Halaman

Senin, 28 November 2022

Berdiskusi di Depan Es Krim tentang Mitos Orangtua Sempurna

Saya dan istri duduk berhadapan, di tengah kami ada meja persegi yang di atasnya ada segelas Mixiu Smoothies Strawbery Ice Cream. Sambil menggengam Cone Ice Cream yang ujungnya telah habis saya jilat, saya berdiskusi dengan istri tentang pendidikan anak-anak.

Diskusi adalah kata kerja sehingga ia perlu dikerjakan, harus ada usaha untuk mewujudkannya. Menghentikan diskusi atau dialog berarti memperlebar jurang pertengkaran atau kesalahpahaman. 

Saya ingat pertengkaran pertama saya dengan istri beberapa bulan setelah kami menikah. Istri saya mengajar di Jakarta dan malam itu ia minta dijemput di halte bis, tempat biasa saya menjemputnya. Saya sudah setengah perjalanan ketika ingat tidak membawa handphone. Karena waktu sudah mepet dan khawatir istri saya menungu terlalu lama jika saya kembali pulang, maka saya memutuskan meneruskan perjalanan tanpa membawa HP. Lagi pula, pikir saya waktu itu, lokasinya sudah jelas dan itu bukan kali pertama saya menjemputnya.

Saya sampai di lokasi tepat waktu dan mulai menunggu bis. Saya sadar ada yang janggal ketika sudah hampir setengah jam lebih istri saya belum juga sampai. Banyak hal bisa terjadi, termasuk kecelakaan. Saya harus mencari tahu, tapi saya tidak menemukan orang yang bisa dipinjam HP. Hal yang lebih parah adalah saya tidak hafal nomor telpon istri, bahkan nomor telpon saya sendiri. Satu-satunya nomor yang saya ingat adalah nomor kantor. Pilihannya antara saya menunggu terus tanpa ada penjelasan apa yang terjadi atau saya mencari konter untuk membeli pulsa dan meminjam HP dengan resiko jika istri saya datang, saya tidak ada di tempat. Setelah menunggu kurang lebih satu jam, barulah saya memutuskan untuk mencari konter pulsa.

Saya menelpon kawan saya di kantor untuk meminta nomor telpon kawan kantor saya yang lain yang tahu nomor telpon istri saya.

Dari sebrang telpon istri saya menjawab ketus, "Aku udah sampe rumah! Kenapa telponnya gak diangkat sih?"

Saya kesal. Istri saya lebih kesal karena ia sudah mengabarkan lewat SMS bahwa lokasi penjemputan pindah. Karena terlalu lama menunggu, ia akhirnya pulang naik angkot.

Jika diceritakan kembali memang terdengar lucu, tapi tidak saat itu. Saat itu kami hanya melihat kesalahan orang lain. Saya menyalahkan istri saya, istri saya menyalahkan saya. Kami bertengkar dan tidak ada yang mau disalahkan.

Sejak saat itu sampai sekarang kami terus belajar untuk saling mendengarkan. Istri saya tidak selalu salah, dan saya tidak selalu benar. Kami sadar butuh kerendahhatian dan kemauan untuk mengalah. Seperti saat ini, di depan segelas es krim, kami mengobrol dan saling mendengarkan.

"Kamu gak usah merasa salah apalagi sampai menyesal." Kata saya setelah mendengar keresahan istri saya tentang beberapa penyesalan karena merasa tidak maksimal dalam mendidik, "Apa yang kamu lakukan buat anak-anak adalah hal yang sudah bagus. Bahkan hal terbaik yang bisa kita lakukan. Kita berada pada jalur yang tepat."

Sebagai praktisi homeschooling kami bertindak menjadi pihak yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anak kami sendiri, sehingga wajar jika kami terkadang risau pada pola pendidikan yang kami sudah terapkan apakah tepat atau tidak. Keresahan tersebut adalah tanda kami masih hidup, ingin belajar dan berkembang. Ketika kami memilih untuk melakukan homescholing, berarti kami memilih jalan yang menggelisahkan. Bukan karena ini jalan yang salah, tapi karena tantangan-tantangan yang kami hadapi menjadi seperti tantangan dalam hidup sendiri. Kami tidak memisahkan pendidikan dengan kehidupan sehari-hari, tapi menyatukannya, menjadikannya lebih relevan. Pendidikan adalah kehidupan, kehidupan adalah pendidikan.

"Aku sudah gak muda lagi. Aku khawatir gak bisa mengakomodasi kebutuhan anak-anak." Istri saya meneruskan. Kami sadar bahwa kostumisasi dan fleksibilitas waktu adalah salah satu hal yang penting yang menentukan keberhasilan homeschooling. Istri saya adalah pelaksana kurikulum pendidikan harian di rumah dan selalu menginginkan yang terbaik bagi anak-anak. Tentu saja, semua orangtua menginginkan itu.

"Gak usah khawatir." Saya menenangkan, "Kita punya Allah. Tazkiyatun Nafs, supaya Ilham Tuhan terus menerus menerangi jalan kita."

Saya mengingatkan. Istri saya sudah paham di luar kepala tentang itu, hanya terkadang manusia lupa dan butuh pengingat. Itu guna pasangan sebagai teman diskusi, atau teman bertengkar, untuk saling mengingatkan. Istri saya juga sering mengingatkan saya ketika saya lalai dalam banyak hal.

Kami sadar dalam mendidik selalu ada campur tangan Tuhan, sehingga kami tidak bisa sombong. Sebagaimana anak yang punya fitrah atau potensi yang sudah ada sejak lahir, orangtua juga punya fitrah atau potensi alami yang diberikan Tuhan untuk mendidik. Tazkiyatun Nafs atau menyucikan jiwa dengan cara ibadah, beramal saleh, mencari ilmu, atau tirakat adalah usaha agar jiwa bening hingga mampu membaca petunjuk Rabbani untuk menumbuhkembangkan potensi mendidik tersebut. Saya kagum kepada istri bukan karena kami selalu sepaham, tapi karena walaupun sering berbeda pendapat namun ia adalah sosok yang penuh cinta dan ketulusan. Begitulah Tuhan menciptakan wanita dengan karakteristik fitrah itu.

Fitrah mendidik telah ada pada diri setiap orangtua, Allah memberikan kemampuan itu sesuai jumlah anak. Jika ada 4 anak, maka mungkin ada 4 macam gaya pengasuhan. Pendidikan homeschooling adalah pendidikan yang dikostumisasi, disesuaikan dengan keunikan anak. Karena begitulah kenyataannya, setiap anak unik sehingga tidak bisa diseragamkan.

Saya sungguh beruntung karena sejak awal menikah banyak kesamaan pandangan dalam hal pendidikan. Sejak saya tidak menjemput istri di halte bis, kami selalu pada fase tidak pernah selesai memperbaiki komunikasi. Jika ada perselisihan, kami bicarakan dan cari jalan tengah untuk menghindari pertengkaran di depan anak-anak. Hal ini penting karena riset menemukan bahwa ketika orangtua sering bertengkar di depan anak, stres yang dirasakan orangtua bisa dirasakan anak dan mempengaruhi perkembangan otak mereka. Sebaliknya jika mereka sering melihat kasih sayang yang ditunjukan ayah-ibunya, ada pembentukan neuron di otak mereka. Jadi keliru jika mengatakan satu-satunya yang terpenting adalah hubungan orangtua dengan anak, karena kesuksesan anak dalam hal kognitif dan emosional bukan ditentukan berdasarkan secure attachment antara ibu dan anak, tapi secure attachment antara ayah-ibunya.

Ya, sosok ibu dan ayah adalah dua hal yang penting dalam mendidik. Sekali lagi saya katakan sosok, bukan personalitas. Artinya anak yang tidak memiliki ayah atau ibu (yatim/piatu) bisa tetap memiliki sosok ayah-ibu melalui orang lain, paman-bibi atau kakek-nenek mereka contohnya. Sebaliknya bisa saja anak yang secara biologis masih punya ayah atau ibu, tapi tidak menemukan sosok yang bisa dijadikan panutan. Bagaimanapun anak berkembang dengan rasa cinta dan contoh hubungan terdekat yang mereka lihat setiap hari adalah hubungan ayah-ibunya. Hubungan tersebut yang akan jadi pola ketika mereka bersosialisasi nanti.

Tidak bisa dipungkiri komponen pendidik paling penting adalah teladan, pemberi semangat serta inspirasi (Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani). Jika itu dilakukan orangtua dengan benar, maka tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa memiliki anak bisa membuat seseorang menjadi pribadi yang lebih baik. Walaupun saya akui bahwa menjadi orangtua yang sempurna adalah mitos.

"Aku merasa ada hal-hal yang kurang di masa lalu yang seharusnya bisa aku perbaiki." Istri saya mengutarakan perasaannya.

"Kita sudah berusaha dan akan terus memperbaiki diri," kata saya kemudian, "Kita nggak bisa menjadi orangtua yang sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Tuhan. Penyucian Jiwa selain berguna agar kita terbuka untuk mendapat pengetahuan baru, juga berguna agar kita tidak angkuh dengan menganggap pola pendidikan kita yang membuat anak-anak menjadi sukses. Tidak sama sekali. Tuhan melalui alam semesta yang membimbing mereka, dan memberi kita kemampuan untuk menjadi pendidik. Sebagai orangtua kita pasti punya kekurangan, mudah-mudahan Tuhan menutupi dan memperbaiki, karena Allah adalah sebenar-benar pendidik yang sempurna."

Kami beranjak pulang ketika es krim sudah habis. Di jalan kami meneruskan percakapan yang mungkin tidak akan pernah habis.


Wallahu 'alam