Rabu, 21 Oktober 2020

The Devil All the Time; Ironi Pada Agama dan Religiusitas

Kritik tajam terhadap agama dan religiusitas mistis dalam film drama thriller begitu unik. Menjadi variasi dan warna lain yang membedakan film ini dari film-film dengan kritik pada religiusitas ekstrimis ala terroris yang semakin klise.

Mengambil sisi penceritaan omniscient yang yang tahu segala hal, yang saya duga juga diambil dari penuturan asli novel, membuat ia semakin dekat dengan kritik pada kepercayaan manusia kepada Tuhan yang juga tahu segala hal. Tentu ia tidak mengajak untuk menolak agama, namun menyajikan ironi pada pemahaman para karakter terhadap kitab suci dan religiusitas yang membabi buta tanpa pikiran jernih.

Dibalut nuansa gelap dan depresif khas film triller, film ini menampilkan agama dari sisi tergelap sampai hal yang paling tulus, jernih dan baik. Pada kepercayaan yang total, ketulusan yang murni, sampai memunculkan agnotisme dalam perlawanan.

Akting seluruh pemerannya hampir tanpa cela. Bahkan keberhasilan akting Pattinson membuat istri saya jijik. Logat, gaya dan suara sengau dengan dialek Selatan Amerika yang mengingatkan saya pada Trump, membuat ia mudah dibenci —sejak Trump jadi presiden, para aktor seperti punya acuan pasti untuk menjadi orang yang menyebalkan. Saya berharap Pattinson nanti bisa memerankan Batman dengan lebih bagus, walaupun mungkin dibenak istri saya, sebagus apapun Batman versi Pattinson nanti, ia dalam film ini sudah melekat bahkan mengalahkan perannya menjadi Vampir pucat.