Rabu, 11 November 2020

The Queen's Gambit; Dunia Dimana Setiap Orang Diperlakukan Sama

Seri yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama ini memulai dengan atmosfir gelap dan depresif. Pada episode pertama bahkan saya menangkap kesan suram seperti dalam The End of the Fucking World, dimana masa kecil karakter utama diisi dengan suasana traumatis karena kemiskinan dan menyaksikan ibunya bunuh diri. Namun kesan itu perlahan-lahan menguap, menjadi semakin optimistik, manis dan cerah seiring berjalannya episode, sampai akhirnya di akhir seri penonton seperti dibuat ikut berkembang dan terkesan dengan pencapaian-pencapaian karakter utama.

Mini seri ini berjalan cukup lambat terutama pada paruh awal sampai sepertiga akhir, membuat pertengahan episode terasa datar hampir tanpa klimaks atau konflik yang tajam. Dari tujuh episode, baru pada dua episode akhir saya menemukan plot yang dibuat lebih menanjak. Beruntung penonton dibuat bertahan dengan dialog dan performa ansambel cast yang seluruhnya tampil tanpa cela. Selain percakapan Jolene dan Beth dalam kendaraan yang terkesan dipaksakan karena sumpek dengan muatan pesan moral, dialog dalam seri ini sangat jujur, cerdas dan digarap dengan elegan. Di beberapa adegan ketika dialog tidak diperlukan, para karakter diberi ruang yang cukup luas untuk mengeksplorasi emosi secara lebih dalam.

Harry Melling yang terakhir saya tonton aktingnya di The Devil All the Time kembali memukau dalam seri ini. Dengan penampilan yang konsisten dan potensi yang terus berkembang dari sejak perannya menjadi bocah gendut perundung dalam Harry Potter, hanya menunggu waktu sampa ia mendapat peran utama yang lebih banyak. Nyaris tidak ada karakter antagonis yang bersikap lebay dan patut dibenci secara berlebihan, bahkan ada kesan para tokoh bersikap begitu natural bahkan sportif, sampai saya mengira ini adalah sebuah kisah nyata atau sebuah biopic. Tahun, lokasi, event pertandingan yang dibuat sangat nyata, ditambah dukungan teknis visual dengan sinematografi pewarnaan yang klasik dan teduh hasil CGI mewah, menjadikan seri dengan seting era 60an ini sangat meyakinkan.

Premis seri ini secara persusif dan alami tanpa ada usaha yang dipaksakan seperti berniat menampilkan semangat feminis sebagai nilai jual utama, selain tentu saja pencapaian mengagumkan si karakter utama dalam mengelola kehilangan dan traumatik masa lalu. Dalam satu adegan, sutradara juga tidak latah memasukan kritik pada agama yang memang tidak relevan dan punya set-up yang kokoh sejak awal, melainkan menyentil hipokrisi yang sering diambil orang-orang yang punya kesempatan untuk menjual integritas dan menjadi bermuka dua. 

Menjadikan catur sebagai sarana pencarian jati diri Beth, sebagai karakter utama yang penuh luka perjalanan hidup, juga merupakan konsep yang sangat brilian dan solid. Karena catur adalah satu-satunya olahraga yang egaliter, yang tidak memandang suku, budaya, jenis kelamin, bahkan umur. Papan catur adalah dunia, dimana setiap orang diperlakukan sama untuk bisa membuktikan diri, bisa kalah dan terpuruk namun bisa juga belajar dan mampu bangkit.