lokasi. Lima buah joran dikeluarkan dan kami memancing.

Power Ranger; Zordon adalah yang mukanya paling lebar
Spesialis mancing janda

Spesialis mancing bencong

Cepak Kim Jong-un

Pakar bencong internasional

“Do, ayolah masak aer buat ngopi!” saya mengajak.

“Kopinya ketinggalan di mobil.” Kata Furqon sambil betulin kacamata.

“Pada pinter banget dah!” saya mulai misuh, “Ini tas isinya peralatan masak dibawa, trus kopi ditinggal di mobil?! Mo ngopi pake aer rawa lu pada! Mending bawa kopi aja, kita bisa minta aer panas sama tukang warung!” Saya sewot.

“Ngomong aja luh, Malih!” Edo membalas, “Udah lu ambil kopi di mobil sana. Sekalian ambilin rokok gue yang ketinggalan,”

Saya mau saja ambil kopi, tapi melihat kelakuan bencong yang kata Edo bisa striptis di batang bambu, saya nggak yakin bisa balik dengan selamat. Jadi ini bukan sekedar perkara mengambil kopi, tapi pertaruhan mempertahankan keperjakaan. Dan dengan kolor yang saya kenakan, saya akan jadi sasaran empuk setiap predator seksual.

Maka kami, lima orang berpendidikan tinggi ini, nggak ada yang mau menebus kebodohan membawa panci tanpa kopi, dengan mempertaruhkan kehormatan keluarga. Slogan kami hari itu; Mending nggak ngopi daripada pulang ngangkang!

Sambil mancing, kami berguyon tentang banyak hal. Kelucuan di kalangan santri memang tradisi. Sekeras apapun perdebatan kami di social media, ketika bertemu kami pasti tetap bercanda. Karena menurut kami, tidak ada masalah yang perlu terlalu serius diurusi sampai melupakan keakraban dan guyonan. Kami mewarisi kelucuan dari abang dan guru-guru kami.

Saya masih ingat ketika seorang guru mengubah nama kawan kami Abdurahman menjadi Omen, atau kisah abang kelas yang kesetrum karena menggantung celana dalam basah di kabel, atau kelakuan iseng mengeluarkan paksa kawan yang lagi mandi dari kamar mandi dengan tanpa pakaian. Maka saya mengabadikan kelucuan-kelucuan di pesantren itu —dengan cara menertawakan diri sendiri— dalam Badung Kesarung dan Di Bawah Bendera Sarung.

Sehabis ngaji santri doyan nongkrong sambil ngopi, atau terkadang sambil main poker. Membicarakan banyak hal dari mulai bola, negara sampai Qoul Qodim dan Jadid Imam Syafi’i. Dengan kondisi komunal semacam itu, maka melucu dan berguyon dengan hal-hal sekitar kami yang terkadang rumit menjadi kemampuan yang melekat.

Zaman sekarang, saya cenderung risih dengan santri yang kusut, runyam dan setiap posting ngajak bacok-bacokan. Ditambah lagi lupa adab dan akhlak. Kurang ngopi, istilah kami.

Pernah saya menulis status lucu-lucuan mempertanyakan apakah Tuhan punya akun di media sosial sehingga banyak yang berdoa di sana. Saya berharap status itu dapat komen, “Tuhan udah nggak mainan fesbuk, akhi. Sekarang pindah ke IG. Kalo mau add Malaikat Izroil aja nih. wkwkwkwk”. Tidak saya sangka, komentar-komentar atas status itu terlalu serius. Ada yang nulis, “Mau ngingetin aja takut lo lupa. Tuhan memang ada dimana-mana.”

Tentu saja saya mengerti tentang doktrin bahwa Tuhan ada dimana-mana, bahkan lebih dekat dari urat leher, tapi membayangkan Tuhan punya akun fesbuk itu lucu. Kalau mau serius, saya bisa saja membalas komentar-komentar itu dengan penjelasan Mujassimah Musyabbihah, tapi jawaban itu akan terasa seperti kanebo kering; kaku.

Saya paham nggak semua orang mengerti saya sedang bercanda, apalagi itu isu sensitif. Maka sekarang saya sudah insaf dan jarang nulis status guyonan yang sensitif seperti itu lagi. Saya nggak mau lagi bercanda bahwa Tuhan itu seorang pria 40 tahun yang tinggal di Dusun Krajan. Dia bisa terserang flu bahkan Ambeien.

Kelucuan dan menertawakan diri sendiri itu tingkat yang paling tinggi dari pengetahuan. Orang yang mengerti tidak akan merasa tersakiti dengan guyonan. Orang yang penuh pemahamannya, memberi jarak dan melihat dari jauh setiap masalah agar akal sehat bisa mencerna. Mengutip Charlie Chaplin, “Life is a tragedy when seen in close-up, but a comedy in long-shot.” Atau dalam bahasa yang lebih ringkas tragedy + time = comedy.

Sedikit lebih panjang, Gus Dur menulis, “Rasa humor dari sebuah masyarakat mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan. Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain. Kepahitan akibat kesengsaraan, diimbangi oleh pengetahuan nyata akan keharusan menerima kesengsaraan tanpa patahnya semangat untuk hidup. Dengan demikian humor adalah sublimasi dari kearifan sebuah masyarakat.”

Tentu kami nggak terus-terusan guyon, kami mengerti batasan. Kami mengerti terlalu banyak tertawa mematikan hati, tapi terlalu sedikit tertawa juga bisa membuat hati cepat terkena serangan jantung.

Pukul 16:00

Sampai hari remang, kami nggak mendapat ikan seekorpun, tapi pemandangan, suasana dan keakraban hari itu sangat kami nikmati.

“Kurang bahagia gue blom narik ikan.” Kata si gondrong.

“Tadi kolornya Fahmi bukannya lu tarik?” Edo bales.

“Bah, belut listrik itu mah! Lu enak udah dicubit bencong.”



Matahari hampir tenggelam, langit bersemburat warna jingga dengan siluet gunung salak di kejauhan. Danau, langit, pelangi, gunung dan senja bersatu menampilkan gambaran alam paling subtil yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Bayang-bayang segala sesuatu memanjang mengingatkan saya akan sajak Sapardi.

Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami 
yang telah menciptakan bayang-bayang. Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar 
tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan.