Sutradara seperti tahu bahwa film ini adalah tentang menjawab sebuah premis —dan hanya itu saja—bagaimana jika The Beatles beserta lagu-lagunya, hilang dari muka bumi? Ia tidak mau terbebani dengan hal-hal lain dan membiarkannya menjadi tidak terjelaskan. Ia seperti menyadari bahwa jawaban atas hal-hal lain itu tidak terlalu penting. Mungkin baginya, yang terpenting adalah sebagai seniman ia memberikan suatu hal yang bermakna; lagu-lagu The Beatles, perpaduan antara musikalitas popular dan puisi yang menyihir.
Aransemen musik dan suara yang lebih jernih juga modern, membuat lagu-lagu tersebut lebih segar. Mereka tidak dicomot asal-asalan tapi berbaur dan ikut bercerita mengiringi cerita dalam film ini. Seperti lagu-lagu dalam La La Land, tidak butuh waktu lama sampai lagu-lagu The Beatles versi Jack Malik masuk dalam playlist saya. Lagu-lagu dalam film ini akan membawa penggemar The Beatles seperti istri saya bernostalgia sekaligus merenungkan kembali makna hidup.
Adegan ketika Ellie mendengar Yesterday untuk pertama kali dari Jack, mengingatkan saya pada pendengaran pertama saya akan lagu tersebut bertahun-tahun yang lalu dari petikan gitar seorang kawan. Saya kira hanya sedikit lagu yang bisa menancapkan pesona magis semacam itu, sampai-sampai ketika mengenangnya kembali, ia seperti trauma indah yang tidak mau kau obati.
Secara alur, film ini terus menanjak, ia tidak membiarkan penonton menunggu terlalu lama untuk kemudian bosan. Fokus film ini adalah tentang hubungan Ellie dan Jack. Sebuah komedi romantis yang walau klise dan mudah diprediksi, terutama pada separuh akhir, tapi masih membuat hati kita hangat. Sesekali unsur dialog komedik kekinian yang lucu tapi ramah membuat film ini lebih hidup, dan Rocky si Joker, karakter tempelan yang artifisial, selalu membuat saya terbahak.
Film ini memang sengaja tidak dibuat berat dan gelap, malah terkesan popular, mudah dan tanpa beban. Bahkan penonton seperti disuapi jawaban dari premis awal melalui salah satu karakter, “A world without the Beatles is a world that's infinitely worse.”
Mudahnya, ini adalah film yang ringan tentang mensukuri hidup saat ini, bagaimanapun keadaannya. Mengutip Kurt Vonegut dalam Gempa Waktu, “Bahwa tugas yang tampaknya masuk akal bagi seniman adalah membuat orang menghargai hidup, setidaknya secuil saja. Kemudian saya ditanya apakah tahu seniman yang melakukan tugas tersebut. Saya menjawab, The Beatles.”
Itu ditulis sebelum ia menjelaskan bahwa hanya manusia, makhluk hidup yang paling maju ini, yang merasakan bahwa hidup ini buruk dan menyedihkan.
Film ini diakhiri dengan Ob-La-Di, Ob-La-Da, sebuah kesimpulan yang merangkum seluruh isi cerita, bahwa hidup adalah tentang bermakna bagi orang lain, bahwa menjadi orang biasa bukanlah sebuah dosa, selama kamu bahagia.